Orang tua harus hati-hati, lo, bila sang buah hati suka makan makanan yang tak lazim. Bisa mengakibatkan pertumbuhannya terganggu!
Ny. Ani sangat heran ketika menjumpai Piko (2) asyik mengunyah sesuatu di dalam mulutnya, padahal ia tak sedang memberinya makanan. Setelah dibujuk untuk membuka mulutnya, alangkah terkejutnya ia, ternyata yang sedang dikunyah dan dinikmati Piko adalah seutas benang. Panik dengan perilaku Piko yang demikian, Ny. Ani pun segera membawa Piko ke dokter dan psikolog untuk mendapat penanganan lebih lanjut. Sebetulnya, apa, sih, yang terjadi pada Piko?
Ulah Piko memakan benda-benda asing ini dalam ilmu psikologi dinamakan pica. Yaitu, kebiasaan memakan benda atau barang yang tidak biasa dimakan. Misalnya makan cat, kotoran, tanah, kapur, dan sebagainya. Menurut Dra. Ike Anggraika, MSi. dari Fak. Psikologi Universitas Indonesia, Jakarta, hal ini bisa terjadi karena si anak tidak bisa membedakan mana yang boleh dimakan dan mana yang tidak boleh dimakan. Kapan mulainya kebiasaan ini dilakukan, menurut Ike, sangat bervariasi. "Tetapi umumnya kala anak sudah bisa makan sendiri, yaitu sekitar usia 2 tahun." Saat itulah biasanya ia sudah mulai makan makanan yang di"ingin"kannya.
TIGA PENYEBAB
Sampai sekarang, teori yang mengemukakan penyebab kebiasaan ini belum ada yang pasti. Namun dari segi psikologis, umumnya pica terjadi karena 3 hal. Yang pertama, bisa karena si anak memiliki keterbelakangan mental (mental retarded). Kondisi yang demikian membuat daya tangkap dan kemampuan kognitif si anak kurang bagus, sehingga ia tidak bisa membedakan mana yang bisa dimakan dan mana yang tidak boleh. Dengan keterbelakangan mentalnya, maka si anak memiliki kapasitas otak yang terbatas.
"Sehingga ia tidak bisa melakukan diferensiasi (perbedaan). Ia tidak bisa mencerna dan memilah-milah, mana yang enak dan mana yang tidak enak. Ia tidak punya diferensiasi rasa, bau, dan sebagainya," jelas Ike. Berbeda dengan orang normal yang tahu mana yang asin, mana yang basi, dan mana yang segar. "Dengan tidak berfungsinya sistem pengenalan inilah maka apa pun ia makan," terang Ike lebih lanjut. Yang kedua, kebiasaan ini kerap terjadi pada anak dengan kelainan autisme atau memiliki kelainan di susunan syarafnya.
"Mungkin karena kelainan itu, ia juga tidak bisa membedakan mana yang boleh dimakan dan mana yang tidak." Anak autis biasanya punya rasa ketertarikan besar pada sesuatu. Misalnya, sangat senang pada makanan tertentu, maka ia hanya mau makan makanan tersebut. "Kalau ia suka nasi goreng, misalnya, ia cuma mau makan menu nasi goreng tersebut. Ya, kalau kebetulan maunya nasi goreng masih oke. Lha, kalau maunya makan cat, kan, susah." Mengapa anak autis punya ketertarikan besar pada suatu benda? Ike tidak bisa mengetahui penyebabnya.
"Kayaknya, ada daya tarik tersendiri di cat itu. Mungkin baunya atau warnanya yang ia suka. Jadi, memang agak susah dan butuh penanganan tersendiri. Yang jelas, memang ada korsluiting atau disfungsi di otaknya yang membuat ia seperti itu. Walaupun demikian, Ike mengakui, tidak semua anak autis atau terbelakang mental memiliki kebiasaan pica ini. Selain pada kedua hal di atas, pica juga kerap terjadi pada neglected child atau anak yang terlantar. Misalnya pada anak yang orang tuanya sangat sibuk, sehingga anak tidak diawasi dan tidak diberi pengasuhan dan perawatan semestinya. Akibatnya, anak jadi tak terurus dan keleleran.
Ketika ia lapar, ia akan makan apa saja yang ada di sekitarnya," ujar Ike. Hal senada juga dikemukakan dr. Aman B. Pulungan, Sp.A., dari RSIA Hermina Jatinegara, pada kesempatan terpisah. Banyak teori yang menyebutkan, penyebab pica karena adanya gangguan kepribadian, kekurangan nutrisi, gangguan emosional, dan deprivasi maternal (hubungan anak dan orang tua yang kurang baik). "Hal ini biasanya terjadi pada anak-anak yang terabaikan dan cenderung memiliki keterbelakangan mental."
FASE NORMAL
Menurut Aman, pica juga dianggap sebagai ketidakberhasilan adaptasi dari fase oral (memasukkan sesuatu ke mulut) ke fase selanjutnya. "Pada usia tertentu, anak memang punya kebiasaan memasukkan sesuatu ke mulut, kan? Nah, jika terjadi saat anak berusia 1 sampai 18 bulan masih dianggap normal. Di fase ini anak memang suka memasukkan sesuatu ke mulut yang disebut fase oral/genital."
