Jadi, tandas Romy, orang tua jangan menganggap bahwa kemampuan bersosialisasi anak akan berkembang begitu saja, tapi harus dilatih. Orang tua juga harus menjaga agar anaknya enggak kebablasan menjadi bahan olok-olok. "Ada, kan, anak yang dijadikan pecundang oleh teman-temannya. Disuruh-suruh mau, dikerjain oleh teman-temannya diam saja. Ini karena anak tak berani bilang tidak. Anak tak bisa defense, sehingga tak bisa survive. Setiap kali bertemu masalah, selalu memanggil Mama atau Papanya," papar Romy. Sehingga tak jarang terjadi, ada anak yang lantaran sering diolok-olok oleh teman sampai takut untuk bersosiasilasi. Celaka, kan!
Dalam menanggapi ejekan/olok-olok sang teman, anak juga perlu diajarkan untuk menolaknya. Tapi bukan berarti membuat anak menjadi galak atau melawan, melainkan dibekali skill atau kemampuan agar dia bisa survive kalau diolok-olok/ diejek. "Kalau anak bisa memberikan jawaban atas olok-olok yang datang padanya, maka lama-lama yang mengolok-olok pun akan bosan," ujar Romy. Sebab, terangnya, reward untuk orang yang mengolok-olok adalah kalau orang yang diolok-olok itu takut, menangis atau mengadu. "Tapi kalau kita diam saja atau membalik olok-olokannya, maka dia akan kehilangan sense of olok-olokan-nya itu. Berarti tujuannya gagal." Misalnya, anak diejek, "Ih, kamu kayak bebek." Lantas anak menjawab, "Biarin aku kayak bebek. Bebek, kan, jago berenang." Nah, si pengejek/pengolok tentunya akan berhenti mengejek karena ia merasa ejekannya tak mempan, tak bisa membuat anak yang diejek itu menjadi takut atau menangis atau mengadu pada orang tuanya.
ANAK HARUS DITEGUR
Anak yang suka mengejek/mengolok-olok juga akan terkena dampaknya. Dia bisa tak punya teman. "Semakin besar, teman-temannya tentu akan melihat dan takut akan diejek atau diolok-olok kalau bermain dengannya," tutur Romy.
Dampak lainnya, si pengejek juga tak bisa bersosialisasi. "Anak seperti ini tak memiliki kemampuan untuk mengungkapkan diri dengan cara lain selain mengolok-olok." Misalnya, untuk mengekspresikan rasa marah, anak hanya bisa melakukannya dengan omong kasar. "Padahal, kan, ada cara lain. Dia bisa mengungkapkan rasa marah atau tak senangnya dengan membicarakannya."
Untuk mengatasinya, orang tua juga harus memberikan pengajaran cara bersosialisasi, sama halnya dengan anak yang menjadi "korban" ejekan/olok-olok. "Semua sudah diberi oleh Allah, kok. Tetapi, apakah itu akan berkembang atau tidak, sangat tergantung dari bagaimana kita mengajar, merangsang, dan memotivasinya untuk bisa keluar." Misalnya, setiap anak punya potensi untuk ramah. Tapi kalau di rumahnya enggak ada orang yang ramah, ya, anak enggak bakal jadi ramah.
Yang susah, lanjut Romy, anaknya mau dibenerin tapi orang tuanya justru enggak mau bener. "Jadi, perangkatnya ada tapi enggak tahu bagaimana cara memakainya." Padahal, anak itu, kan, belum tahu apa akibatnya jika ia mengejek/mengolok-olok teman. "Di usia ini anak masih bersifat konkret operasional. Bukan berarti dia harus dijatuhkan dulu untuk bisa merasakan sakit, tapi setiap kali kita mesti menerangkan sedemikian dan sesederhana mungkin supaya anak tahu bahwa yang dia lakukan itu menyakitkan orang lain."
Jadi, tandas Romy, yang pertama-tama harus dilakukan orang tua adalah jangan memberi reward setiap kali anak mengejek/mengolok-olok. "Kalau kita selalu mengingatkan anak setiap kali ia mengolok-olok, maka anak akan tahu bahwa apa yang dia omongkan itu tak benar." Kemudian, pada saat anak mengejek/mengolok-olok temannya, orang tua sebaiknya memperhatikan si "korban" lebih dulu. Setelah itu barulah si anak ditegur.
Namun dalam menegur, Romy wanti-wanti berpesan, jangan dilakukan pada saat anak tengah mengejek/mengolok-olok temannya. Karena mengejek/mengolok-olok bisa juga dilakukan anak untuk mencari perhatian. Jadi, kalau dia ditegur ketika tengah mengejek, berarti keinginannya untuk diperhatikan akan kesampaian. Sehingga, bukannya dia berhenti mengejek, malah akan membuatnya semakin menjadi-jadi dengan tingkahnya itu. Oleh karena itu, anjur Romy, "setelah anak berhenti mengolok-olok barulah kita masukkan situasi atau nilai-nilai." Misalnya, "Nah, kalau Kakak diam, Mama justru senang."
Kita juga bisa memasukkan nilai-nilai lewat dongeng. Misalnya, "Tangan tadi ngapain? Mukul, ya. Aduh, kok, mukul, sih. Kan, sakit. Mulut tadi ngapain, sayang? Mengejek adik, ya? Aduh, kok, nakal, sih." Lama-lama anak pun akan tahu bahwa mengejek atau mengolok-olok itu tak boleh.
Yang penting diingat, pesan Romy, orang tua juga harus benar-benar melakukan apa yang diajarkannya kepada anak. Jangan sampai anak diajarkan tak boleh mengolok-olok tapi orang tua sendiri malah mengolok-olok, misalnya, kepada pembantu. Anak pasti akan membandingkan, "Lo, kok, Mama ngomongnya begitu, sih, sama Mbak?" Nah, lo!
TEKANKAN PADA REWARD
Tak jarang terjadi, orang tua malah menghukum anaknya yang suka mengejek dengan melarangnya bergaul. Hal yang sama juga dilakukan oleh orang tua yang anaknya diejek, tapi bukan sebagai hukuman melainkan untuk melindungi anaknya agar tak selalu diejek. Cara demikian, menurut Romy, tidaklah tepat. "Justru kalau anak tak diperbolehkan bergaul, proses sosialisasinya jadi semakin jelek."
Yang terbaik, kata Romy, kita coba "mengabaikan" atau pura-pura tak tahu dengan tingkahnya mengejek/mengolok-olok dan lebih memberi penekanan pada reward atas perilaku baiknya. Misalnya, pada saat anak berbicara sopan kepada adik atau temannya, berilah reward dengan mengatakan, "Nah, begitu kalau ngomong sama adik, ya." Tapi jangan lantas orang tua membuat anak menjadi seperti kristal. "Di rumah dia enggak boleh dimarahin, enggak boleh dikerasin. Begitu masuk ke lingkungan baru, kesenggol temannya saja anak sudah ketakutan setengah mati. Kan, itu, tidak bagus buat perkembangannya."
Kemudian dalam hal sosialisasi, Romy kembali menegaskan, "orang tua sebaiknya jangan take it for granted. Sosialisasi itu harus diajarkan." Dengan demikian, kemampuan sosialisasi anak akan berkembang baik. Anak akan jadi luwes dalam bergaul. Selain itu, "orang tua juga harus memberi contoh." Misalnya, kalau bertemu orang menyapa, "Apa kabar?" Hal-hal demikian, menurut Romy, kalau tak diajarkan pada anak maka anak tak akan tahu.
Selanjutnya, bila sampai terjadi anak mengejek/mengolok-olok, maka yang pertama harus dilihat orang tua ialah lingkungan rumah, "Apa, sih, yang terjadi di rumah?" Karena rumah, terang Romy, adalah lingkungan yang paling dekat. Setelah itu, barulah kita mencoba mengubah anak.
Hasto Prianggoro
KOMENTAR