Aktivitas Gunung Sinabung, Kabapaten Karo (Sumut), hingga pekan lalu belum juga berlalu. Di siang hari, erupsi terus-menerus terjadi. Ketika malam tiba, tetap saja Gunung Sinabung bergejolak. Larva pijar berwarna merah menyala tampak meleleh dari mulut gunung. Hanya sebentar berhenti, larva pijar kembali menyembur. Adegan erupsi yang ditunjukkan Sinabung pun menjadi tontonan warga. Masyarakat bisa melihat dari kejauhan, dari tempat yang strategis.
Belum ada kepastian, kapan Gunung Sinabung letih dan menghentikan aksinya. Menurut Hikmat Surbakti, dari bagian Teknologi Informasi Komando Tanggap Darurat, aktivitas Gunung Sinabung tak bisa diprediksi kapan akan berakhir. "Hingga sekarang, erupsi masih fluktuatif. Rata-rata 20-30 kali terjadi erupsi dalam satu hari. Khusus hari Selasa (14/1) lalu, terjadi 40 kali erupsi. Malamnya juga disertai semburan larva pijar. Ketinggian erupsi maksimal 2.000 meter, sedangkan luncuran awan panas masimal 4 ribu meter arah Tenggara dan Selatan."
Lokasi daerah dengan radius 5 km pun ditetapkan berstatus awas. Ada pula beberapa desa yang berbahaya seperti daerah arah awan panas dan daerah yang berada di bantaran aliran sungai yang memungkinkan adanya aliran lahar dingin.
"Kami bersyukur hingga sekarang tak ada korban jiwa akibat langsung dari erupsi. Hanya saja ada beberapa desa yang kondisinya parah, seperti Desa Sukameriah, Bekerah, Sigarang-garang, Sukanalu, Kutarayat, Berastepu, dan Desa Selandi. Banyak rumah penduduk rusak. Kondisi jalanan penuh debu yang bila hujan menjadi lumpur. Licin sekali. Tanaman juga rusak."
Kondisi inilah yang membuat begitu banyak warga mengungsi. "Jumlahnya mencapai 26.088 jiwa terdiri dari 8102 KK. Mereka tinggal di 38 titik pengungsian. Nah, setiap titik pengungsian ada koordinatornya. Tiap hari para koordinator ini diundang untuk rapat evaluasi. Koordinator ini melaporkan kebutuhan para pengungsi, kendala yang dihadapi, serta kondisi pengungsi," ujar Hikmat seraya menjelaskan suplai logistik sampai saat ini masih lancar. "Hanya saja yang masih kurang adalah sayur-mayur, lauk-pauk, minyak goreng, dan air mineral."
Hujan Kerikil
Pos pengungsian terbesar berada di Universitas Karo di Desa Ketaren, Kaban Jahe. Di sana ada lebih dari 1.000 Kepala Keluarga (KK) dengan jumlah total 3.106 jiwa. Siang itu, Rosalina boru Ginting (50) tengah membersihkan sayuran untuk dimasak. "Saya sedang tugas masak. Saya dan teman-teman pengungsi bergantian tugas di dapur," ujar Rosalina.
Dikisahkan Rosalina, ia sudah lebih dari empat bulan tinggal di lokasi pengungsian. Ia tinggal di Desa Bekerah, Kecamatan Namantran, yang berjarak 2,8 km dari Gunung Sinabung. "Lokasi desa kami paling dekat dengan gunung. Makanya, saya termasuk pengungsi yang paling lama," ujar ibu tiga anak ini.
Rosalina masih ingat betul, ia mulai mengungsi sejak 15 September tahun silam. Kala itu dini hari saat ia masih tidur, tiba-tiba anak nomor duanya, Franata, yang baru pulang dari kedai membangunkannya. "Mak, gunungnya meletus!" Segera saja ia terbangun. Didengarnya suara bergemuruh seperti mobil yang melaju kencang. Di luar rumah, ia melihat jelas larva pijar yang meleleh. "Warnanya merah seperti api yang menyala."
Seisi rumah langsung panik dan berusaha menyelamatkan diri. Suami Rosalina, Guna Sitepu, dengan sepeda motornya membonceng Rosalina dan dua anaknya. Mereka berempat melaju ke luar desa. "Semua warga desa sama-sama panik. Kami lari mengungsi," ujar Rosalina yang anak sulungnya sudah selesai kuliah dan tinggal di Medan.
Suasana makin panik ketika Rosalina merasakan hujan abu. Sesekali hujan kerikil menerjang tubuhnya. Debu tebal di jalanan ditambah suasana panik membuat sepeda motor mereka jatuh. "Luka Franata cukup parah. Tangan dan kakinya luka. Bahkan, sampai beberapa hari kemudian, Franata yang sudah kuliah di AMIK Medan tak bisa mengenakan celana panjang. Terpaksalah ia kuliah pakai celana pendek."
Untung mereka sudah dekat jalan raya. Rosalina dan dua anaknya mendapatkan mobil tumpangan dan diantar ke kantor klasis di Kaban Jahe. Belakangan diketahui, warga di tiga desa telah mengungsi. Selama dua minggu Rosalina tinggal pos pengungsian, aktivitas Gunung Sibanung sempat mereda. Rosalina dan pengungsi lain pun diperbolehkan pulang ke kampung halaman.
