Anda sudah mengomel panjang lebar tapi anak tetap mengabaikan larangan Anda? Atau, Anda sering tak kompak dengan pasangan di depan anak? Simak kiat berikut agar Si Kecil patuh tanpa merasa terpaksa.
Di belahan dunia mana pun, setiap orangtua pasti memiliki harapan yang sama: berhasil mendidik anak dengan baik. Namun, semua juga tahu, usaha untuk mencapai keinginan dan harapan itu tak semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi, suami dan istri merupakan dua pribadi yang berbeda, yang artinya berbeda pula isi pikiran dan perasaannya.
Oleh karena itu, Dra. Henny E. Wirawan, M. Hum, Psi, psikolog dan Kepala Pusat Audit Lembaga Manajemen Mutu Universitas Tarumanagara Jakarta ini menyarankan, perlu dibuat kesepakatan antara kedua orangtua, agar tak terjadi tumpang tindih dalam memberi aturan kepada anak. Sebab, mendidik anak yang baik perlu kesepakatan dari kedua belah pihak.
Meski berbeda secara pribadi, menurut Henny, suami dan istri adalah satu tim yang seharusnya kompak dalam menerapkan pola pengasuhan bagi anak, sehingga terjadi kesinambungan dalam memberikan pendidikan. "Untuk itu, tentu saja pasangan perlu duduk bersama, berdiskusi, dan mencapai kata sepakat untuk mendidik anak," ujar Henny seraya menambahkan, obrolan semacam ini seharusnya sudah dimulai sejak keduanya belum menikah.
Ketika anak sudah lahir dan orangtua mulai menjalankan perannya masing-masing, obrolan ini harus semakin serius. Namun, meski sudah terjadi kesepakatan, bukan tak mungkin masalah yang muncul tetap saja menimbulkan perbedaan pendapat antara suami dan istri. Berbeda pendapat sebetulnya wajar dan sah-sah saja, asal tidak dilakukan di depan anak.
BEDA PERSEPSI
Di depan anak, saran Henny, kedua orangtua harus sepakat alias satu suara. Boleh atau tidak boleh. Ya atau tidak. "Tujuannya agar anak tidak menjadi bingung dengan penetapan aturan. Selain itu, untuk mencegah agar anak tidak memanipulasi orangtua karena mengetahui kedua orangtuanya sering memiliki pandangan berbeda dalam mengasuh anak," tutur Henny.
Anak yang mengetahui dan paham orangtuanya punya dua suara, akan mencari celah di mana dia dapat menemukan pembelaan dan perlakuan yang senantiasa menyenangkannya. Misalnya, ketika ibu melarang anak bermain air, ayah justru memperbolehkannya. Perbedaan sikap atau pendapat kedua orangtua yang dilihat anak ini bisa membuat anak merasa "menang" atas ibunya karena memiliki pembela.
Dengan demikian, dia akan dengan mudah berlindung di belakang pembelanya. Akibatnya, pola pengasuhan tidak berjalan dengan baik karena adanya dualisme ini. Sebetulnya, tutur Henny, berbeda pendapat yang terjadi pada kasus seperti ini, wajar saja, karena memang persepsi kedua pihak berbeda.
Sebagian ayah yang notabene laki-laki, lebih toleran terhadap kegiatan di luar ruang dan aktivitas fisik yang memberdayakan motorik kasar. "Sedangkan sebagian ibu yang notabene perempuan, cenderung lebih peduli pada kebersihan dan higienitas, serta lebih fokus pada aktivitas motorik halus. Sehingga, terkadang ada perbedaan sikap ketika anak ingin melakukan aktivitas seperti contoh tadi," papar Henny.
Lalu, bagaimana caranya agar orangtua memiliki satu suara di depan anak? Selalu menjalin komunikasi yang baik dan hangat satu sama lain merupakan kunci yang diberikan Henny. Diskusikan masalah-masalah anak, lalu rencanakan tindakan yang tepat bagi anak. Bila ternyata salah satu pihak sudah mengambil keputusan bagi anak, Henny menyarankan agar pasangannya menghargai keputusan itu.
KOMUNIKASIKAN HUKUMAN
Bagaimana bila ternyata pasangan tidak menyetujui keputusan itu? "Komunikasikan di tempat yang tersembunyi, jangan sampai ketidaksepakatan itu diketahui anak," saran Henny. Sebagai contoh, Anda sedang menghukum anak dengan melarangnya menonton teve. Namun, suami yang baru pulang dari kantor mengizinkannya, karena tak tahu anaknya sedang mendapat hukuman.
Agar tak terjadi konflik antar orangtua dan maslaah ini cepat teratasi, lanjut Henny, segera komunikasikan tentang hukuman yang sedang Anda berikan kepada suami. Beritahu suami perihal bentuk hukuman dan alasan Anda menjatuhkan hukuman itu. Dengan demikian, sebelum pulang ke rumah, suami sudah tahu anak sedang mendapat sanksi dari Anda.
Bila ternyata komunikasi tak sempat dilakukan, ketika Anda tahu suami mengizinkan anak menonton teve, segera komunikasikan hal itu di kamar, misalnya. Dan suami bisa segera meminta anak mematikan teve kembali. Sehingga, pada akhirnya Anda dan suami bisa tetap kompak di depan anak, dan anak tak punya celah untuk memanfaatkan situasi.
