Ibu Nursyahbani yang terhormat,
Saya ibu rumah tangga, ada beberapa pertanyaan tentang hukum yang mengganjal di hati saya. Saya buta sama sekali tentang hukum, sehingga saya putuskan untuk berkirim surat dan bertanya pada Ibu.
Begini Bu, saya mendapati suami berselingkuh. Setelah kami ribut, suami berjanji untuk tidak lagi meneruskan ulahnya. Setelah itu, kehidupan kami tenang-tenang saja, sampai kemudian terdengar kabar kalau suami ternyata masih tetap berhubungan dengan wanita itu (karena wanita itu tidak mau melepaskan suami dan terus-menerus mengganggu). Saya mencek kebenaran berita tersebut, dan akhirnya berhasil memergoki keduanya di tempat kos wanita itu. Sakit sekali rasanya hati ini, Bu.
Akhirnya, kedua keluarga besar kami berkumpul (pihak orang tua saya dan orang tua suami) untuk membicarakan langkah selanjutnya. Waktu itu saya sebetulnya tak mau memaafkan, namun karena nasihat kedua orang tua kami, akhirnya saya mau juga menerima suami kembali dan memberinya kesempatan terakhir.
Bu, bisakah saya menuntut wanita itu lewat jalur hukum, karena ia terus-menerus mengganggu suami (walaupun suami sudah tidak melayaninya)? Kalau bisa, kemana saya harus mengadukan hal tersebut? Bagaimana pula saya harus bersikap pada suami, seandainya ia terbukti masih juga selingkuh? Sekian pertanyaan saya, terima kasih.
DM Bandung
Ibu DM yang baik,
Suami yang selingkuh, dalam artian melakukan perzinahan, berikut kawan selingkuhnya dapat diadukan ke kantor polisi berdasarkan ketentuan pasal 284 KUHP. Namun demikian, dalam waktu 3 bulan sejak pengaduan dilakukan, suami atau istri yang mengadukan harus mengajukan gugatan perceraian, karena jika tidak, maka Pengadilan Negeri tidak akan meneruskan proses pemeriksaan karena dianggap suami-istri itu telah berbaikan dan penghukuman dianggap akan memperburuk hubungan suami-istri tersebut.
Pasal ini selengkapnya berbunyi: "Dihukum penjara selama-lamanya sembilan bulan:
1. a. laki-laki yang beristri sedang diketahuinya bahwa pasal 27 KUHPerdata (sipil) berlaku padanya; b. perempuan bersuami berbuat zina;
2. a. laki-laki yang turut melakukan perbuatan itu sedang diketahuinya bahwa kawannya itu bersuami; b. perempuan yang tiada bersuami yang turut melakukan perbuatan itu sedang diketahuinya bahwa kawannya itu beristri dan pasal 27 KUHPerdata (sipil) berlaku pada kawannya itu;
3. Penentuan hanya dilakukan atas pengaduan suami-istri yang mendapat malu dan jika pada suami (istri) itu berlaku pasal 27 KUHPerdata (sipil), dalam tempo 3 bulan pengaduan itu akan diikuti dengan permintaan akan bercerai atau bercerai tempat tidur dan meja makan (scheideing van tafel en bed) oleh perbuatan itu juga.
4. Pengaduan ini boleh dicabut selama pemeriksaan di muka sidang pengadilan belum dimulai.
5. Kalau bagi suami dan istri itu berlaku pasal 27 KHUPerdata (sipil) maka pengaduan itu tidak diindahkan sebelum mereka itu bercerai atau sebelum keputusan hakim tentang perceraian tempat tidur dan meja makan mendapat ketetapan.
Jadi, jelas Ibu DM, berdasarkan ketentuan tersebut, perempuan teman selingkuh suami Anda itu dapat dikenakan sanksi hukum. Namun demikian, bukan hanya kawan selingkuhnya saja yang akan terkena hukuman, tapi suami Anda juga akan terkena hukuman dan bahkan perkawinan Anda pun harus bubar terlebih dulu sebelum kasus diperiksa oleh pengadilan.
Meski pasal ini menyebut bahwa pemberlakuan ketentuan ini hanya bagi mereka yang tunduk pada pasal 27 KUHPerdata, yakni pemberlakuan asas monogami, namun berdasarkan Surat Edaran Menteri Agama nomor 3 tahun 1981, pasal ini juga berlaku bagi umat Islam karena UU Perkawinan pada dasarnya juga menggunakan asas mogogami. Menurut Pasal 19 Peraturan Pemerintah nomor 9 tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Perkawinan dan juga penjelasan pasal 39 UU Perkawinan, perzinahan salah satu pihak merupakan salah satu alasan untuk terjadinya perceraian.
Ketentuan pasal 284 KUHP tersebut memang menempatkan pasangan suami-istri dalam sebuah dilema besar. Oleh karena itulah, dalam konteks dimana seorang istri sangat bergantung kepada suaminya terutama secara ekonomi, maka jarang sekali pada istri menggunakan pasal ini untuk mengadukan baik suaminya maupun teman selingkuhnya. Dalam praktik, justru kaum istrilah yang menjadi korban penggunaan pasal ini, bahkan juga seringkali terdapat permainan kotor, misalnya dengan cara menjebak si istri dan kemudian menggunakan alasan ini untuk menceraikan istri sekaligus untuk menyatakan bahwa istrinya bukanlah ibu yang baik, dan oleh karena itu jika terjadi perceraian, dianggap tidak pantas untuk mengasuh dan memelihara anak-anaknya. Dalam banyak kasus dalam praktik, alasan itu juga digunakan untuk tidak membagikan harta bersama.
Berdasarkan pengalaman ini, maka di Timor-Timur yang sistem hukumnya mengikuti sistem hukum kita, ketentuan dalam pasal 284 ini telah dihapus dan dialihkan sebagai bagian dari hukum sipil. Oleh karena itu, polisi tidak dapat lagi menuntut berdasarkan ketentuan pasal ini. Pihak-pihak yang dirugikan hanya dapat mengajukan pengaduan berdasarkan hukum perdata. Hukumannya pun hanya hukuman denda atau melakukan tindakan tertentu saja.
Demikian penjelasan saya, semoga dapat menjadi bahan pertimbangan Ibu. Salam dari Jakarta dan semoga tabah hati selalu dalam lindungannya.
KOMENTAR