"Iman Dharma/nakita "
Sering terjadi, anak diajarkan hal yang benar tapi malah menyangkal. Misalnya, "Ini bentuk huruf A, kalau yang itu huruf B," tapi si anak malah menyahut, "Enggak, itu A, ini B!" Tentu saja orang tua jadi kesal. Habis, sudah diberi tahu tapi reaksinya, kok, malah seperti itu. Bahkan, tak jarang si anak bereaksi "diam". Misalnya ditanya, "Jadi ini huruf apa?", lalu jawabnya, "Enggak tahu!" Padahal sebetulnya ia sudah diajarkan. Coba, siapa yang enggak mangkel?
Perilaku anak yang demikian, kata Dra. Betty DK. Zakianto, MPsi., wajar-wajar saja. "Anak usia ini memang suka menyangkal, menentang atau menidakkan apa yang orang tua bicarakan atau ajarkan." Karena, terangnya, di usia ini anak tengah berada dalam masa temper tantrum atau negativisme alias suka membangkang. "Anak akan menolak atau menentang terhadap apa yang diajarkan atau dijelaskan oleh orang tuanya," lanjut psikolog dari UI ini.
BELUM SIAP
Selain karena anak sedang dalam masa negativisme, perilaku anak yang demikian juga berkaitan dengan perkembangan pengertian si anak. Untuk itu orang tua harus mengetahui, apakah anak sudah paham dengan yang diajarkan/dijelaskan? "Kalau tidak, misalnya ia belum mengenal huruf dengan baik, maka bisa saja ia mengatakannya terbalik-balik, huruf A dibilang B dan huruf B dibilang A," tutur Betty.
Penting diketahui, lanjut Betty, anak usia batita belum siap diperkenalkan dengan huruf. "Mereka baru sampai pada tahap mengenal konsep bentuk seperti bulat, lingkaran dan segitiga. Namun dalam membedakannya, ia belum bisa. Begitupun dengan huruf atau angka." Nanti di usia 3-4 tahun barulah anak bisa mengenal bentuk huruf/angka dengan jelas. Berikutnya di usia 5-6 tahun ia sudah bisa membedakannya, karena ia sudah masuk dalam tahap kesiapan sekolah.
Namun begitu, pemahaman anak pada suatu materi yang diajarkan tak selalu sama pada setiap anak. Hal ini tergantung dari kesiapan anak itu sendiri. "Bisa saja terjadi karena anak belum siap belajar, ia hanya bisa menyebutkan huruf atau angka tanpa mengenal bentuknya." Lain halnya bila anak sudah siap, maka ia akan bisa mengikuti dengan baik materi yang diajarkan. Sebab, "rasa keingintahuan anak di usia batita sangat besar."
Yang perlu diperhatikan, bila anak belum siap untuk belajar dan orang tua memaksa mengajarkan, maka akan memunculkan sikap negativismenya. "Anak akan menentang atau menolak, karena ia merasa dipaksa," ujar Betty.
CARI PERHATIAN
Sering pula terjadi, sikap negativisme anak disebabkan ia ingin mencoba-coba. "Jangan lupa, anak usia ini juga sedang berada dalam tahap eksplorasi," ujar Betty mengingatkan. Anak ingin melihat bagaimana reaksi orang tuanya, apakah dengan bersikap menentang akan membuat sang orang tua marah besar atau tidak.
Hal yang sama juga bisa terjadi pada anak yang sebetulnya sudah mengerti apa yang diajarkan oleh orang tuanya namun dia tetap menyangkal/menentang. Sebab, dengan anak menemukan suatu perilaku yang diinginkan dari orang tuanya, dia mendapatkan kepuasan tersendiri karena merasa ternyata orang tuanya memberi perhatian juga.
Terlebih lagi bila dengan sikap menentangnya itu akan membuat anak dapat berinteraksi lama dengan orang tuanya. "Mungkin seandainya anak menjawab pertanyaan dengan benar, ia merasa orang tuanya akan cepat meninggalkannya, entah untuk membersihkan rumah, belanja atau pekerjaan lainnya. Sehingga ia merasa tak ada teman lain lagi atau tak ada yang menemaninya."