Pernahkah merasa kesal lantaran anak sering tak menghiraukan larangan Anda, meski sudah diolemi berkali-kali? Bahkan, anak justru patuh jika suami Anda yang melarangnya, padahal ayahnya hanya mengucapkan larangan itu satu kali, tanpa emosi. Bila hal ini terjadi, coba teliti kembali bagaimana cara Anda melarangnya. Kemarahan dengan tingkat berlebihan dan isi kemarahan yang cenderung diulang-ulang, bisa menjadi penyebabnya.
Sehingga, pesan tidak sampai dengan baik kepada anak. Justru, dia akan merasa ibunya "rewel" dan sulit dimengerti. Oleh karena itu, anak jadi enggan mematuhi Anda dan memilih untuk mematuhi ayahnya yang tak banyak bicara, tapi sekalinya bicara, sangat meyakinkan. Ditambah lagi, sebagian ibu terbiasa melontarkan kalimat, "Awas ya, nanti Ibu kasih tahu Ayah. Biar Ayah yang menghukummu!" Alhasil, tak heran bila anak lebih cepat patuh kepada ayahnya daripada ibunya.
HIDUP SEHAT DAN TERATUR
Menanamkan kebiasaan hidup sehat dan teratur juga perlu diterapkan kepada anak. Menurut Henny, anak perlu dilatih hidup teratur sejak pagi hingga malam hari. "Dimulai dari bangun tidur, mandi, dan makan, sampai melakukan kegiatan pagi, siang (sepulang sekolah), dan malam (waktu menonton teve, bermain, dan belajar). Semuanya harus teratur," tandasnya.
Bagaimana bila anak tak bisa atau tak selalu mematuhinya? Jangan menyerah, karena proses pembiasaan ini harus dilakukan terus-menerus. Bila anak tak selalu patuh, artinya pendidikan belum berhasil dan perlu diulang lagi, sampai akhirnya dia dapat menjalankan hidupnya secara sehat, mandiri, dan bisa dibanggakan. Agar tercapai, orangtua harus menanamkan disiplin yang konsisten dan kontinyu kepada anak.
Namun, jangan lupa untuk selalu membalut disiplin ini dengan kasih sayang yang besar. Istilahnya, menurut Henny, disiplin dengan kasih, dan kasih yang mendisiplin. Sehingga, meski tegas, perhatian dan kehangatan tetap diutamakan, pujian dan dorongan pun selalu diberikan. Disiplin dan kasih ini harus dipadukan, bukan dibagi berdasarkan waktu. "Jadi, bukan berarti saat ini ada waktu untuk lunak, tapi di lain waktu berbalik jadi tegas untuk hal yang sama. Ini namanya mendidik yang tidak konsisten."
Orangtua pun perlu memuji semua keberhasilan dan kemajuan anak dalam perubahan perilaku tertentu, prestasinya di sekolah, serta saat dia memenangkan suatu lomba yang diikutinya. Berikan hukuman dalam bentuk teguran, jika memang anak keliru bertindak atau berucap. Namun, sebisa mungkin, hindari hukuman fisik. Gunakan hukuman ini sebagai tindakan terakhir dalam mendidik anak, setelah teguran lisan gagal diberlakukan.
Terutama, ketika perilaku keliru yang dilakukannya berpotensi memiliki dampak buruk bagi perkembangannya di masa depan. Jangan lupa, komunikasi dengan anak harus dikedepankan, jangan serta-merta mengutamakan hukuman fisik. Tunjukkan itikad baik Anda dan pasangan dalam mendidik anak. Kalaupun hukuman fisik harus diberikan, peluklah anak setelahnya dan katakan padanya, Anda berdua tetap sayang kepadanya.
"Katakan juga, Anda berdua ingin dia menjadi anak baik dan tidak mengalami kesusahan di masa depan, sehingga dia diharapkan bisa bekerjasama dengan Anda berdua," ujarnya. Di hari-hari berikutnya, bina hubungan baik, akrab, dan terbuka dengan anak. Dengan cara ini, perlahan tapi pasti, Anda dan pasangan bisa menjadi orangtua yang diharapkan anak, bukan menjadi mahluk yang menakutkan baginya.
PERLUKAH BERTERIAK?
Bila berniat melarang anak melakukan sesuatu, lakukan dengan komunikasi yang baik. Berikan contoh yang mudah dia pahami dan bangun empatinya, sehingga anak memutuskan untuk mengikuti kata-kata orangtuanya dengan senang hati. Tentu saja, komunikasi yang baik ini jangan dilakukan dengan cara berteriak. Berteriak justru akan membuat anak menjadi jengkel dan melakukan hal yang dilarang.
Marah juga tak perlu, kecuali bila dia tetap membandel meski sudah berkali-kali diperingatkan. Namun, unjuk kemarahan pun perlu sangat terkendali. "Jangan lontarkan kata-kata kasar atau tindakan fisik berlebihan," ujar Henny. Yang penting, tetaplah konsisten dengan sikap Anda. Jika Anda tak tega saat hukuman diberlakukan atau justru membatalkan hukuman itu, anak juga akan lebih menghargai Anda.
Hasuna Daylailatu
KOMENTAR