Ponsel para buruh, tambah Maya, memang dikumpulkan di meja kerja lewat mandor karena pernah ada kejadian ponsel hilang. "Tapi kalau mau telepon, ponsel diberikan. Dompet, uang, dan baju juga enggak disita."
Bagaimana dengan buruh yang tidur berimpitan di ruang sempit? Padahal, di pabrik seluas 500 meter persegi itu ada enam mess yang ukurannya cukup luas. "Mereka, kan, waktu tidurnya tidak berbarengan karena ada shift siang dan malam. Kerja juga tidak ada yang lembur, pukul 06.00-18.00. Bohong kalau ada yang bilang sampai pukul 22.00. Itu berarti shift malam," tandas Maya.
Soal gaji yang tidak diberikan kepada para buruh, Maya berdalih, saat calon buruh datang pertama kali ke pabrik sudah dijelaskan pekerjaannya kotor, panas, capek. Gajinya Rp 600 ribu per bulan, tapi baru diberikan setelah enam bulan kerja. "Saya tanya, mau enggak? Kalau ya, lihat dulu pekerjaannya. Kalau enggak mau, silakan. Dari dulu kesepakatannya begitu. Tiap mereka mau kirim uang ke kampung, kami juga langsung kirimkan lewat pos."
Ia juga membantah hanya memberikan sabun cuci untuk mandi para buruh. "Pekerjaan mereka, kan, kotor. Kalau mandi pakai sabun biasa, enggak bisa hilang. Makanya saya kasih dua sabun, sabun colek dulu, setelah itu mandi lagi dengan sabun biasa."
Selain itu, lanjutnya, odol, sikat gigi, rokok, kopi, juga disediakan. "Kalau mereka sampai ada yang tiga bulan enggak mandi, ya, merekanya saja yang jorok. Kamar mandi ada, kok, meski hanya satu," tukasnya.
Sementara itu, menurut Tety Macyawaty, SH, MH, kuasa hukum Yuki yang juga mendampingi Maya, Senin (6/5) pihaknya melapor ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) karena anak-anak Maya turut dilibatkan dalam pemeriksaan. Tekanan publik terhadap mereka juga dirasa semakin berat sejak rumah dan pabrik dirusak warga.
"Kalau katanya tersangka melanggar HAM, maka polisi, Kontras, dan Komnas HAM yang menggerebek juga melanggar HAM, dong! Istri dan anak-anaknya, kan, bukan tersangka," tandas Tety.
Bagaimana pun, tuturnya, keluarga tersangka berhak atas hak-haknya. Apalagi pasca kejadian, keempat anak Maya enggan sekolah lantaran malu diledek teman-temannya, "Kami terlunta-lunta hidup di jalan, pindah-pindah tempat tinggal. