Syaratnya, hanya diperkenalkan, bukan diajarkan. Lo, apa bedanya? Apa pula kepentingannya?
Tak ada salahnya, kata Dra. Diennaryati Tjokrosuprihatono, M.Psi., memperkenalkan bahasa asing kepada anak sejak dini. Apalagi sekarang bahasa asing, terutama bahasa Inggris, sudah menjadi satu kebutuhan umum dengan semakin terbukanya hubungan internasional. "Barangkali dalam waktu dekat ini kita juga akan banyak bergaul dengan orang-orang asing karena ada keterbukaan itu," ujar psikolog yang akrab dipanggil Dieny ini.
Dari beberapa penelitian mutakhir, tutur Dieny, ditemukan bahwa jika anak sejak dini dirangsang berbahasa asing, minimal pengucapannya pronounciation) akan bagus. "Nanti, bila sudah waktunya dan si anak sendiri juga sudah siap untuk belajar karena minatnya muncul, dia akan lebih cepat menguasainya. Sehingga diharapkan bila ia menggunakan bahasa asing itu, ia akan lebih fasih, lancar, dan lebih berani dalam mengutarakannya," tuturnya.
Keuntungan lain, wawasan anak jadi lebih luas karena ia bisa menangkap informasi dari bahasa asing di samping bahasa Indonesia. Entah dari literatur, buku cerita, atau acara-acara TV yang menggunakan bahasa asing. Pergaulannya juga tambah luas karena tak hanya bergaul dengan orang Indonesia. "Jadi, sebenarnya ini untuk masa depan si anak sendiri," tukas Pembantu Dekan IV bidang Penelitian dan Pengembangan Fakultas Psikologi UI ini.
SENANG DAN AMAN
Kendati demikian, Dieny tak setuju bila anak sudah "diajarkan" bahasa asing sejak usia dini. "Kalau hanya dirangsang atau diperkenalkan, enggak apa-apa. Kesalahan yang terjadi selama ini, karena bahasa asing dianggap perlu, maka anak lantas diajarkan. Ini sama sekali tidak betul," tuturnya.
Bila diajarkan, jelas Dieny, berarti ada bahan-bahan yang dipelajari, ada tugas-tugas yang harus dikerjakan, dan ada sanksi. Si anak pun merasa terbebani. "Cara ini bukan membuat anak termotivasi untuk belajar, tapi malah jadi takut," tukas staf pengajar tingkat sarjana dan magister pada Fakultas Psikologi UI ini.
Akibatnya, anak jadi takut untuk berbicara dalam bahasa asing. "Karena kalau diajarkan, berarti dia juga belajar tata bahasanya. Nah, dia tak berani omong karena takut grammar-nya salah," terang Dieny. Yang lebih parah ialah dampak pada pengembangan emosi si anak. "Dalam beberapa kasus ditemukan, anak yang tadinya tak gagap lalu menjadi gagap karena ia takut," sambungnya.
Diakui Dieny, usia balita memang merupakan masa peka belajar. Anak mempunyai kemampuan yang sangat luar biasa untuk menyerap aneka rangsangan dari luar dirinya, termasuk rangsangan berbahasa asing. Tapi di sisi lain, ia sedang dalam masa bermain dan mengembangkan aspek-aspek perkembangannya yang lain seperti emosi dan sosial. "Nah, kalau mau memberi rangsangan, harus kita pertimbangkan aspek-aspek tadi," tandasnya.
Dasar dari satu pengembangan pada anak usia balita, lanjut Dieny, harus melalui perasaan senang atau fun, bebas, dan aman secara psikologis. "Dengan demikian anak bisa mengembangkan dirinya secara optimal," katanya. Nah, perasaan-perasaan itulah yang harus diberikan pada anak jika ia diberi pelajaran bahasa asing sehingga ia merasa tertarik dan mau mempelajarinya.
CEPAT TEPAT
Dieny lalu mengibaratkan bahasa daerah, "Kan, anak tidak dipaksa. Misalnya dia suku Jawa. Orang tuanya, kan, enggak maksa anak harus bisa bahasa Jawa dari kecil. Tapi si anak melihat, dengan bicara pakai bahasa Jawa, orang tuanya bisa bergaul. Ia tertarik lalu meniru dengan satu-dua kata dan ternyata ia mendapat reward dalam arti orang tua menanggapi. Anak pun senang dan lama-lama jadi mengusainya."
Atlet New Balance Triyaningsih Berhasil Taklukan Kompetisi TCS New York City Marathon 2024
KOMENTAR