Sebab lainnya ialah peniruan. Bagi anak kecil, orang tua adalah sosok yang hebat. Karena itulah anak selalu ingin meniru apa yang dilakukan orang tuanya, termasuk ucapan-ucapannya. Celakanya, orang tua seringkali tak menyadari bahwa mereka telah menambah "bumbu" pada waktu menceritakan suatu peristiwa yang juga disaksikan anaknya. Apalagi jika orang lain yang diajak bicara ternyata memberikan respon positif. "Si anak yang mendengarkan perbincangan itu akan berpikir, 'Oh, Mama kalau cerita ternyata begitu, ya. Kok, kayaknya rame, ya. Dapat respon dari Papa.' Akhirnya, tanpa pretensi apa-apa, anak pun akan meniru cara sang ibu bercerita," tutur Rahmitha.
Dalam kaitan dengan berbohong, kata Rahmitha, fantasi merupakan salah satu bentuk defense mechanism atau mekanisme pertahanan diri. Misalnya, anak memecahkan piring. Tapi ketika ditanya, ia malah bilang,"Bukan aku, kok, yang mecahin. Tadi ada kucing yang nyenggol." Jadi, si anak berbohong karena takut dimarahi orang tuanya. Seperti ditulis Yulia Singgih, kebanyakan anak berbohong untuk menghindarkan diri dari hukuman. Anak tak mau dimarahi, disakiti ataupun dipermalukan di depan orang lain. Sehingga dicarilah alasan untuk menutupi keadaan yang sebenarnya. Biasanya hal ini terjadi pada anak yang orang tuanya banyak memberlakukan larangan/aturan. Karena kemampuan anak kecil sangat terbatas untuk mengingat semuanya, sehingga seringkali lebih banyak yang dilupakan daripada diingat. Akibatnya,lebih banyak pula aturan/larangan yang dilanggarnya.
PENDENGAR AKTIF
Orang tua, anjur Rahmitha dan Yulia Singgih, harus menanamkan pengertian pada anak untuk bercerita apa adanya. "Orang tua harus menunjukkan pada anak bahwa ceritanya yang begitu meyakinkan hanya merupakan khayalan dan tidak cocok dengan kenyataan," tulis Yulia Singgih. Dengan demikian anak belajar membedakan mana yang benar dan yang salah.
Misalnya, anak bercerita kepada temannya bahwa ia mempunyai rumah yang besar dan kolam renangnya. Nah, katakan kepada si anak, "Kalau Adik bilang rumah kita besar dan ada kolam renangnya, itu tidak benar. Coba, deh, Adik perhatikan rumah kita. Tidak besar, kan? Tidak ada kolam renangnya, kan? Tapi, meskipun rumah kita kecil, Adik bisa tetap bermain di dalam rumah. Iya, kan?" Dengan begitu, kata Rahmitha, "Orang tua juga menanamkan pada si anak akan rasa kebanggaan pada kenyataan yang ada di hadapannya."
Orang tua juga harus menjadi pendengar yang aktif. Karena, terang Rahmitha, "Seringkali fantasi yang diungkapkan anak selain merupakan hasil olahannya sendiri, juga bisa karena anak mencari perhatian atau bahkan karena ia mengalami stres." Nah, dengan mendengar aktif, orang tua jadi bisa tahu apa sebenarnya yang tersembunyi di balik khayalan si kecil. Dari contoh pesta ulang tahun di Dufan, misalnya, "Bisa jadi sebetulnya si anak sangat ingin merayakan ulang tahunnya di Dufan." Karena itu, anjurnya pula, orang tua sebaiknya tak langsung menghentikan ocehan anak. Misalnya, memotong cerita si anak dengan mengatakan, "Memangnya kamu ulang tahun di Dufan?" "Hal ini akan membuat si anak sedih. Karena ia memang ingin merayakan ulang tahunnya di Dufan."
Tentu orang tua juga harus mengarahkan anak tentang mana yang fakta/realitas dan khayalan. "Tak ada salahnya orang tua masuk ke dunia khayal si anak dengan maksud menariknya ke dunia realita," anjur Rahmitha. Misalnya, saat menonton film kartun di teve. Orang tua bisa bilang, "Monsternya cuma buatan, kok. Adanya cuma di film." Atau ajak si anak berdialog. Misalnya, "Menurut Adik, monster itu ada nggak, ya?" Atau, "Wah, anjingnya pintar, ya, bisa ngomong. Eh, tapi mungkin nggak, ya, anjing bisa ngomong?"
Yang juga penting ialah memberikan perhatian pada anak kala ia mengekspresikan/mengungkapkan perasaannya. Kalau tidak, terang Rahmitha, anak akan berusaha mencari perhatian tersebut. Salah satunya dengan bercerita yang dilebih-lebihkan. Apalagi jika orang tuanya ternyata memberikan respon justru disaat si anak berceritera seperti itu. Anak tentunya akan berpikir, "Oh, kalau begitu di depan Ayah/Ibu, aku hanya boleh cerita yang 'seru-seru' saja. Kalau enggak, Ayah/Ibu enggak mau dengerin ceritaku."
Lagipula, dengan orang tua memberi kesempatan pada anak untuk mengungkapkan perasaannya, maka si anak akan "lentur" perasaannya. "Anak jadi tahu berbagai perasaan seperti sedih, senang, marah, dan sebagainya. Ia pun jadi tahu bahwa perasaan-perasaan tersebut boleh diungkapkan tapi harus proporsional. Jadi, anak akan belajar banyak," papar Rahmitha.
Dalam hal anak membual lantaran meniru, maka orang tua hendaknya berhati-hati kala berbicara atau bercerita ketika ada si anak. Karena anak belum dapat membedakan antara penambahan "bumbu" untuk membuat cerita menjadi lebih "sedap" dengan cerita bohong. Ia juga belum dapat memahamiucapan-ucapan "basa-basi" yang biasanya dilakukan orang dewasa karena tak dapat mengatakan yang sebenarnya agar tak menyakiti hati orang lain.
Untuk menghindari anak berbohong, anjur Yulia Singgih, orang tua jangan menghadapkan anak kepada kemungkinan hukuman yang akan diterimanya,tapi kepada perbuatan pelanggarannya atau kesalahannya. Orang tua juga harus menyelidiki dulu apakah benar si anak berbuat salah/melanggar aturan. Selain itu, orang tua sebaiknya tak banyak larangan/aturan agar anak mudah mengingatnya.
Julie/Hasto Prianggoro/nakita
KOMENTAR