Hati-hati bila si kecil belum juga bisa bicara. Apalagi ia kerap terlihat asyik sendiri dan tak peduli lingkungannya. Mungkin ia mengalami autisme.
Umumnya, bila sampai usia 2 tahun si kecil belum juga bisa bicara, barulah orang tua mulai cemas dan minta bantuan profesional semisal dokter atau psikolog. Celakanya, yang sering terjadi, si profesional malah "menghibur", "Ah, nggak apa-apa, kok, Bu, Pak. Biasanya bicara memang lebih lambat dari berjalan," atau, "Banyak klien saya yang anaknya dulu lambat bicara tapi sekarang malah cerewet."
Padahal, seperti dikatakan DR. Rudy Sutadi, DSA, ucapan yang "menghibur" itu sama sekali tak ada landasan ilmiahnya. "Justru kita harus waspada kalau anak belum juga bisa bicara," ujar Wakil Ketua Yayasan Austisma Indonesia ini. "Karena salah satu hal yang paling sering terjadi pada anak penyandang autisme ialah tak bicara," terangnya.
Memang, diakui Rudy, bukan berarti kita harus selalu curiga si anak menyandang autisme bila dalam masa perkembangannya belum juga bisa bicara. "Karena bisa saja si anak tuli atau bahkan bisu tuli," ujarnya. Kalau begitu, apa saja gejala atau tanda-tanda autisme?
SERING INKONSISTEN
Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder Fourth Edition (DSM IV) dari asosiasi psikiater Amerika dan International Classification of Disease (ICD 10) dari WHO, penyandang austime memiliki kriteria. Antara lain, ada gangguan bicara, tak ada kontak mata, tak ada peer relationship, tak bisa merasakan apa yang dirasakan orang lain, suka menstimulasi diri seperti handflapping, berjalan jinjit, dan sebagainya. Nah, bila terdapat beberapa tanda/gejala yang termasuk kriteria tersebut, maka bisa dikatakan si anak menyandang austime.
Misalnya, pada anak usia mulai bisa bicara sekitar 1-2 tahun, kemampuannya hanya mengoceh dalam bahasa "planet" atau membeo (echolali). Misalnya, saat ditanya, "Siapa namamu?" ia akan mengulangi pertanyaan tersebut dan itu dilakukannya berulang-ulang. Lagu pun diulangnya terus-menerus. Jika ditanya lagu apa yang dinyanyikan, ia diam dan acuh saja. "Beda dengan anak normal, yang kalau ditanya, akan menjawab."
Ada juga anak yang sudah mulai bisa bicara beberapa kata, tapi tiba-tiba, misalnya di usia 18 bulan atau 2 tahun berhenti bicara secara mendadak. "Secara teoritis ini terjadi karena berhentinya perkembangan otak. Tadinya anak mulai mampu tapi tiba-tiba kemampuannya hilang, karena memang ada gangguan di otak. Hal ini sering terjadi," jelas Rudy.
Tanda/gejala lainnya ialah tak ada tatapan atau kontak mata. Si anak pun suka menyendiri dan main sendiri, acuh pada sekeliling, tak takut ataupun menangis. Ditinggal orang tua, dia juga diam saja. Saat bermain, misalnya, dia menderetkan mainan lalu merusaknya kembali dan itu dilakukan berulang-ulang tanpa henti. Ada yang senang mengepakkan tangannya bak burung (handflapping), memutar badannya atau benda semisal koin, piring dan benda lainnya secara terus-menerus. Ia senang memainkan roda mobil-mobilan, melihat putaran kipas angin atau ban mobil sambil mengikutinya dengan gerakan matanya. Kegiatan yang dilakukannya itu berlangsung terus-menerus.
Ada juga tanda gangguan emosi seperti ekses kelebihan dan defisit. Misalnya, respon atas stimulusnya berlebihan, padahal mungkin bagi anak normal, hal itu biasa-biasa saja. Contohnya, ketika melihat semut beriring ia akan memperhatikannya sekian lama, terus-menerus tanpa henti. Sementara untuk anak dengan defisit emosi, contohnya jika digelitik seperti apa pun, ia tetap saja bengong.