Dalam bahasa lain, anak berusaha mencari perhatian dengan caranya sendiri. "Ini wajar saja bila dilihat dari kebutuhan anak usia batita yang memang masih membutuhkan perhatian orang tua." Itulah mengapa perilaku anak yang demikian juga akan ditunjukkannya pada orang-orang terdekat lainnya. Artinya, bukan cuma kepada orang tua saja si anak bersikap menentang, tapi juga kepada babysitter, kakek-nenek atau orang dewasa lain yang dekat dengannya
HARUS DIKOREKSI
Jadi, harap Betty, orang tua hendaknya tak menganggap perilaku menentang pada anak karena si anak ingin mencoba mempermainkan atau menguji orang tuanya. "Kecenderungannya lebih ke arah negativisme atau menentang dunianya." Lain halnya bila perilaku demikian ditunjukkan oleh anak usia sekolah, nah, itu baru bisa dibilang mencoba mempermainkan atau menguji orang tua. Sebab, anak usia sekolah sudah mengembangkan pengertiannya. "Pemikirannya sudah mulai ada sedikit analisa walaupun masih sederhana."
Untuk mengatasi masalah ini, saran Betty, orang tua sebaiknya tak memaksa anak dalam mengajarkan huruf/angka ataupun materi lainnya. "Lakukanlah sambil bermain sehingga anak tak menyadari bahwa sebenarnya ia diajak belajar." Misalnya, "Lihat, De, yang bentuknya seperti bebek ini namanya angka 2." Nah, besok kembali lagi diulangi.
Bila anak menentang/menyangkal dan tetap keras pada pendapatnya yang salah, Betty minta agar orang tua mau mendengarkan saja apa yang dikatakan si anak. Jangan malah dihukum, baik lewat kata-kata seperti memaki, misalnya, "Dasar bodoh!" ataupun tindakan fisik seperti memukul. "Orang tua harus paham bahwa ini memang negativisme anak dan rasa egosentris anak masih tinggi." Hukuman hanya akan mematikan kreativitas anak, sehingga kebebasan berpikirnya pun hilang. "Jangan juga anak dialihkan perhatiannya, karena masalahnya jadi tak selesai. Justru akan menimbun permasalahan dan bisa jadi menimbulkan masalah baru. Besok-besoknya lagi anak akan melakukan hal yang sama."
Namun demikian, anak tetap harus dikoreksi. Artinya, anak harus diberi tahu mana yang benar dan salah. Misalnya, "Oh, menurut Ade ini huruf A, bukan huruf B. Tapi coba, deh, Ade lihat lagi, ini, kan, huruf B. Iya, kan!" Jadi, "anak diajak untuk lebih memahami, diingatkan kembali." Atau, bisa juga dengan menanyakan kepada anak, "Kalau begitu, menurut Ade yang mana?", atau, "Ade yakin ini jawabannya? Coba sebutkan lagi." Dengan begitu, orang tua berusaha menggali tapi tanpa memaksakan. "Tentunya tetap sambil bermain, ya. Biasanya anak akan mau mendengarkan."
Betty berpesan, jangan sekali-sekali orang tua mengoreksi anak dengan cara menekan. Misalnya, "Itu salah! Ibu, kan, tadi sudah bilang yang itu yang benar." Atau "Ade bagaimana, sih! Kan, tadi Ibu sudah bilang yang benar itu yang ini. Kamu, kok, diajarkan beberapa kali dari kemarin enggak bisa-bisa juga." Jika demikian caranya, akan mengakibatkan anak semakin menghindari belajar. "Karena sikap orang tua yang menekan itu membuat anak merasa terancam, sehingga ia merasa tak nyaman." Padahal setiap anak membutuhkan rasa nyaman dan aman.
Akibat lain, anak menjadi marah. Bila ini yang terjadi, saran Betty, sebaiknya dibiarkan saja untuk sementara. "Orang tua juga perlu menjaga lingkungan sekitarnya agar aman dan tak membahayakan anak. Karena bisa terjadi, si anak yang marah lantas membanting sesuatu dan sebagainya." Bisa juga dengan anak dipeluk dan ditenangkan perasaannya. "Tapi meski marahnya sudah reda, namun belum tentu dengan perasaannya. Jadi, setelah itu ajaklah anak melakukan hal yang disukainya." Selanjutnya, lihatlah apakah si anak mau meneruskan belajarnya atau tidak. Bila ia tak siap, maka jangan diteruskan.
