Namun, seberapa jauh keberhasilan tatalaksana berdasarkan metode ini, menurut Rudy, belumlah dapat diramalkan. "Ada anak yang bisa 'sembuh' lebih cepat dari 2 tahun, lebih lambat, dan ada yang dalam waktu tertentu 2 atau 3 tahun. Bahkan ada juga yang masih perlu support sepanjang hidupnya."
Yang perlu diingat, cepat-lambatnya "kesembuhan" bukan tergantung dari ringan-beratnya autisme. "Sampai saat ini sistem klasifikasi autisme masih diperdebatkan," ujar Rudy. Lagipula, tambahnya, penggunaan peringkat ini pun harus dilakukan secara hati-hati karena berpengaruh pada orang tua. "Bila anaknya didiagnosis ringan, orang tua bisa lengah menjalankan tatalaksana optimal. Sementara bila dikatakan berat, mungkin saja si orang tua bisa depresi, putus asa, sehingga tak berbuat apa-apa terhadap anaknya."
Yang pasti, para ahli sepakat, semakin muda usia si anak atau sebelum umur 3 tahun, maka semakin baik hasilnya. "Sehingga pada waktu usia sekolah, tak ada masalah lagi. Yang tinggal hanya gejala sisa, namun orang lain tetap tak akan tahu bahwa si anak mantan penyandang austime." Yang dimaksud gejala sisa, misalnya, pada suatu saat si anak seperti ingin berteriak namun ia bisa menahannya.
Itulah mengapa Rudy menganjurkan agar intervensi dini sebaiknya dimulai segera setelah diagnosis autisme dibuat. "Paling tidak, di usia 2-3 tahun, hasil terbaik bisa dicapai, sehingga anak sudah bisa verbal dan menguasai bahasa sebelum usia 5 tahun." Hal ini didasari pula bahwa perkembangan otak dimulai sejak usia 6 bulan di kandungan. Perkembangannya menjadi sangat pesat dalam 3 tahun pertama kehidupan anak, lalu menurun meskipun relatif masih cukup pesat sampai dengan usia 5 tahun. Namun setelah usia 5-7 tahun menjadi sangat menurun dan akhirnya relatif lambat setelah usia di atas 7 tahun.
Kendati demikian, ujar Rudy, pada usia berapa pun si anak, janganlah pernah berpikir bahwa itu terlambat. "Jika terapi dijalankan dengan konsisten dan terarah, pasti tetap ada gunanya." Namun tentunya terapi yang dilakukan pada anak usia dini dengan anak di atas 5 tahun, hasilnya akan berbeda sebab semakin ditunda pelaksanaan terapi anak, akan semakin sulit dikendalikan baik fisik maupun psikisnya.
Soal tindak pencegahan autisme, menurut Rudy, hingga kini belum ada. Sebab, gen pembawa atau penyebab autisme masih dalam penyelidikan. "Tapi mungkin bisa dilakukan dengan genetik konseling atau konsultasi pranikah, apakah ada gennya pada calon ayah atau ibunya. Atau mungkin dengan rekayasa genetik. Tapi ini pun belum bisa dilakukan."
Dedeh Kurniasih
KOMENTAR