Menjadi perawat merupakan keinginan Retno sejak duduk di bangku SMP. Itu mengapa dirinya langsung memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke Sekolah Perawat Kesehatan (SPK), setara SMA. "Awalnya melihat tante saya yang seorang perawat. Sepertinya enak jadi perawat, bisa membantu orang banyak," ucapnya saat ditemui di RS Atma Jaya, Jakarta.
Lulus dari SPK tahun 1994, Retno sempat bekerja di sebuah rumah sakit swasta lain, sampai kemudian ia bekerja di RS Atma Jaya. "Di sini saya belajar banyak dan semakin termotivasi untuk terus menjadi perawat. Menjadi seorang perawat itu lebih karena panggilan hati, bukan sekadar demi mencari uang. Melayani, merawat orang yang sakit, hingga pasien sembuh, rasanya bahagia sekali," bebernya.
Selama 14 tahun menjadi perawat, tentu saja banyak suka dan duka yang ia rasakan. "Kalau dimarahi keluarga pasien, itu sudah biasa. Apalagi sejak tahun 2000 saya pindah ke bagian administrasi pasien. Semua saya jalani dengan bahagia, enggak pernah dimasukkan ke dalam hati. Alhamdulillah, setelah saya jelaskan dengan baik, biasanya keluarga pasien bisa mengerti dan masalah bisa diselesaikan dengan baik."
Tak Bisa Pulang
Namun di musim hujan seperti saat ini, Retno ternyata memiliki tantangan lain dalam melaksanakan tugasnya. "Jalan menuju rumah sakit kerap banjir, bahkan pernah rumah sakit ini juga terendam banjir. Sabtu (18/1) kemarin, kan, beberapa titik di Jakarta terkena banjir. Rumah saya di kawasan Kramatjati memang enggak kebanjiran. Tapi saya enggak bisa menembus daerah Pluit akibat jalanan tergenang banjir."
Ia pun terpaksa harus berjalan kaki demi menembus banjir. "Lumayan juga tinggi airnya, sampai paha. Memang, orang-orang bilang lebih baik kembali pulang, tapi saya enggak bisa. Saya merasa bertanggung jawab untuk bekerja. Yang kasihan teman saya, sampai enggak bisa pulang ke rumah sudah dua hari," paparnya.
Akibatnya, di hari itu butuh empat jam bagi Retno untuk mencapai RS Atma Jaya dengan berjalan kaki. "Untung banyak orang yang menembus banjir, jadi enggak terasa capek dan ada teman. Besoknya, saya yang enggak bisa pulang. Tapi untung, setiap musim hujan seperti ini saya sudah siap bawa baju ganti. Teman-teman lain juga mengalami nasib sama, jadi saya enggak sendiri. Semua ini harus dilalui demi pengabdian dan tanggung jawab," tegasnya.
Sebagai karyawan administrasi, "Saya harus hadir tiap hari, karena UGD buka 24 jam, kan? Jadi surat-surat pasien seperti BPJS diurus melalui saya. Terlebih musim hujan dan banjir ini pasien juga makin bertambah. Ini komitmen saya, bagaimana pun harus bekerja. Pernah saat saya sakit, saya tetap kerja. Akhirnya saya drop dan dirawat."
Apa yang dilakukannya, katanya, lebih kepada panggilan pribadi, bukan karena paksaan atau perintah atasan. Saat banjir besar beberapa tahun lalu, RS Atma jaya terkena banjir setinggi pinggang, sampai ia harus mengevakuasi pasien. "Alhamdulillah, sekarang enggak kena banjir lagi."
Curah hujan yang tinggi di awal tahun ini kembali membuat beberapa titik ibu kota terendam banjir. Hingga saat ini tak semua warga dapat kembali ke rumah mereka masing-masing.
Salah satu lembaga kemanusiaan yang terjun membantu ribuan pengungsi banjir adalah Aksi Cepat Tanggap (ACT). Menghadapi musibah ini, ACT telah membuka 43 posko di beberapa wilayah banjir Jakarta. Posko ini masih berfokus untuk mengevakuasi warga yang terjebak banjir. Bantuan berupa makanan dan pakaian juga terus disalurkan.
Tak hanya itu, relawan ACT juga memberikan hiburan kepada pegungsi. Seperti yang dilakukan di halaman SD 01 Petamburan, Jakarta. Aksi sulap yang ditampilkan tim Line Magic Community mampu mengalihkan kesedihan para pengungsi. Selain sulap, anak-anak juga menikmati dongeng yang dipersembahkan oleh Gerakan Para Pendongeng Untuk Kemanusiaan (GePPuK).
ACT berharap, aksi yang dilakukan Jumat (24/1) lalu dapat membantu mengembalikan senyum dan semangat anak-anak di posko pengungsian. "Bencana banjir yang berlarut-larut tentu membawa trauma fisik dan psikis yang mendalam bagi anak-anak di pengungsian. Kondisi posko pengungsi yang minim fasilitas, cenderung membawa anak-anak berada dalam kondisi depresi," ujar Desi, Koordinator tim Trauma Healing ACT.
Kegiatan serupa juga diselenggarakan di posko wilayah Duri Kepa, Jakarta Barat. ACT bersama Tim Masyarakat Relawan Indonesia dan Tim Dongeng Sahabat Indonesia Berbagi (SIGI) memberikan trauma healing kepada anak-anak di wilayah itu.
Selain aktif membantu para korban bencana banjir Jakarta, tim relawan ACT juga hadir di beberapa daerah lain yang juga terkena bencana seperti Karawang (Jabar), Sinabung (Sumut) dan Manado (Sulut).
Edwin Yusman F.
KOMENTAR