Yang lain menunjukkan rasa sensitif terhadap sentuhan. Misalnya, baru diraba kulitnya, sudah serasa diamplas. Atau justru sebaliknya, hiposensitif, sama sekali tak merasakan sentuhan. Misalnya, kalau menggaruk harus sampai keluar darah barulah ia puas dan berhenti.
Yang jelas, "Tanda dan gejala autisme ini sering inkonsisten atau tak terlihat setiap saat atau setiap waktu," ujar Direktur Program KID-Autis (Klinik Intervensi Autisme) JMC ini. Misalnya, bila dipanggil keras namanya, si anak tak bereaksi. Namun begitu mendengar lagu iklan di TV dia akan bereaksi. "Karena inkonsisten inilah, orang tua jadi tak segera menyadari bahwa ada sesuatu yang tak wajar dalam diri anaknya."
FAKTOR GENETIK
Autisme, terang Rudy, merupakan gangguan proses perkembangan yang terjadi dalam 3 tahun pertama kehidupan. Hal ini menyebabkan gangguan pada bahasa, kognitif, sosial, dan fungsi adaptif. Akibatnya, anak autisme semakin lama semakin jauh tertinggal dibanding anak seusianya ketika umurnya semakin bertambah.
Karena merupakan gangguan proses perkembangan, maka tanda/gejala timbulnya bukan hanya pada satu titik umur tertentu tapi bertahap sesuai perkembangan anak. Juga tak bisa dideteksi saat lahir, melainkan harus dilihat sesuai dengan perkembangan anak. Misalnya, masalah gangguan bicara. Pada bayi baru lahir jelas belum bisa bicara, namun bisa diketahui pasti gejalanya sebelum usia 3 tahun.
Merujuk pada riset terakhir, seperti dipaparkan Rudy, diketahui bahwa autisme terjadi karena ada gangguan neurobiologis. "Ini timbul akibat kelainan perkembangan sel-sel otak selama ia berada di dalam kandungan." Gangguan tersebut dapat disebabkan infeksi virus (rubella, herpes, CMV), infeksi toksoplasma, infeksi jamur, perdarahan, ataupun keracunan. Akibatnya, pertumbuhan sel-sel otak di beberapa tempat jadi kurang sempurna. Lokasi pada otak yang sering dijumpai adanya kelainan adalah otak kecil, yang berfungsi untuk keseimbangan, berpikir, daya ingat, belajar bahasa, dan perhatian atau perilaku. Tapi persentasenya hanya 15 persen.
Jadi, tandas Rudy, gangguan perkembangan otak ini sebetulnya sudah dimulai sejak di dalam kandungan. Penyebabnya bisa multifaktor. Yang jelas, lanjut Rudy, "Para ahli sudah sepakat, autisme karena faktor genetik, bakat, atau keturunan, yang dipengaruhi pula faktor lain seperti bahan kimia, yaitu pengawet makanan, penyedap rasa, dan lain-lain."
INTERVENSI DINI
Kendati demikian, austime tetap dapat di"sembuh"kan. Namun "sembuh" yang dimaksud ialah bila si anak bisa masuk ke dalam mainstreaming. "Artinya, mereka bisa masuk sekolah biasa, bisa mengikutinya, bisa berkembang, dan bisa hidup di masyarakat. Tak berbeda dengan anak lain dan tak tampak gejala sisa. Anak pun tak bisa dibedakan baik secara tes akademik maupun sosialnya," terang Rudy.
Dari hasil penelitian diketahui, "kesembuhan" tersebut dapat diperoleh melalui intervensi dini intensif berdasarkan prinsip ABA yaitu Applied Behavior Analysis atau yang dikenal sebagai metode Lovaas. Rudy menyebutnya sebagai Tatalaksana Perilaku. "Metode ini dilakukan secara intensif, minimal 40 jam seminggu atau during all waking hour, sepanjang waktu terjaganya anak. Jadi, kalau terjaganya si anak 50 jam, ya, selama itu."
