Duh, sedihnya menyaksikan si kecil kerap diejek dan diolok-olok oleh teman-temannya. Sebenarnya, apa, sih, yang membuat anak diejek atau mengejek teman.
Biasanya anak yang memiliki fisik tertentu sering diejek dan diolok-olok oleh teman- temannya. Misalnya, anak yang bertubuh gemuk diolok-olok dengan sebutan si Gendut.
Yang juga sering diejek/diolok-olok ialah anak yang kurang terampil dalam bersosialisasi dengan teman-temannya. Misalnya, anak yang galak. "Teman-temannya jadi sebel sama dia, sehingga akhirnya dia diolok-olok," terang Dra. Rosemini A. Prianto, MPsi. yang akrab disapa Romy.
Bisa juga karena anak tak punya sopan santun, tambah staf PD IV Sub. Bidang Pengembangan Fakultas Psikologi UI ini. Misalnya, kalau mengambil sesuatu dia langsung main ambil saja tanpa minta izin lebih dulu pada yang empunya. "Kalau itu dilakukan di lingkungan keluarga sebetulnya, sih, nggak masalah. Tapi begitu ia masuk ke dalam satu lingkungan lain, maka akibatnya akan banyak. Teman-temannya enggak akan toleran."
Faktor lain yang menyebabkan anak diejek/diolok-olok teman berasal dari luar diri anak. "Biasanya anak-anak kecil itu, kan, suka nge-geng. Kalau yang satu pakai sesuatu, maka yang lain juga harus pakai. Nah, anak yang tak bisa memenuhi apa yang diharapkan oleh lingkungannya ini akan menjadi terpencil. Dia nggak diajak main oleh teman-temannya itu," tutur Romy. Faktor dari luar ini, menurutnya, lebih susah diubah ketimbang yang dari dalam. "Apalagi kalau penyebabnya adalah faktor sosial-ekonomi."
POLA ASUH
Sebaliknya, pada anak yang suka mengejek/mengolok-olok, "bisa terjadi karena modeling dari melihat lingkungan," ujar Romy. Misalnya, anak mengolok-olok temannya, kemudian lingkungan di sekitarnya tertawa karenanya. "Ini akan jadi reward bagi anak, sehingga makin lama anak akan makin sering melakukannya untuk mendapatkan tertawa orang," jelasnya. Bisa juga anak mencontoh dari TV atau film. Misalnya, adegan orang mengolok-olok yang membuat anak terkesan dan merasa, "Oh, kalau mengolok-olok seperti itu, orang akan tertawa."
Penyebab lain adalah pola asuh orang tua. Anak yang diperlakukan secara keras dan dengan kata-kata yang pedas, maka akan juga berlaku serupa kepada yang lebih lemah semisal adik atau temannya yang lebih kecil. "Anak yang sulit untuk mengatakan tidak, misalnya, itu bisa karena orang tuanya terlalu otoriter atau terlalu keras sehingga anak tak punya kesempatan untuk berbicara." Padahal, anak juga memiliki kebutuhan berbicara untuk mengekspresikan dirinya. "Kalau anak diam saja di rumah, bukan berarti dia mengiyakan apa kata orang tuanya tapi karena kesempatannya yang enggak ada. Akhirnya dia coba di luar dengan cara mengolok-olok temannya." Oleh karena itu, anjur Romy, orang tua sebaiknya memberi kesempatan kepada anak untuk berbicara.
Selain itu, anak juga akan cenderung untuk selalu mencoba apa yang dilakukan orang tuanya. "Entah dia akan berhenti atau tidak dalam mencoba, tergantung anaknya. Tetapi mencoba adalah kemungkinan terbesar yang akan dilakukan anak," kata Romy. Mungkin juga, lanjutnya, orang tua tak secara langsung menjadi model bagi anak, sehingga anak akhirnya terbiasa mengolok-olok.
AJARKAN MENOLAK EJEKAN
Tentu, anak akan terkena dampak akibat diejek/diolok-olok. Anak jadi tak bisa bergaul, cuma punya sedikit teman. Anak juga cenderung akan bermain sendiri. Akibatnya, lama-kelamaan akan berpengaruh pada kepercayaan diri dan konsep dirinya. "Anak akan merasa, kok, teman-teman enggak suka sama aku, sih," kata Romy. Apalagi jika lingkungan di sekitarnya juga sering memberi label kepadanya. Misalnya, si Gendut, si Galak, dan sebagainya. Hal ini akan membekas di hati anak.