Namun baru dua hari kemudian sang gunung kembali bergejolak. "Pihak aparat mengatakan, desa harus dikosongkan. Saya juga ngeri tinggal di rumah. Di sana juga terjadi longsor. Banyak bebatuan dan kerikil berjatuhan."
Sejak itu hingga sekarang, Rosalina tinggal di lokasi pengungsian. Hanya sesekali ketika situasi reda, ia menengok rumahnya. Ia melihat rumahnya sudah dikelilingi lumpur kering debu yang tersiram hujan. Atap rumahnya kotor, di beberapa bagian atap seng itu rusak. Yang paling pedih saat melihat lahan pertaniannya ikut hancur. Mulai dari tanaman padi, kopi, jeruk, kol, dan lainnya. "Saya dan warga lain hampir semuanya petani, kini tak lagi punya penghasilan," tutur Rosalina.
Saat pertama tinggal di pengungsian, Rosalina hanya mengantongi uang Rp50 ribu. Dana sudah tersedot untuk biaya kuliah Franata di Medan dan untuk beli bibit tanaman. "Sampai Desember lalu, biaya hidup untuk Franata masih aman. Nah, mulai bulan ini sudah tak ada biaya lagi. Terpaksa kami harus pinjam uang saudara. Tapi mau sampai kapan saya akan terus-terusan berutang?"
Menurut Rosalina, hanya sesekali ia dan suaminya dimintai bantuan untuk kerja di ladang. "Sebenarnya lumayan bisa dapat penghasilan, sekaligus untuk menghilangkan kejenuhan. Sayang, pekerjaan ini enggak rutin," ujar Rosalina yang anak bungsunya kelas 2 SMP. "Dia masih bisa sekolah, bergabung dengan sekolah terdekat."
Satu hal yang paling membuat Rosalina terharu adalah saat melakukan perayaan Natal di pengungsian. "Ada kebaktian khusus Natal bagi warga pengungsian. Usai kebaktian, kami makan bersama. Semua dana ditanggung gereja," katanya.
Rosalina mengaku, hari-harinya terasa begitu panjang tinggal di pengungsian. Kadang ia merasa jenuh. Namun ia memasrahnya semuanya kepada Tuhan. Tiap hari Minggu ia beribadah di gereja terdekat. Ia tak letih terus memanjatkan doa. "Hanya doa yang jadi penghiburan kami. Kita, manusia dan alam, kan, ciptaan-Nya. Tak ada yang tahu rencana Allah. Mudah-mudahan, Gunung Sinabung normal kembali."
Jalan memang masih begitu panjang. Bila bencana sudah usai, Rosalina beserta seluruh warga lain pasti akan memulai hidup kembali dari nol. "Kalau tak dibantu pemerintah, kami pasti kesulitan. Saya juga belum tahu, apakah tanah milik kami masih bisa diolah nantinya. Mudah-mudahan, sih, masih bisa."
Bosan di Pengungsian
Di sudut lain pos pengungsian, Hasni (39) dan ibu-ibu lain tengah duduk-duduk di lantai sambil makan sirih. "Ya, beginilah kegiatan kami usai bersih-bersih dan mencuci. Tak ada aktivitas. Untuk kegiatan anak-anak lumayan lah, karena sesekali ada relawan yang datang ke mari," ujarnya.
Sering kali rasa bosan datang, apalagi tinggal di pos pengungsi yang tentu serba terbatas. "Makan memang tidak kekurangan. Namun keperluan susu untuk anak masih kurang. Kadang ada, kadang juga tidak. Untuk beli sendiri juga tidak mungkin, karena kami sudah tidak punya penghasilan. Ladang kami hancur semua, enggak ada lagi yang tersisa," papar Hasni.
Yang cukup berat baginya, tentu biaya sekolah buat anaknya. "Anak sulung saya memang sudah tamat SMA, tapi adiknya ada yang sekolah di Brastagi. Dia harus kos. Nah, biaya kos dan kebutuhan untuk sekolahnya, saya harus pinjam saudara," kata Hasni yang rumahnya berjarak 5,8 km dari Sinabung.
Selama ini, Hasni mengaku hidup dari ladang. "Kalau sudah tidak punya uang, saya petik kopi untuk dijual. Kalau uang habis, kami petik kopi lagi. Untuk tanaman lain seperti kol, harus menunggu saat panen. Ada juga pohon jeruk, bisa dipanen secara musiman. Saat ladang kami sudah rusak seperti sekarang, tentu saja sangat berat. Kami, kan, tidak punya keterampilan lain kecuali bertani," ujar Hasni yang juga mengungsi saat Sinabung erupsi tahun 2010 lalu.
Dibandingkan sekarang, "Tahun 2010 jelas kami lebih takut. Sepanjang hidup saya, baru pertama kali Gunung Sinabung meletus. Oleh karena enggak tahu yang namanya gunung meletus, pikiran kami macam-macam. Saya menduga gunungnya terbelah. Sekarang, memang masih suka panik, tapi tak secemas dulu."
Hasni dan warga lain pun tentu berharap, Gunung Sinabung tak batuk-batuk lagi...
Henry Ismono
KOMENTAR