Melarang anak memang harus kalau perbuatannya membahayakan. Yang susah, orang tua gampang sekali mengeluarkan larangan. Akibatnya, si kecil frustrasi dan mengamuk.
Kalau suatu hari putra Anda yang biasanya manis dan penurut berubah menjadi "pemberontak", jangan hanya berhenti pada reaksi terkejut. Cobalah simak dan telusuri lebih dalam, apa yang sebetulnya tengah terjadi dan apa "andil" kita di situ.
Di usia 2-3 tahun, kata psikolog Henny E. Wirawan, S.Psi, M.Hum., perubahan temperamen seperti itu amat wajar terjadi. Dan akan mencapai puncaknya saat anak menginjak usia 3 tahun. "Sebab, di usia itu ia merasa sudah bisa 'menguasai dunia'. Dia sudah bisa jalan, lari, bicara, apa saja." Sementara di mata kita, dia tetap anak kecil yang belum bisa apa-apa. Jadilah setiap kali anak melakukan sesuatu, otomatis mulut ini akan berujar, "Jangan, Nak, nanti jatuh!" atau, "Nggak boleh, manis, itu bahaya!"
Larangan-larangan macam itu, membuat anak kesal dan akhirnya berontak. Dia seperti ingin protes, "Aku, kan, cuma ingin menunjukkan sesuatu. Kok, dilarang, sih?" Rasa kesalnya itulah yang kemudian diungkapkannya dalam bentuk ngambek, ngamuk atau lazim disebut temper tantrum.
FRUSTASI
"Jadi, dia ngamuk karena banyak faktor lingkungan (sedikit-sedikit dilarang) dan bukan karena berwatak pemberang. Masak, sih, di usia 2 tahun sudah ada alarm untuk 'Ayo, nakal!'. Kan, enggak begitu. Temperamen suka mengamuk ini dialami oleh hampir semua anak."
Selain lingkungan, lanjut psikolog ini, pemicu kemarahan dan kekesalan anak yang paling sering ialah rasa frustrasi. "Ia ingin melakukan sesuatu tapi gagal. Ingin berhasil tapi tak bisa." Ambil contoh ia ingin mengangkat kopor tapi tak bisa karena berat. Nah, semestinya ia belajar, benda itu terlalu berat untuk anak sekecil dia. "Di sinilah orang tua harus berperan. Sebab, jika anak tak didukung, ia akan berpikir, dirinya bodoh atau lemah." Kalau sudah begitu, buntut-buntutnya ia bisa mengalami frustrasi dan marah, kendati kemarahannya itu lebih ditujukan pada dirinya sendiri.
Berbeda halnya jika ia diberi dukungan dalam bentuk penjelasan. "Nak, kopor itu memang berat. Ibu saja belum tentu kuat. Nanti, kalau kamu sudah besar, pasti kuat." Dengan demikian, anak mengerti bahwa kekuatannya masih terbatas tapi di satu saat nanti ia pasti bisa melakukannya.
Dengan kata lain, "Sebagai orang tua kita harus pandai-pandai menafsirkan arti kemarahan anak dan memperhatikan tanda-tandanya," ujar Pembantu Dekan I Fakultas Psikologi Universitas Tarumanegara Jakarta ini.
Bukan cuma rasa frustrasi yang membuat anak jadi hobi ngambek. Tapi juga saat ia merasa tak ada perhatian terhadapnya. Akibatnya, ia melakukan sesuatu untuk menarik perhatian, kendati tanpa disadarinya perbuatannya itu membahayakan dirinya. Orang tua pun jadi panik melihat kelakukannya. Nah, lain kali, ia akan kembali mengulanginya karena ia tahu, kalau ia berbuat "heboh" semua orang panik dan memperhatikannya.
JADI SENJATA
Bersikap tenang adalah kiat yang dianjurkan Henny dalam menghadapi si kecil yang sedang angot atau meledak-ledak. "Benar, mungkin anak akan diam kalau kita marahi. Tapi itu berbahaya karena nantinya ia tak akan berekespresi selamanya." Yang juga harus diingat, jangan buru-buru panik lalu mengiakan saja tuntutan anak karena ini sama dengan kita mengizinkan ia berperilaku demikian. "Lain kali, ia akan lakukan lagi karena ia tahu, itulah 'senjata'nya untuk menaklukkan orang tuanya."
Jadi, saat si kecil mengamuk, yang paling bijaksana ialah mendiamkan saja perilaku mengamuknya. "Toh, akhirnya akan diam dengan sendirinya. Jika itu terjadi di tempat umum, angkat si kecil, bawa ke mobil. Kalau ia mengamuk di rumah sambil melempar-lempar barang, bawa masuk ke kamar dan tinggalkan. Lama-lama, kan, dia capek sendiri dan akhirnya sadar, orang tuanya tak mempan ditaklukkan dengan cara itu."
Agar ia tak mengamuk di tempat umum, saran Henny, sebelum berangkat, beri tahu padanya, "Nanti kita ke supermarket untuk belanja. Kalau kamu mau sesuatu, kita lihat dulu. Perlu atau tidak, mahal atau tidak." Kalau ia sudah tahu apa yang diinginkan dan kita setuju tapi tiba-tiba ia berubah pendapat, katakan padanya, "Lo, tadi, kan, sudah sepakat, kamu mau beli itu, bukan yang ini. Kapan-kapan, kamu boleh ambil yang itu tapi sekarang tidak." Dengan demikian, sejak kecil ia sudah dilatih menahan keinginan dan mematuhi apa yang sudah menjadi perjanjian bersama.
Bila si kecil angot lantaran ingin mendapat perhatian, saran Henny, lebih baik ajak ia jalan-jalan dan tunjukkan bahwa kita pun masih bisa memberi perhatian. Perhatian juga bisa dilakukan dengan rajin menelepon si anak apabila ibu bekerja. Tanyakan apakah ia sudah makan atau belum, dan sebagainya. Dengan begitu, ia akan merasa, "Oh, aku ini masih punya orang tua yang memperhatikan." Sehingga kecemasannya atau ketakutannya akan ditinggalkan bisa teredam dan ekspresinya yang meluap-luap itu pun pada akhirnya berkurang.
Tentunya, tutur Henny, tugas memperhatikan anak tak melulu berada di pundak ibu. "Ayah pun harus ikut bertanggung jawab." Kedua orang tua bisa bergantian memperhatikan si kecil apabila keduanya disibukkan oleh pekerjaan. Misalnya si bapak pergi lebih pagi, maka si ibu sebaiknya berangkat kerja agak siang. Begitupun saat pulang kantor, sehingga anak tak merasa diabaikan dan kehilangan semua orang tuanya.
bersambung
Indah Mulatsih/nakita
KOMENTAR