Berteman, kok, pakai dilatih? Nanti pun si kecil bakal punya teman. Benar! Tapi, teman yang seperti apa? Sebaliknya, apakah si kecil pun bisa menjadi teman yang diterima di kelompoknya?
Setiap orang butuh teman, tak terkecuali anak-anak. Bahkan, kebutuhan akan teman sudah tampak sejak bayi, yakni ketika bayi berhenti menangis bila seseorang menghampirinya. Kebutuhan ini makin meningkat seiring dengan berkembangnya bayi menjadi "dewasa".
Di masa kanak-kanak, seorang anak membutuhkan teman bukan hanya untuk bermain, tapi juga untuk memperoleh pengalaman belajar. Banyak hal diperoleh anak dengan berteman. Antara lain, kemandirian. Ia belajar berpikir sendiri dan mengambil keputusan sendiri. Ia pun belajar menerima pandangan dan nilai-nilai kelompok, belajar tentang perilaku yang diterima dan ditolak kelompok. Kepercayaan dirinya jadi tumbuh bila ia mampu menyesuaikan diri.
Nah, bila kita ingin si kecil kelak mampu mandiri dan memiliki penyesuaian sosial yang baik, berarti kita perlu melatihnya berteman.
PERKEMBANGAN BERTEMAN
Menurut psikolog Dra. Rostiana., sejak usia setahun, anak bisa dilatih berteman. Kendati di usia ini ia baru mengeksplorasi lingkungan, tapi bila ia disodorkan, "Ini adik. Ayo disayang," maka ia akan mengelusnya. "Tapi hanya sekadar itu. Ia belum tahu temannya itu mau diapain. Karena arti teman belum masuk ke frame of mind-nya," tutur Pudek III Fakultas Psikologi Universitas Tarumanegara, Jakarta ini.
Umumnya, sampai usia 2 tahun, si kecil masih berteman ke dalam rumah, yakni orang-orang yang ada di lingkungan keluarganya. Di usia ini, ia memang sudah bereksplorasi ke luar lingkungan keluarga, tapi belum bisa berteman seperti yang kita harapkan. Jika ia main bersama anak lain sebayanya, biasanya mainnya masih sendiri-sendiri.
Kendati demikian, kata Rostiana, "Sebaiknya tetapkan libatkan anak ke teman-temannya. Tapi orang tua jangan terlalu berharap banyak, ia akan bisa berteman dengan baik. Yang penting, ia mengenal situasinya dulu."
Berteman dalam arti yang sesungguhnya, baru bisa efektif kala si kecil usia 3 tahun. Sebab, terang Rostiana, "Di usia ini anak sudah memiliki kemampuan bersosialisasi." Misal, dapat mengikuti peraturan tertentu dalam permainan, yang membuat mereka interaktif.
Selain itu, si kecil juga sudah mulai mengerti fungsi orang lain terhadap dirinya. Ia pun sudah mengenal arti bersosialisasi. Kendati begitu, si kecil belum memilih-milih teman. "Teman yang didapatkan anak hampir semuanya tanpa sengaja. Mereka sudah tersedia begitu saja tanpa perlu dicari atau dipilih. Misal, anak tetangga, saudara sepupu, atau anak dari teman orang tuanya," tutur Rostiana.
Baru setelah usia 5 tahun ke atas, si kecil mulai memilih-memilih siapa yang akan dijadikan temannya. Misal, mencari teman yang punya kesamaan minat. Entah itu karena sama-sama senang baju warna merah atau mengidolakan tokoh yang sama. Dengan cara begitu, anak sudah bisa menentukan, mana yang teman dan mana yang dianggap musuh.
EGOSENTRIS DAN KONSERVATIF
Lebih jauh dijelaskan Rostiana, ada dua faktor yang mempengaruhi seorang anak dalam berteman, yakni faktor intelektual dan pola asuh orang tua. Nah, pada anak di bawah usia 3 tahun, jelas Rostiana, intelektualnya belum berkembang. Sehingga, mereka berteman sesuai konsep yang dipikirkannya. "Anak usia ini, kan, masih egosentris. Pola pikirnya adalah dirinya sendiri. Sesuatu yang benar atau salah tergantung dia. Konsepnya sangat konservatif atau tak bisa diubah," terang Rostiana.
Tak heran bila kita kerap menyaksikan, anak batita berebut mainan atau saling tak mau mengalah, dan sebagainya. Karena itu, Rostiana menganjurkan, orang tua atau pengasuh sebaiknya selalu mendampingi si kecil kala ia sedang belajar berteman.
Setelah anak mulai masuk ke kelompok bermain (play group), barulah pola pikirnya mulai berubah. Sebab, ia mulai menerima kehadiran orang lain yang lebih dewasa, yang kata-katanya harus didengar, yaitu guru. "Jadi, bila tadinya apa yang benar menurut dia, sekarang menjadi apa yang benar menurut gurunya. Itu yang jadi patokannya, yang dibawanya dalam berteman," tutur Rostiana. Misal, saat temannya salah, ia akan bilang, "Tadi Bu Guru bilang apa, ayo?"
Begitu pun dalam hubungan dengan orang tua, yang didahulukan tetap apa yang dikatakan gurunya. "Ini yang harus diwaspadai orang tua," Rostiana mengingatkan. Jangan sampai konsep orang tua bertentangan dengan guru anak. Misal, konsep orang tua tentang kebersihan berbeda dengan gurunya, si anak akan bingung. "Biasanya, yang akan dimenangkan anak adalah konsep gurunya. Karena ia masih berpikir konservatif," tambah psikolog yang pernah aktif di Sanggar Kreativitas Bobo ini.
DEMOKRASI DAN OTORITER
Sementara faktor pola asuh orang tua, menurut Rostiana, biasa dibagi dua, yakni demokratik dan otoriter. "Kalau yang demokratik, orang tua selalu memberi kesempatan pada anak, hangat, dan tak pernah melarang. Nah, biasanya anak pun akan hangat sama teman. Menaruh perhatian pada teman, sehingga teman-temannya pun sangat menyukainya," terangnya. Misal, kala melihat temannya menangis, si kecil akan mendekati dan menanyakan, "Kenapa, sih, kamu menangis? Main sama aku, yuk."
Berbeda dengan anak-anak dari orang tua yang otoriter. "Anak-anak ini jarang diajak bicara atau bermain oleh orang tuanya. Mereka juga banyak dibatasi. Sebentar-sebentar, jangan ini, jangan itu," papar Rostiana. Jika temannya menangis, misalnya, anak-anak ini akan bingung. Mereka akan diam saja, tak tahu apa yang harus dilakukan. Sehingga, teman-temannya jadi tak begitu menyukainya. Akibatnya, ia jadi orang yang terisolir.
Nah, anak-anak dari pola asuh yang otoriter ini, kata Rostiana, bisa menjadi anak yang menarik diri atau pemalu. Bisa juga agresif.
bersambung
.
Indah Mulatsih/nakita
KOMENTAR