Terlebih lagi bila dengan sikap menentangnya itu akan membuat anak dapat berinteraksi lama dengan orang tuanya. "Mungkin seandainya anak menjawab pertanyaan dengan benar, ia merasa orang tuanya akan cepat meninggalkannya, entah untuk membersihkan rumah, belanja atau pekerjaan lainnya. Sehingga ia merasa tak ada teman lain lagi atau tak ada yang menemaninya."
Dalam bahasa lain, anak berusaha mencari perhatian dengan caranya sendiri. "Ini wajar saja bila dilihat dari kebutuhan anak usia batita yang memang masih membutuhkan perhatian orang tua." Itulah mengapa perilaku anak yang demikian juga akan ditunjukkannya pada orang-orang terdekat lainnya. Artinya, bukan cuma kepada orang tua saja si anak bersikap menentang, tapi juga kepada babysitter, kakek-nenek atau orang dewasa lain yang dekat dengannya
HARUS DIKOREKSI
Jadi, harap Betty, orang tua hendaknya tak menganggap perilaku menentang pada anak karena si anak ingin mencoba mempermainkan atau menguji orang tuanya. "Kecenderungannya lebih ke arah negativisme atau menentang dunianya." Lain halnya bila perilaku demikian ditunjukkan oleh anak usia sekolah, nah, itu baru bisa dibilang mencoba mempermainkan atau menguji orang tua. Sebab, anak usia sekolah sudah mengembangkan pengertiannya. "Pemikirannya sudah mulai ada sedikit analisa walaupun masih sederhana."
Untuk mengatasi masalah ini, saran Betty, orang tua sebaiknya tak memaksa anak dalam mengajarkan huruf/angka ataupun materi lainnya. "Lakukanlah sambil bermain sehingga anak tak menyadari bahwa sebenarnya ia diajak belajar." Misalnya, "Lihat, De, yang bentuknya seperti bebek ini namanya angka 2." Nah, besok kembali lagi diulangi.
Bila anak menentang/menyangkal dan tetap keras pada pendapatnya yang salah, Betty minta agar orang tua mau mendengarkan saja apa yang dikatakan si anak. Jangan malah dihukum, baik lewat kata-kata seperti memaki, misalnya, "Dasar bodoh!" ataupun tindakan fisik seperti memukul. "Orang tua harus paham bahwa ini memang negativisme anak dan rasa egosentris anak masih tinggi." Hukuman hanya akan mematikan kreativitas anak, sehingga kebebasan berpikirnya pun hilang. "Jangan juga anak dialihkan perhatiannya, karena masalahnya jadi tak selesai. Justru akan menimbun permasalahan dan bisa jadi menimbulkan masalah baru. Besok-besoknya lagi anak akan melakukan hal yang sama."
Namun demikian, anak tetap harus dikoreksi. Artinya, anak harus diberi tahu mana yang benar dan salah. Misalnya, "Oh, menurut Ade ini huruf A, bukan huruf B. Tapi coba, deh, Ade lihat lagi, ini, kan, huruf B. Iya, kan!" Jadi, "anak diajak untuk lebih memahami, diingatkan kembali." Atau, bisa juga dengan menanyakan kepada anak, "Kalau begitu, menurut Ade yang mana?", atau, "Ade yakin ini jawabannya? Coba sebutkan lagi." Dengan begitu, orang tua berusaha menggali tapi tanpa memaksakan. "Tentunya tetap sambil bermain, ya. Biasanya anak akan mau mendengarkan."
Betty berpesan, jangan sekali-sekali orang tua mengoreksi anak dengan cara menekan. Misalnya, "Itu salah! Ibu, kan, tadi sudah bilang yang itu yang benar." Atau "Ade bagaimana, sih! Kan, tadi Ibu sudah bilang yang benar itu yang ini. Kamu, kok, diajarkan beberapa kali dari kemarin enggak bisa-bisa juga." Jika demikian caranya, akan mengakibatkan anak semakin menghindari belajar. "Karena sikap orang tua yang menekan itu membuat anak merasa terancam, sehingga ia merasa tak nyaman." Padahal setiap anak membutuhkan rasa nyaman dan aman.
Akibat lain, anak menjadi marah. Bila ini yang terjadi, saran Betty, sebaiknya dibiarkan saja untuk sementara. "Orang tua juga perlu menjaga lingkungan sekitarnya agar aman dan tak membahayakan anak. Karena bisa terjadi, si anak yang marah lantas membanting sesuatu dan sebagainya." Bisa juga dengan anak dipeluk dan ditenangkan perasaannya. "Tapi meski marahnya sudah reda, namun belum tentu dengan perasaannya. Jadi, setelah itu ajaklah anak melakukan hal yang disukainya." Selanjutnya, lihatlah apakah si anak mau meneruskan belajarnya atau tidak. Bila ia tak siap, maka jangan diteruskan.
BERANI BERPENDAPA
Perilaku negativisme, terang Betty, bukan hanya ditunjukkan anak dalam hal belajar, tapi juga seringkali dalam menghadapi aturan sehari-hari yang berkaitan dengan disiplin. Misalnya, menolak mandi atau tidur saat disuruh.
Namun frekuensi penentangan pada setiap anak batita berbeda, tergantung situasi dan waktu apa yang menciptakan perilaku anak seperti itu. "Biasanya anak yang terlalu dikekang atau banyak aturan akan lebih sering menentang, dibanding anak yang mendapatkan banyak kebebasan." Jangan lupa, anak usia ini ingin dirinya diakui dan egosentrisnya masih sangat kuat. Sehingga, aturan yang banyak atau terlalu keras akan dianggap sebagai hukuman oleh anak, yang lalu mengakibatkan anak jadi menentang.
KOMENTAR