Nah, agar hal tersebut tak terjadi pada anak, menurut Romy, orang tua harus membekali anak dengan kemampuan bersosialisasi yang baik. Tak peduli apakah si anak bertubuh gemuk, jelek atau cantik. Terlebih lagi bila si anak memang kurang memiliki keterampilan bersosialisasi. Karena tak jarang terjadi, anak yang cantik bak primadona di rumah, tapi begitu masuk ke lingkungan baru, dia tak bisa survive. Pasalnya, apa yang dia lakukan di rumah diterapkan juga di lingkungan teman-temannya. Misalnya, kalau di rumah dia selalu dipenuhi segala permintaannya, maka di luar rumah pun dia ingin diperlakukan demikian. "Ya, tentu teman-temannya enggak bisa toleran dan menerima, dong."
Jadi, tandas Romy, orang tua jangan menganggap bahwa kemampuan bersosialisasi anak akan berkembang begitu saja, tapi harus dilatih. Orang tua juga harus menjaga agar anaknya enggak kebablasan menjadi bahan olok-olok. "Ada, kan, anak yang dijadikan pecundang oleh teman-temannya. Disuruh-suruh mau, dikerjain oleh teman-temannya diam saja. Ini karena anak tak berani bilang tidak. Anak tak bisa defense, sehingga tak bisa survive. Setiap kali bertemu masalah, selalu memanggil Mama atau Papanya," papar Romy. Sehingga tak jarang terjadi, ada anak yang lantaran sering diolok-olok oleh teman sampai takut untuk bersosiasilasi. Celaka, kan!
Dalam menanggapi ejekan/olok-olok sang teman, anak juga perlu diajarkan untuk menolaknya. Tapi bukan berarti membuat anak menjadi galak atau melawan, melainkan dibekali skill atau kemampuan agar dia bisa survive kalau diolok-olok/ diejek. "Kalau anak bisa memberikan jawaban atas olok-olok yang datang padanya, maka lama-lama yang mengolok-olok pun akan bosan," ujar Romy. Sebab, terangnya, reward untuk orang yang mengolok-olok adalah kalau orang yang diolok-olok itu takut, menangis atau mengadu. "Tapi kalau kita diam saja atau membalik olok-olokannya, maka dia akan kehilangan sense of olok-olokan-nya itu. Berarti tujuannya gagal." Misalnya, anak diejek, "Ih, kamu kayak bebek." Lantas anak menjawab, "Biarin aku kayak bebek. Bebek, kan, jago berenang." Nah, si pengejek/pengolok tentunya akan berhenti mengejek karena ia merasa ejekannya tak mempan, tak bisa membuat anak yang diejek itu menjadi takut atau menangis atau mengadu pada orang tuanya.
ANAK HARUS DITEGUR
Anak yang suka mengejek/mengolok-olok juga akan terkena dampaknya. Dia bisa tak punya teman. "Semakin besar, teman-temannya tentu akan melihat dan takut akan diejek atau diolok-olok kalau bermain dengannya," tutur Romy.
Dampak lainnya, si pengejek juga tak bisa bersosialisasi. "Anak seperti ini tak memiliki kemampuan untuk mengungkapkan diri dengan cara lain selain mengolok-olok." Misalnya, untuk mengekspresikan rasa marah, anak hanya bisa melakukannya dengan omong kasar. "Padahal, kan, ada cara lain. Dia bisa mengungkapkan rasa marah atau tak senangnya dengan membicarakannya."
Untuk mengatasinya, orang tua juga harus memberikan pengajaran cara bersosialisasi, sama halnya dengan anak yang menjadi "korban" ejekan/olok-olok. "Semua sudah diberi oleh Allah, kok. Tetapi, apakah itu akan berkembang atau tidak, sangat tergantung dari bagaimana kita mengajar, merangsang, dan memotivasinya untuk bisa keluar." Misalnya, setiap anak punya potensi untuk ramah. Tapi kalau di rumahnya enggak ada orang yang ramah, ya, anak enggak bakal jadi ramah.
Yang susah, lanjut Romy, anaknya mau dibenerin tapi orang tuanya justru enggak mau bener. "Jadi, perangkatnya ada tapi enggak tahu bagaimana cara memakainya." Padahal, anak itu, kan, belum tahu apa akibatnya jika ia mengejek/mengolok-olok teman. "Di usia ini anak masih bersifat konkret operasional. Bukan berarti dia harus dijatuhkan dulu untuk bisa merasakan sakit, tapi setiap kali kita mesti menerangkan sedemikian dan sesederhana mungkin supaya anak tahu bahwa yang dia lakukan itu menyakitkan orang lain."