Kelebihan dari metode ini ialah sistematis, terstruktur, dan terukur. Jadi, program ini memiliki kurikulum disertai petunjuk tentang apa yang harus dilakukan atau diajarkan, dapat dinilai berhasil-tidaknya, juga bisa diulangi oleh siapa pun dan kapan pun.
Cara pelatihannya adalah dengan konsep tiru. Dimulai dengan perseptif, lalu daya tangkap anak atau kognitif, baru kemudian yang ekspresif. Misalnya, meniru gerakan mengangkat tangan. Setelah menguasai konsep tiru minimal 5 gerakan, lalu si anak mulai meniru suara, selanjutnya suku kata dan kata. "Konsep tiru ini bermanfaat untuk jangka pendeknya, yaitu melatih bahasa."
Jika anak sudah bisa meniru suku kata, berarti sudah merupakan kemajuan yang amat besar. Sebab, kata tersusun dari suku kata dan anak autisme tak bisa dipaksa bilang, misalnya, "mata", bila ia belum menguasai suku kata.
TAK PERNAH TERLAMBAT
Namun, seberapa jauh keberhasilan tatalaksana berdasarkan metode ini, menurut Rudy, belumlah dapat diramalkan. "Ada anak yang bisa 'sembuh' lebih cepat dari 2 tahun, lebih lambat, dan ada yang dalam waktu tertentu 2 atau 3 tahun. Bahkan ada juga yang masih perlu support sepanjang hidupnya."
Yang perlu diingat, cepat-lambatnya "kesembuhan" bukan tergantung dari ringan-beratnya autisme. "Sampai saat ini sistem klasifikasi autisme masih diperdebatkan," ujar Rudy. Lagipula, tambahnya, penggunaan peringkat ini pun harus dilakukan secara hati-hati karena berpengaruh pada orang tua. "Bila anaknya didiagnosis ringan, orang tua bisa lengah menjalankan tatalaksana optimal. Sementara bila dikatakan berat, mungkin saja si orang tua bisa depresi, putus asa, sehingga tak berbuat apa-apa terhadap anaknya."
Yang pasti, para ahli sepakat, semakin muda usia si anak atau sebelum umur 3 tahun, maka semakin baik hasilnya. "Sehingga pada waktu usia sekolah, tak ada masalah lagi. Yang tinggal hanya gejala sisa, namun orang lain tetap tak akan tahu bahwa si anak mantan penyandang austime." Yang dimaksud gejala sisa, misalnya, pada suatu saat si anak seperti ingin berteriak namun ia bisa menahannya.
Itulah mengapa Rudy menganjurkan agar intervensi dini sebaiknya dimulai segera setelah diagnosis autisme dibuat. "Paling tidak, di usia 2-3 tahun, hasil terbaik bisa dicapai, sehingga anak sudah bisa verbal dan menguasai bahasa sebelum usia 5 tahun." Hal ini didasari pula bahwa perkembangan otak dimulai sejak usia 6 bulan di kandungan. Perkembangannya menjadi sangat pesat dalam 3 tahun pertama kehidupan anak, lalu menurun meskipun relatif masih cukup pesat sampai dengan usia 5 tahun. Namun setelah usia 5-7 tahun menjadi sangat menurun dan akhirnya relatif lambat setelah usia di atas 7 tahun.
Kendati demikian, ujar Rudy, pada usia berapa pun si anak, janganlah pernah berpikir bahwa itu terlambat. "Jika terapi dijalankan dengan konsisten dan terarah, pasti tetap ada gunanya." Namun tentunya terapi yang dilakukan pada anak usia dini dengan anak di atas 5 tahun, hasilnya akan berbeda sebab semakin ditunda pelaksanaan terapi anak, akan semakin sulit dikendalikan baik fisik maupun psikisnya.
Soal tindak pencegahan autisme, menurut Rudy, hingga kini belum ada. Sebab, gen pembawa atau penyebab autisme masih dalam penyelidikan. "Tapi mungkin bisa dilakukan dengan genetik konseling atau konsultasi pranikah, apakah ada gennya pada calon ayah atau ibunya. Atau mungkin dengan rekayasa genetik. Tapi ini pun belum bisa dilakukan."
Dedeh Kurniasih
KOMENTAR