Nah, apakah si kecil Anda memperlihatkan ciri-ciri seperti di atas? Kalau ya, sebaiknya jangan buru-buru memvonis si kecil hiperaktif. "Lihat dulu, apakah tingkah superaktifnya itu bertahan hingga lebih dari 6 bulan atau tidak. Sebab, bisa saja ia cuma sekadar kelebihan energi. Yang seperti ini, biasanya cuma bertahan sebulan lalu ia akan kembali normal."
Perhatikan pula baik-baik, apakah perilaku aktifnya berlebihan dan tak sesuai usia perkembangan. Caranya, bandingkan ia dengan anak lain sebayanya. "Kalau tidak bisa diamnya si kecil dirasa berbeda dengan anak sebayanya, mungkin itu bisa dianggap sebagai tanda adanya perbedaan," kata Eka.
Lihat juga apakah ia bisa duduk manis lebih dari 5 menit saat menonton film kesukaannya? Sebab, anak hiperaktif biasanya cuma melirik sebentar ke teve, lantas perhatiannya beralih ke hal lain lagi. Selanjutnya lihat apakah gejala itu muncul di rumah, di tetangga, di tempat umum seperti pasar swalayan dan sebagainya, maupun dalam hubungannya dengan teman bermainnya. Sebab, bila hanya muncul dalam satu lingkungan dan tak muncul di lingkungan lain, berarti bukan hiperaktif. Tapi kalau benar hiperaktif, maka perilakunya itu juga dilakukan di segala situasi, sepanjang hari dan pada setiap kesempatan. Pendeknya, benar-benar tak kenal tempat dan waktu.
Nah, bila si kecil ternyata benar hiperaktif, sebaiknya segera konsultasikan ke psikolog anak. Sebab, kalau didiamkan saja, bisa berlanjut sampai si anak beranjak dewasa. "Memang kalau sudah dewasa, ia bisa mengontrol tingkah lakunya tapi umumnya ia akan menemukan masalah dalam pekerjaan. Cepat bosan, jenuh, tugasnya tak pernah selesai, dan antisosial."
PENYEBAB
Tapi bagaimana seorang anak bisa menjadi hiperaktif? Menurut ahli, bisa karena faktor neurologis, yaitu bagian pengendalian dan pengaturan motoriknya yang kurang matang sehingga anak tak bisa mengendalikan gerakan-gerakannya, juga karena faktor genetik, lingkungan (misalnya kekurangan oksigen saat kehamilan atau kelahiran, trauma lahir, defisiensi gizi, dan lainnya), atau faktor bawaan setelah kelahiran.
Pola asuh yang salah juga bisa jadi penyebab. Misalnya, anak berasal dari keluarga yang tak disiplin. "Mau apa saja, diizinkan. Akhirnya, ia tak bisa kontrol diri," ungkap Eka. Kendati demikian, lanjutnya, "Penyebab hiperaktif tak dapat dibedakan secara kasat mata karena semuanya terlihat dalam perilaku yang sangat aktif." Semuanya baru bisa diketahui setelah didiagnosa psikolog. "Juga lewat pemeriksaan pemetaan otak atau brain mapping sehingga akan diketahui bagian-bagian mana yang kurang matang. Selanjutnya, si anak akan dirujuk kepada ahli yang bersangkutan."
Jika penyebabnya adalah pengasuhan yang salah, "Tugas orang tua untuk melakukan introspeksi. Beri tahu dia tentang batasan mana yang boleh dan tidak."
SALURKAN ENERGI
Satu hal ditekankan Eka, "Jangan sekali-kali mencap anak hiperaktif sebagai anak nakal, malas, atau bodoh. Soalnya, anak akan merasa ia betul bodoh, malas, atau nakal." Nah, kalau sudah begitu, anak akan berpikir, "Biarin, sekalian saja aku melakukan hal-hal yang demikian."
Yang juga penting, jangan menghukum anak karena perilakunya yang hiperaktif. Eka mengingatkan, perilaku hiperaktif bukanlah kesalahan si anak. Yang terjadi adalah kegagalan pemusatan perhatian dan pengendalian diri sejak lahir. "Ia tak bisa mengontrol dirinya karena kemampuan otaknya terbatas. Kalau ia dihukum, ia akan heran mengapa dihukum padahal tak melakukan kesalahan."
Yang terbaik ialah, "Terima ia apa adanya. Ia perlu dibantu untuk mampu memusatkan perhatiannya, sehingga kelak ia dapat menyesuaikan diri pada lingkungannya dengan lebih baik." Nah, salah satu caranya, dengan menyalurkan energinya secara lebih efektif. Misalnya lewat olahraga. "Dengan begitu energi anak tersalur tanpa harus merusak barang atau mengganggu orang lain."
Atlet New Balance Triyaningsih Berhasil Taklukan Kompetisi TCS New York City Marathon 2024
KOMENTAR