Bu Rieny Yth,
Suami saya meninggal 9 tahun lalu, ketika ketiga anak saya masih kecil-kecil. Dalam usia 47 tahun sekarang ini, saya tidak pernah punya affair ataupun hubungan mesra dengan pria, dan lingkungan serta adik-adik saya amat menghormati saya dan menjadikan saya panutan mereka.
Sekilas, nampaknya hidup saya berjalan tenang, anak-anak semua sudah selesai jadi sarjana, bekerja, dan saya sendiri juga cukup sibuk. Padahal. masalah ada saja yang datang dan membuat pusing tujuh keliling mengatasinya seorang diri. Selain masalah pribadi, anak kedua saya kini terlibat manipulasi puluhan juta rupiah uang kantornya, yang harus ia cicil. Saat masih kuliah dulu, saya pernah harus menjual semua perhiasan saya untuk membayar hutang-hutangnya juga. Masalahnya, anak saya ini gemar berjudi, Bu.
Di saat saya sedang susah, keenam saudara kandung saya tak ada yang mau tahu, padahal diantara kami bertujuh sayalah yang paling miskin. Sedangkan mereka semua bekerja dan punya posisi bagus di pekerjaannya.
Dalam kehidupan pribadi, setiap kali muncul 'hasrat', saya hanya bisa menangis dan mengadu pada Tuhan, karena saya takut berzina. Akhir tahun lalu, saya bertemu seorang pelatih di sebuah training pembinaan usaha kecil yang saya ikuti. Ia bersimpati pada saya dan sering mengirim SMS mesra. Hati saya selalu bergetar dan berbunga-bunga menantikan SMS darinya. Dia punya istri, hasil perjodohan yang tak dicintainya.
Meskipun ada juga teman kuliah yang istrinya sedang terkena kanker datang melamar, tetapi hati saya tidak tergerak, karena memang tak ada perasaan. Beda benar dengan mantan trainer saya ini, Bu. Saya merasa benar-benar jatuh cinta padanya.
Saya selalu minta petunjuk Allah agar bia mendapat titik terang. Pernah ia mengajak saya kawin siri karena saya tak mau berzinah, tetapi saya sudah terlanjur dipandang dan dituakan di lingkungan tempat tinggal.
Saya bingung, Bu. Pantaskah saya saya menikah lagi? Bantu saya mengatasi masalah ini ya Bu, terima aksih. Salam.
Ny X - somewhere
Ny X yth,
Bertambahnya usia, biasanya disertai harapan yang juga meningkat dari lingkungan bahwa kita akan lebih dewasa dalam memandang kehidupan dengan segala aspeknya, termasuk ekspresi cinta kita. Apalagi ketika cinta itu mengawali niat untuk menikah kembali. Dan, dengan status sosial yang telah dimiliki, ditambah anak yang sudah besar-besar, rasanya tidak salah bila sebagai perempan Anda perlu berhati-hati untuk mengambil keputusan untuk menikah kembali dengan bapak pelatih itu atau tidak.
Bila Anda bertanya pantaskah Anda menikah lagi, jawaban saya adalah pantas-pantas saja, karena Anda sudah lama lepas dari masa iddah Anda, dan bila kebutuhan untuk itu juga ada pada Anda, mengapa tidak? Hanya saja Bu, untuk perkawinan kedua, alangkah baiknya bila sejak awal ibu mengomunikasikannya dengan anak-anak. Karena, tak peduli berapapun usia mereka, tetap saja mereka adalah anak Anda, yang pasti akan punya perasaan bahwa dengan menikahnya Anda, merekapun harus 'berbagi' ibunya dengan orang lain. Padahal,selama hampir 10 tahun ini hanya ibu-lah orangtua mereka, bukan?
Lebih indah lagi, kalau keluarga besar Anda juga mengetahui hal ini, sehingga mereka tak merasa 'dilangkahi'. Seringkali terjadi, anak-anak bisa menerima, malah keluarga yang malu kakaknya menikah kembali dengan alasan macam-macam. Calon suami kurang setaraf-lah dengan almarhum kakak ipar, atau pertimbangan-pertimbangan lain yang terasa lebih untuk memelihara gengsi mereka, bukan memperhatikan alasan utama kakaknya yang masih butuh teman untuk melanjutkan kehidupan setelah suaminya meninggal dunia.
