Banyak kebiasaan khas Inal yang akan selalu dikenang sang bunda. "Saya banyak belajar dari anak-anak, termasuk Inal. Setiap telepon saya, Inal selalu tanya, 'Mama sehat? Imannya juga sehat, Ma? Bertambah atau menurun?' Waktu saya bilang menurun, dia langsung menyemangati dan bilang, 'Jangan putus asa, Ma, yang penting Al-quran. Jangan jauh-jauh dari Al-quran," ujar Uga menirukan ucapan sang anak.
Sebagai orangtua, Uga dan suami selalu mendukung putra bungsunya dan bangga dengan pilihan Inal untuk berjuang di jalan Allah.
"Alhamdulillah, hingga detik ini saya bangga sama dia, walau saya juga kehilangan dia. Sempat terpikir, kenapa bukan saya yang dipanggil Allah? Ya, kadar keimanan orang memang berbeda. Kami sebagai orangtua akan selalu mendukung pilihan anak kami. Satu teladan dari Inal, jika diberi tugas akan sangat bertanggung jawab dan amanah. Di saat bersalah, Inal juga tak sungkan mengakui," ucapnya penuh rasa bangga.
Basuh Kedua Kaki
Di balik rasa kehilangannya, ternyata ada sedikit rasa lega yang masih bisa Uga rasakan. Yakni ketika melepas masa lajang Inal untuk menikah dengan seorang gadis bernama Salsabila, yang juga tengah belajar di negara yang sama. "Kunjungan kedua saya ke sana, ya, pas Inal menikah dua bulan lalu, tanggal 13 Maret. Saya memang pernah bilang sama Inal, kalau mau cari istri yang seperti Salsa saja. Keluarga kami memang sudah kenal Salsa sejak masih di Indonesia," papar Uga.
Uniknya, lanjut Uga, "Ketika menikahi Salsa, sebenarnya Inal belum pernah lihat wajah calon istrinya itu, lho. Soalnya Salsa pakai cadar. Begitu akad nikah selesai, barulah Inal bisa melihat wajah Salsa. Nah, melihat Inal sudah menikah, saya ikut bahagia karena Inal sudah jadi pria dewasa."
Setelah menikah, lanjut Uga, Inal sempat pulang ke Indonesia dan berkumpul bersama keluarga besar mereka. Masih terlintas jelas kenangan manis yang terjadi tiga minggu lalu. "Kami sempat makan siang bersama di Mal Pondok Indah dan nonton Iron Man 3 bersama cucu kami," kata Uga yang tak pernah menyangka, momen kebersamaan itu merupakan kenangan terakhirnya berkumpul bersama Inal.
Uga juga bercerita soal keinginan Inal sejak memulai kuliah di Afrika Selatan, yakni membasuh kedua kaki orangtuanya, kemudian meminum air basuhan itu. Namun Uga terus menolak dan tak ingin anaknya melakukan itu. "Sudah sejak setahun yang lalu dia minta. Gara-garanya, dia diberitahu syekh atau gurunya, kok, belakangan Inal tidak fokus belajar dan seperti kesulitan mengikutinya. Dia lalu curhat ke kakak iparnya soal basuh kaki itu, tapi saya masih menolak karena saya takut itu jadi musyrik."
Setelah menikah, tutur Uga, sang putra kembali memintanya untuk membasuh kakinya. "Lagi-lagi saya merasa berat mewujudkannya . Tapi di bandara waktu dia mau kembali ke Afrika, dia sudah bawa air dan handuk. Ya, sudah akhirnya saya izinkan supaya dia bisa lebih semangat belajar. Sebelumnya, kami wudu bersama, lalu dia berjongkok dan membasuh kaki saya. Kemudian dia minum air basuhan itu. Saya terharu sekali. Doa saya, air itu bukan untuk musyrik tapi demi kebaikan Inal," tutur Uga dengan suara bergetar.
Kenangan manis yang juga akan terus disimpan Uga adalah koleksi puisi Inal yang cukup banyak. Dalam pengajian yang digelar di rumah duka selama tujuh hari berturut-turut, sang ayah selalu mengakhiri pengajian dengan membacakan beberapa puisi karya Inal.
"Kumpulan puisi ini memang banyak berbicara mengenai masalah cinta, agama, kehidupan, dan kehidupan lain yang tidak di sini," kata Wiranto menjelaskan makna salah satu puisi Inal berjudul Cinta dan Kematian.
Bagi Uga dan keluarga, makna setiap puisi yang dibuat si bungsu menjadikan isyarat untuk terus menjaga keimanan keluarganya. "Saya ingat, suatu kali Inal pernah bikin puisi lalu bercerita sama saya soal puisi itu. Tapi saya lupa judulnya, soalnya semua puisi Inal sekarang dipegang Bapak. Puisi itu kalau tidak salah berkisah tentang temannya. Bahwa tidak semua temannya mau diajak untuk berbuat kebaikan," tutur Uga.
Kini harapan Uga seolah pupus. Semula ia ingin sang putra bungsu yang amat disayanginya itu bisa ikut membantunya di bidang pendidikan guna memajukan sekolah dan yayasan yang didirikannya di Gorontalo, Sulawesi Selatan. Namun ia meyakini, semua ini sudah menjadi suratan takdirnya.
Dan saat ini yang bisa ia lakukan hanyalah berserah dan mendekatkan diri kepada Allah. "Pasrah, bersyukur saja kepada janji Allah. Empat bulan dia di dalam kandungan, sudah tertulis kapan dia menikah, kapan dia meninggal. Jadi, dijalani saja. Pada surat Al-Baqarah 286 yang berbunyi, Tuhan tidak akan mencoba manusia melebihi kemampuan manusia untuk mengatasinya, jadi saya yakin itu. Setelah kegelapan, tentu ada terang. Setelah kesusahan, pun pasti ada kemudahan. Kami sayang dan sangat mengasihi dia, tapi dia hanyalah titipan dan amanah. Jika Sang Pemilik mengambilnya, kami harus ikhlas," tuturnya bijak.
Rasa duka pun amat dirasakan kedua kakak Inal, Amalia Siyanto dan Ika Mayasari. Namun keduanya sudah mengikhlaskan adik kesayangan mereka untuk pergi selama-lamanya.
Swita A. Hapsari
KOMENTAR