Pada anak normal, tidak semua hal bisa dimasukkan ke mulut. Misalnya, tanah. "Untuk anak yang normal, ia akan tahu, rasanya tanah itu tidak enak. Pasti akan dimuntahkan lagi. Tetapi pada anak yang terbelakang mental dan autis karena ada masalah di susunan syarafnya, ia tidak merasa ada perbedaan," tambah Ike. Fase oral atau genital ini memang tidak bisa dicegah. "Kalau fase ini ditiadakan juga tidak bagus buat si anak." Jadi, yang paling baik adalah memberi anak cukup makanan yang sehat untuk dimakan. Sebab, kalau kebiasaan ini terus berlanjut hingga lebih dari usia 18 bulan, lanjut Aman, "Berarti ada sesuatu yang tidak beres. Apalagi jika disertai dengan gangguan pertumbuhan, seperti berat badan sulit naik dan tidak mau makanan biasa, maka tentu harus menjalani pemeriksaan." Umumnya pica kerap terjadi pada anak usia di atas 18 bulan."Risiko paling tinggi terdapat pada anak usia 1 sampai 6 tahun."
GAGAL TUMBUH
Dampak dari pica ini, terang Aman, adalah gangguan intoksikasi (keracunan) timah. Misalnya, karena anak makan cat. "Secara umum, karena ia makan segala macam benda, maka anak juga bisa terkena diare, infeksi, anemia, cacingan, atau kekurangan vitamin. Tetapi hasil akhir yang paling buruk adalah gangguan pertumbuhan dan gagal tumbuh. Misalnya, anak bisa jadi kecil dan pendek." Memang, diakui Aman, anak dengan kebiasaan pica pun bisa saja makan makanan lain. "Tetapi, karena sudah jadi kebiasaan, maka ia kadang menolak makan makanan lain seperti sayur atau daging. Nafsu makannya juga berkurang, karena sudah terbiasa makan benda-benda tadi."
Sementara pada anak yang terlantar, timpal Ike, yang dikhawatirkan adalah dampak terlantarnya. "Keterlantarannya itu yang dampaknya sangat besar. Makan itu, kan, hal pokok. Separah-parahnya orang tua menelantarkan anak, biasanya masih memperhatikan makanan anaknya. Nah, jika hal yang dasar, yaitu makan, tidak diperhatikan, bagaimana dengan keselamatan dan perkembangannya. Jadi, faktor keterlantarannya itu yang sebetulnya mempengaruhi secara psikologis, bukan pica-nya," tandas Ike.
INTERDISIPLIN
Penanganan anak dengan pica, menurut Aman, memang agak kompleks. "Penanganannya harus interdisiplin. Yaitu ditangani oleh dokter anak untuk masalah gizi dan nutrisinya, sedangkan masalah emosinya ditangani oleh psikiater. Di luar negeri bahkan ada social workers dan perawat public health khusus untuk merawat anak pica ini." Yang jelas, lanjut Aman, jika orang tua cermat, mereka akan tahu apakah anaknya pica atau tidak. "Misalnya anak sering sakit, suka muntah-muntah, keinginan bermain kurang, anak kurang aktif, atau menolak makan makanan yang umum," ujar Aman.
Sementara Ike menekankan, "Sebetulnya yang paling harus dilakukan adalah mendampingi dan mengawasi anak. Juga harus diperhatikan, apakah memang makanan di rumah jarang, sehingga anak sampai makan benda-benda asing, khususnya jika penyebabnya adalah karena anak diterlantarkan," ujar Ike. Karena, mungkin saja si anak memiliki kebutuhan makanan yang lebih, sementara orang tuanya tidak menyediakan makanan, sehingga akhirnya anak melakukan pica tersebut. "Seperti bayi, kalau ia nggak dikasih makan, ia akan menghisap jari-jarinya. Demikian juga untuk balita. Kalau nggak ada makanan tersedia dengan cukup, ya, apa saja yang ada di sekitarnya akhirnya dimakan."
PERAN ORANG TUA
Untuk mengatasinya, ujar Ike, harus dilihat dulu apakah anak memiliki keterbelakangan mental atau autis. "Sebab, jarang ditemukan, anak yang intelegensinya normal dan dirawat dengan baik memiliki kebiasaan ini." Jadi, lanjut Ike, yang harus diatasi adalah keterbelakangan mental atau autismenya terlebih dulu.
"Ini perlu latihan dengan teknik khusus. Kalau kita tahu anak kita mentalnya terbelakang, harus diberikan pengawasan dan perawatan ekstra dibandingkan pada anak normal. Orang tua harus teliti dan mengawasi betul anaknya." Sementara pada kasus anak terlantar, lanjut Ike, "Tipsnya cuma satu, yaitu jangan diterlantarkan lagi." Kalau perlu serahkan pada orang lain yang bersedia merawatnya atau mengadopsinya. Tentunya yang tak boleh dilupakan, orang tua juga harus mengajarkan, mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dimakan oleh anak.
"Namanya juga anak kecil, kalau kita nggak teliti, ya akhirnya keterusan. Ketemu semut pun akan dimakan." Selama orang tua tidak mengajarkan anak untuk membedakan mana yang bagus, mana yang enak, kebiasaan ini tidak akan hilang. Namun jika sudah diberi tahu, maka biasanya anak pun akan tahu dan tak memakannya. Lain halnya jika anak itu anak autis atau terbelakang mental.
"Kebiasaan pada anak-anak demikian memang agak susah dihilangkan, karena perilakunya sudah terbentuk. Mungkin butuh teknik tertentu untuk mengajari mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dimakan," ujar Ike. Jadi, kini Bapak dan Ibu lebih tahu bahwa memang tugas orang tualah untuk menjadi lebih cermat lagi dalam merawat anak-anak. Setuju, ya!
Hasto Prianggoro/nakita
KOMENTAR