Bila Anda mendapat dukungan moril dari orang-orang terdekat, pasti hati Anda akan lebih tegar ketika kelak mengarungi hidup baru, karena perkawinan di usia relatif lanjut ( di atas 40 an) ternyata tetap saja mengandung potensi masalah yang tak kurang 'seru'nya dibandingkan dengan mereka yang menikah di usia muda. Paling tidak, jejak pengalaman pernikahan pertama dahulu, pasti akan membayangi cara Anda berinteraksi dengan suami kini.
Untuk menikah di bawah tangan saya sarankan pikirkan seratus ribu kali, agar Ibu benar-benar sadar risiko yang akan Anda terima. Identitas sebagai istri pasti tak bisa disosialisasikan agar diketahui oleh kerabat, tetangga dan lingkungan, bahkan biasanya malah disembunyikan rapat-rapat. Bagaimana pula risiko akan 'didamprat' oleh istri tua yang notabene tidak tahu dan pasti akan merasa dibohongi oleh suaminya?
Penerimaan keluarga suami?Apakah Anda juga akan 'disimpan' rapat-rapat oleh suami agar keluarganya tak tahu? Pada hemat saya, risiko sosial kawin di bawah tangan jauh lebih besar Bu, dari apa yang Anda akan peroleh. Maaf, ya, Bu, bukankah kita yang perempuan ini jarang sekali memutuskan menikah karena tak kuasa membendung kebutuhan biologis? Nah,taruhlah, salah satu alasan terkuat Ibu untuk menikah adalah alasan kebutuhan biologis, coba Ibu tengok ke 10 tahun terakhir ini, bukankah Ibu sudah sukses menjaga diri agar tidak berzinah? Berarti, Anda kuat, dan insya Allah akan tetap kuat. Apalagi bila 'bayaran' menikah lagi justru lebih banyak ruwet katimbang nyamannya.
Nah, pertimbangkan pula status sosial Anda yangmemang amat dihormati lingkungan. Apakah Ibu rela bertukar semua itu dengan sebuah pernikahan di bawah tangan? Pasti tidak kan Bu ?Maka saran saya,hentian saja dulu SMS mesra dengan laki-laki itu. Katakan Anda bisa menunggunya (tentukan, sampai kapan Anda mau menunggunya) hingga ia memperoleh status perceraian yang jelas.
Dengan demikian, Anda juga menguji kebenaran pernyataannya bahwa hubungannya dengan istri memang sudah diambang kehancuran, dan bukan cuma mengada-ada karena sedang senang degan Anda. Salah satu bentuk kegombalan laki-laki yang beristridan menjalin lagi hubungan dengan perempuan lain adalah dengan curhat soal ketidakbahagian rumah tangganya. Herannya, "ilmu gombal" ini tetap ampuh menjaring perempuan yang percaya bahwa kekasihnya sedang mengurus cerai, padahal ia tak melakukan apa-apa.
Jadi, sekali lagi, tolong pikirkan baik-baik, lebih banyak mana manfaatnya, menikah kembali dalam waktu dekat ini, atau Anda bersabar lagi menanti, sampai ia benar-benar bercerai dari istrinya. Itupun, Anda perlu kaji lagi dengan seksama, bagaimana pengasuhan anak-anaknya? Bila ikut dia, berarti Anda akan punya anak-anak yang harus Anda asuh, bukan? Bila ikut ibunya, berapa persen penghasilan suami yang harus direlakan untuk membiayai anak-anaknya? Pertimbangan-pertimbangan yang perlu dibuat memang rasanya jauh benar dari urusan cinta ya Bu, tetapi percayalah , mempertimbangkan segala aspek kehidupan yang kelak akan berubah sejalan dengan berubahnya status dari janda ke nyonya, akan membuat Anda lebih yakin melangkah ke perkawinan.
Dan, bila ternyata kemudian Anda tak menikah dengannya karena statusnya yang tetap saja suami orang, saya sarankan agar Ibu tak bersedih berlama-lama. Jalani hidup seperti sedia kala, siapa tahu anak-anak yang kelak menikah dan memberi cucu, akan membuat Anda lebih sibuk sehingga 'lupa' pada kehendak untuk menikah lagi.
Oh ya, mantan teman kuliah memang tak perlu diladeni Bu, wong ia juga pria beristri, kan? Salam sayang.
KOMENTAR