Tak usah cemburu bila si kecil lebih dekat dengan pengasuhnya. Lebih baik segera introspeksi diri.
Setelah seharian ngantor, wajar jika para ibu ingin segera bertemu dengan sang buah hati. Memeluk dan menciumnya dengan penuh kangen seolah lama tak berjumpa. Tapi, jangankan memeluk dan mencium, baru didekati saja, si kecil langsung berlari ke pengasuhnya. Ketika dipaksa, ia malah menjerit-jerit sambil berpegangan kuat pada pengasuhnya. Ia baru tenang setelah dibujuk si pengasuh.
Peristiwa serupa itu bukan tak mungkin dialami para ibu bekerja karena anak telanjur "lengket" pada pengasuhnya. Sedih, kecewa, dan cemburu bercampur jadi satu. Tak jarang kondisi ini membuat ibu jadi sangat emosional. Si pengasuh langsung "dipecat". Selesaikah persoalan? Tidak!
Seperti dituturkan Dr. Siti Marliah Tambunan dari Fakultas Psikologi UI, keadaan malah tambah runyam. "Ibu jadi repot cari pengasuh baru, dan harus kembali mengajari dari nol." Sementara itu, anak jadi rewel, tak mau makan, gara-gara ditinggal si Mbak. "Rewelnya anak, sebetulnya merupakan protes atas rasa sedih dan kehilangannya." Celakanya lagi, si ibu tak mengerti dan malah memarahi anak. Runyam, bukan?
Pengasuh baru pun, mungkin akan menimbulkan masalah yang sama. Yaitu dekat dengan anak, lalu ibu marah, memecat, cari yang baru, dan seterusnya. Padahal kedekatan anak dengan pengasuh, sangat wajar terjadi karena ia memang menghabiskan waktu lebih lama bersama anak, ketimbang Anda dengan si kecil. "Kelekatan anak dengan pengasuh adalah salah satu risiko yang harus diambil oleh ibu karena ia bekerja atau sibuk di luar rumah," tutur Siti Marliah.
IKATAN EMOSIONAL
Satu hal yang harus dipahami para ibu, "kelengketan" anak dengan sang pengasuh tak terjadi begitu saja. Itu hanya akan terjadi jika anak merasa memiliki ikatan emosional yang kuat antara dirinya dengan sang pengasuh. Ikatan emosional ini, terang Siti Marliah, ada yang berwujud secure (aman) dan insecure (tak aman). "Bila ikatan emosional yang dirasakannya itu aman, maka anak pun akan merasa aman dalam hubungannya dengan seseorang." Jadi, kalau sampai anak menolak ibunya, mungkin saja ia merasa tak aman bila bersama ibunya.
Karena itulah, tandas psikolog ini, "Lekat-tidaknya seorang anak dengan pengasuhnya adalah tanggung jawab ibu. Juga bagaimana ibu memperlakukan anak pada usia pertamanya."
Ikatan emosional (attachment) antara ibu dan anak sebenarnya diawali sejak ibu menyusui anak. "Saat memberi ASI, ibu bukan hanya memberi minum pada bayinya, tapi juga sentuhan kasih sayang yang memberikan rasa aman." Melalui sentuhan itulah tercipta ikatan emosional antara ibu dan anak, sehingga terbentuklah trust (kepercayaan), yang membuat anak merasa aman dengan lingkungannya. "Jika sudah merasa aman, ia akan mengadakan eksplorasi dengan lingkungannya. Jadi, attachment adalah dasar dari perkembangan tingkah laku anak selanjutnya."
Tentunya attachment yang baik ialah yang secure. Artinya, kelekatan yang ada ialah kelekatan secara emosi, bukan fisik. "Jika anak ke mana-mana maunya digendong atau 'menggelantung' terus pada ibunya, berarti ada ketergantungan fisik. Hal itu malah menunjukkan ia merasa tak aman." Tapi kalau attachment-nya sehat, maka ia tak terlalu tergantung. Ia tetap berani bereksplorasi dengan sekelilingnya.
LEBIH PEKA
Nah, attachment antara anak dengan pengasuh, menurut Siti Marliah, lebih karena kepekaan si pengasuh dalam menanggapi kebutuhan sang anak. "Mungkin si pengasuh lebih mau mengerti, cepat tanggap saat diperlukan anak." Misalnya, saat ia mengompol, langsung mengganti popoknya karena takut pantat si kecil jadi gatal. Menyuapinya atau memberinya susu saat ia lapar, memandikannya, menghiburnya saat ia menangis, menidurkannya, dan mengajaknya bermain.
KOMENTAR