Lebih jauh dijelaskan Rostiana, ada dua faktor yang mempengaruhi seorang anak dalam berteman, yakni faktor intelektual dan pola asuh orang tua. Nah, pada anak di bawah usia 3 tahun, jelas Rostiana, intelektualnya belum berkembang. Sehingga, mereka berteman sesuai konsep yang dipikirkannya. "Anak usia ini, kan, masih egosentris. Pola pikirnya adalah dirinya sendiri. Sesuatu yang benar atau salah tergantung dia. Konsepnya sangat konservatif atau tak bisa diubah," terang Rostiana.
Tak heran bila kita kerap menyaksikan, anak batita berebut mainan atau saling tak mau mengalah, dan sebagainya. Karena itu, Rostiana menganjurkan, orang tua atau pengasuh sebaiknya selalu mendampingi si kecil kala ia sedang belajar berteman.
Setelah anak mulai masuk ke kelompok bermain (play group), barulah pola pikirnya mulai berubah. Sebab, ia mulai menerima kehadiran orang lain yang lebih dewasa, yang kata-katanya harus didengar, yaitu guru. "Jadi, bila tadinya apa yang benar menurut dia, sekarang menjadi apa yang benar menurut gurunya. Itu yang jadi patokannya, yang dibawanya dalam berteman," tutur Rostiana. Misal, saat temannya salah, ia akan bilang, "Tadi Bu Guru bilang apa, ayo?"
Begitu pun dalam hubungan dengan orang tua, yang didahulukan tetap apa yang dikatakan gurunya. "Ini yang harus diwaspadai orang tua," Rostiana mengingatkan. Jangan sampai konsep orang tua bertentangan dengan guru anak. Misal, konsep orang tua tentang kebersihan berbeda dengan gurunya, si anak akan bingung. "Biasanya, yang akan dimenangkan anak adalah konsep gurunya. Karena ia masih berpikir konservatif," tambah psikolog yang pernah aktif di Sanggar Kreativitas Bobo ini.
DEMOKRASI DAN OTORITER
Sementara faktor pola asuh orang tua, menurut Rostiana, biasa dibagi dua, yakni demokratik dan otoriter. "Kalau yang demokratik, orang tua selalu memberi kesempatan pada anak, hangat, dan tak pernah melarang. Nah, biasanya anak pun akan hangat sama teman. Menaruh perhatian pada teman, sehingga teman-temannya pun sangat menyukainya," terangnya. Misal, kala melihat temannya menangis, si kecil akan mendekati dan menanyakan, "Kenapa, sih, kamu menangis? Main sama aku, yuk."
Berbeda dengan anak-anak dari orang tua yang otoriter. "Anak-anak ini jarang diajak bicara atau bermain oleh orang tuanya. Mereka juga banyak dibatasi. Sebentar-sebentar, jangan ini, jangan itu," papar Rostiana. Jika temannya menangis, misalnya, anak-anak ini akan bingung. Mereka akan diam saja, tak tahu apa yang harus dilakukan. Sehingga, teman-temannya jadi tak begitu menyukainya. Akibatnya, ia jadi orang yang terisolir.
Nah, anak-anak dari pola asuh yang otoriter ini, kata Rostiana, bisa menjadi anak yang menarik diri atau pemalu. Bisa juga agresif.
bersambung
.
Indah Mulatsih/nakita
KOMENTAR