BERANI BERPENDAPA
Perilaku negativisme, terang Betty, bukan hanya ditunjukkan anak dalam hal belajar, tapi juga seringkali dalam menghadapi aturan sehari-hari yang berkaitan dengan disiplin. Misalnya, menolak mandi atau tidur saat disuruh.
Namun frekuensi penentangan pada setiap anak batita berbeda, tergantung situasi dan waktu apa yang menciptakan perilaku anak seperti itu. "Biasanya anak yang terlalu dikekang atau banyak aturan akan lebih sering menentang, dibanding anak yang mendapatkan banyak kebebasan." Jangan lupa, anak usia ini ingin dirinya diakui dan egosentrisnya masih sangat kuat. Sehingga, aturan yang banyak atau terlalu keras akan dianggap sebagai hukuman oleh anak, yang lalu mengakibatkan anak jadi menentang.
Kendati disebut perilaku negativisme, namun orang tua hendaknya jangan menganggap bahwa perilaku ini memiliki nilai negatif atau buruk dalam arti yang sebenarnya. "Justru perilaku ini memiliki nilai positif. Anak jadi berani menyatakan pendapatnya, bebas mengemukakan pendapatnya." Asalkan si anak diarahkan, yakni dengan mengoreksinya.
"Tapi kalau anak dibiarkan terus tanpa dikoreksi, malah akan berdampak negatif. Anak jadi tak tahu mana yang benar dan salah." Misalnya, dalam hal pelajaran, anak tak bisa membedakan huruf atau angka. "Bisa jadi nantinya akan menimbulkan gangguan kesulitan belajar."
Yang lebih parah, dampaknya terhadap perkembangan moral anak. "Anak akan menentang aturan-aturan di rumah. Ia jadi tak tahu aturan dan disiplin. Sehingga, begitu ia mulai masuk sekolah, ia akan kaget saat dihadapkan pada aturan."
Selain itu, bila orang tua menciptakan suasana yang tak mengenakkan, misalnya dengan marah-marah, maka anak akan menjadi takut, ragu-ragu, tak berani menyatakan pendapatnya.
PIKIRKAN KEBUTUHAN ANAK
Betty menganjurkan agar orang tua sebaiknya bersikap sabar dan lebih memahami perkembangan emosi dan kemampuan berpikir anak. "Seringkali banyak orang tua sangat berespon terhadap pernyataan anak, karena orang tua mengharapkan anak berperilaku seperti apa yang mereka inginkan. Sehingga orang tua terlalu memaksa dan tak melihat kesiapan anak. Orang tua lebih melihat pada kebutuhannya, yaitu ingin anaknya cepat pintar," tutur Betty menyesalkan sikap orang tua yang demikian.
Karena itulah Betty minta agar orang tua lebih memikirkan apa yang dibutuhkan oleh anak, bukan apa yang dibutuhkan oleh orang tua. "Walaupun ia anak kecil, tapi tetap punya kebutuhan yang harus diketahui oleh orang tua." Sayangnya, yang sering terjadi adalah orang tua tak melihat kebutuhan anak, seperti anak belum siap belajar, ingin diperhatikan, dan sebagainya. "Sementara anak belum bisa mengungkapkan semua kebutuhannya itu."
Jadi, tandas Betty, yang penting dan harus ditekankan orang tua ialah apakah anak memang sudah siap atau belum untuk diberikan pelajaran tertentu. "Kalau belum siap, ya, tak usah diajarkan. Mengapa harus terburu-buru? Toh, menurut teori, kesiapan anak belajar atau sekolah dimulai pada usia 4 tahun ke atas. Karena pada usia tersebut anak sudah bisa membedakan bentuk dengan jelas."
Bersabar, ya, Bu-Pak
Dedeh Kurniasih/nakita
KOMENTAR