Apa kabar, sedang sibuk kegiatan apa saat ini?
Kabar baik. Kebetulan saat ini saya sedang sibuk dengan berbagai pekerjaan seni untuk publik dan pameran baik di Inggris maupun di negara lain.
Boleh diceritakan tentang perkenalan Anda dengan dunia seni?
Saya berasal dari keluarga yang sangat besar. Saya anak bungsu dari 5 bersaudara. Walaupun orangtua berasal dari Bali tapi sebenarnya saya tidak pernah merasakan hidup di Indonesia. Hal itu dikarenakan pekerjaan ayah saya mengharuskan kami semua berpindah dari satu negara ke negara lain. Saya lahir di New York dan pindah ke London saat berumur 7 tahun.
Kami sekeluarga kerap pergi menikmati liburan di Eropa dan Indonesia. Kami selalu mengunjungi galeri seni dan museum. Sepertinya saya lebih menikmati pengalaman itu dibandingkan saudara-saudara saya.
Cita-cita saya ketika masih kecil adalah menjadi seorang musisi. Maklum hobi saya bermain piano. Nah, beranjak dewasa ternyata saya lebih menyukai seni melukis dibandingkan musik. Pasalnya saya lebih senang diberikan kebebasan tanpa harus melakukan pertunjukan di depan banyak orang.
Lalu saya mendalami studi tentang seni di Slade School of Fine Art dan Royal Academy of Arts, London. Di sini mata saya terbuka bahwa seni bukan cuma soal bisa dinikmati setiap orang, tapi harus bisa berkolaborasi dengan banyak bidang, misalnya dari sisi bisnis. Sebab itu saya menggandeng banyak rumah seni dalam berkarya.
Sebutkan beberapa karya yang sudah dihasilkan?
Ada beberapa karya seni publik yang sudah saya kerjakan seperti Canterbury Christ Church University, Transport for London's Art on the Underground programme Platform for Art, Create KX London, the London Borough of Camden, the Southbank Centre, Canary Wharf Group, Liverpool Biennial, Royal British Society of Sculptors, dan Bristol Royal Children's Hospital.
Bagaimana caranya hingga karya tersebut bisa menembus pasar seni dunia?
Awalnya saya tidak pernah memikirkan hal itu. Bagi saya, dalam berkarya yang terpenting adalah dedikasi, gairah, dan percaya dengan apa pun yang saya lakukan. Saya juga senang belajar dari orang lain. Kalau bicara kesulitan, tentu saja ada. Apalagi pasar seni Inggris terkenal sudah mapan. Saya harus mendapatkan relasi rumah seni yang bisa diajak bekerjasama.
Kuncinya, saya sebagai seniman muda harus produktif dan sesering mungkin mengikuti pameran. Biasanya dari situ saya menerima banyak masukan dari kurator, seniman, atau penikmat seni. Saya juga menjalin relasi dan menjaring kesempatan lebih luas lagi untuk berkarya. Peluang ini semakin terbuka saat saya mendapat penghargaan bergengsi "Deutsche Bank Award in Fine Art" pada 2006, di mana saya mengaplikasikan karya seni ke sisi bisnis.
Lalu di mana letak ciri khas karya Anda?
Saya selalu menyatukan sisi feminin dan maskulin. Termasuk bentuk motif dan warna yang digabungkan dengan unsur orientalisme serta sisi dosmetik. Saya selalu menggunakan warna-warna cerah pada bidang gambar yang besar. Ini bisa terlihat di beberapa arsitektur dan galeri kota di beberapa negara Eropa.
Adakah yang paling berkesan?
Karya yang paling menantang adalah Canary Wharf, London. Lukisan di jembatan panjang di dermaga Canary Wharf ini terbentang di atas Sungai Thames sepanjang 300 meter di kawasan bisnis yang prestisius. Tiang-tiang yang kami gunakan untuk membuat lukisan tersebut ditanam di atas air dan dibangun lebih dari 2,5 bulan.
Jembatan tersebut diresmikan bertepatan dengan pelaksanaan Olimpiade London 2012. Saya bekerja dengan tim pelukis yang sangat berpengalaman. Sebagai sebuah hasil, lukisan ini adalah salah satu favorit saya sampai saat ini dan mungkin lukisan tersebutlah yang menjadi karya terbesar yang pernah saya kerjakan.
Pernah tidak merasa buntu dalam mencari ide?
Dalam semua pekerjaan pasti ada naik dan turunnya, hal yang paling penting adalah terus maju dan jangan pernah menyerah. Terkadang, pada saat saya merasa terlalu banyak yang dipikirkan, saya akan berjalan di taman, atau ke sebuah galeri. Melihat lukisan ataupun hasil seni memberikan saya pikiran baru mengenai hidup yang saya jalani.
Tapi intinya suka duka dalam berkarya itu sangat menyenangkan. Ketika sebuah proyek sudah selesai, saya bisa merayakan bersama teman-teman. Bagi saya, keluarga terutama ibu adalah pendukung yang terhebat. Ibu memberikan dukungan terhadap apa yang saya inginkan, hingga saya menjadi diri saya saat ini. Walaupun beliau hidup di negara yang jauh dari saya, tapi beliau selalu ada di saat saya senang maupun sedih.
Siapakah yang selama ini menginspirasi Anda?
Saya sangat terinspirasi oleh lukisan dinding Sol Le Witt. Mereka sebagian besar berfokus pada bentuk, geometri, warna dan minimalis. Namun, satu hal yang paling saya cintai adalah mereka semua berasal dari serangkaian instruksi atau blue print yang bisa dicontoh oleh orang lain, biasanya oleh asisten studio. Bagi saya, Sol Le Witt adalah sebuah konvensi modern yang menantang seorang seniman agar dapat menciptakan kreasi dari tangannya sendiri.
Adakah rencana untuk membuat karya seni di Indonesia?
Baru saja saya mendapatkan sebuah penghargaan dari International Development Award yang diadakan oleh Kedutaan Inggris dan dewan kesenian Inggris tahun ini. Penghargaan tersebut memungkinkan saya untuk menghabiskan waktu di Yogyakarta dan dapat membuat karya seni di studio sambil mengembangkan hubungan dengan seniman, penulis, dan kurator di Indonesia.
Apa yang Anda lakukan untuk tetap menjadi inspirasi bagi perempuan, khususnya di Indonesia?
Tidak seperti bentuk seni lain, seperti musik dan penampilan, seni visual memungkinkan pencipta untuk tetap tak terlihat. Padahal, jika diberikan kesempatan, wanita dapat mengambil tempat yang layak.
Sejak zaman Kartini, saya percaya sudah banyak perubahan terkait dengan bagaimana orang-orang menilai fisik seorang wanita. Dan dalam membuat seni, pandangan dan pendapat dapat dieksplorasi secara kreatif tanpa adanya tekanan. Wanita akan diizinkan untuk menjadi pencipta dari sebuah hasil seni. Mereka mendapatkan sorotan dalam hal tersebut, bukan dalam penampilan fisik. Peran wanita dalam seni menjadi suatu hal yang diperhitungkan, di mana rasa hormat akan didapatkan dari sebuah opini ataupun kreasi.
Omong-omong, rindukah pada tanah air?
Sudah pasti, terutama pada keluarga. Tiap musim panas saya selalu pulang ke Bali. Saya selalu ingat matahari, laut, warna, dan baunya. Soal makanan, saya juga rindu dengan makanan yang biasa dibeli di pasar senggol, di kota kelahiran ibu saya di Tabanan, Bali. Selain itu, saya ka-ngen mandi di "pancuran" ayah saya di desa Jangu, Karangasem, Bali.
CAROLINE PRAMANTIE
KOMENTAR