Jadi, tandas Romy, yang pertama-tama harus dilakukan orang tua adalah jangan memberi reward setiap kali anak mengejek/mengolok-olok. "Kalau kita selalu mengingatkan anak setiap kali ia mengolok-olok, maka anak akan tahu bahwa apa yang dia omongkan itu tak benar." Kemudian, pada saat anak mengejek/mengolok-olok temannya, orang tua sebaiknya memperhatikan si "korban" lebih dulu. Setelah itu barulah si anak ditegur.
Namun dalam menegur, Romy wanti-wanti berpesan, jangan dilakukan pada saat anak tengah mengejek/mengolok-olok temannya. Karena mengejek/mengolok-olok bisa juga dilakukan anak untuk mencari perhatian. Jadi, kalau dia ditegur ketika tengah mengejek, berarti keinginannya untuk diperhatikan akan kesampaian. Sehingga, bukannya dia berhenti mengejek, malah akan membuatnya semakin menjadi-jadi dengan tingkahnya itu. Oleh karena itu, anjur Romy, "setelah anak berhenti mengolok-olok barulah kita masukkan situasi atau nilai-nilai." Misalnya, "Nah, kalau Kakak diam, Mama justru senang."
Kita juga bisa memasukkan nilai-nilai lewat dongeng. Misalnya, "Tangan tadi ngapain? Mukul, ya. Aduh, kok, mukul, sih. Kan, sakit. Mulut tadi ngapain, sayang? Mengejek adik, ya? Aduh, kok, nakal, sih." Lama-lama anak pun akan tahu bahwa mengejek atau mengolok-olok itu tak boleh.
Yang penting diingat, pesan Romy, orang tua juga harus benar-benar melakukan apa yang diajarkannya kepada anak. Jangan sampai anak diajarkan tak boleh mengolok-olok tapi orang tua sendiri malah mengolok-olok, misalnya, kepada pembantu. Anak pasti akan membandingkan, "Lo, kok, Mama ngomongnya begitu, sih, sama Mbak?" Nah, lo!
TEKANKAN PADA REWARD
Tak jarang terjadi, orang tua malah menghukum anaknya yang suka mengejek dengan melarangnya bergaul. Hal yang sama juga dilakukan oleh orang tua yang anaknya diejek, tapi bukan sebagai hukuman melainkan untuk melindungi anaknya agar tak selalu diejek. Cara demikian, menurut Romy, tidaklah tepat. "Justru kalau anak tak diperbolehkan bergaul, proses sosialisasinya jadi semakin jelek."
Yang terbaik, kata Romy, kita coba "mengabaikan" atau pura-pura tak tahu dengan tingkahnya mengejek/mengolok-olok dan lebih memberi penekanan pada reward atas perilaku baiknya. Misalnya, pada saat anak berbicara sopan kepada adik atau temannya, berilah reward dengan mengatakan, "Nah, begitu kalau ngomong sama adik, ya." Tapi jangan lantas orang tua membuat anak menjadi seperti kristal. "Di rumah dia enggak boleh dimarahin, enggak boleh dikerasin. Begitu masuk ke lingkungan baru, kesenggol temannya saja anak sudah ketakutan setengah mati. Kan, itu, tidak bagus buat perkembangannya."
Kemudian dalam hal sosialisasi, Romy kembali menegaskan, "orang tua sebaiknya jangan take it for granted. Sosialisasi itu harus diajarkan." Dengan demikian, kemampuan sosialisasi anak akan berkembang baik. Anak akan jadi luwes dalam bergaul. Selain itu, "orang tua juga harus memberi contoh." Misalnya, kalau bertemu orang menyapa, "Apa kabar?" Hal-hal demikian, menurut Romy, kalau tak diajarkan pada anak maka anak tak akan tahu.
Selanjutnya, bila sampai terjadi anak mengejek/mengolok-olok, maka yang pertama harus dilihat orang tua ialah lingkungan rumah, "Apa, sih, yang terjadi di rumah?" Karena rumah, terang Romy, adalah lingkungan yang paling dekat. Setelah itu, barulah kita mencoba mengubah anak.
Hasto Prianggoro
KOMENTAR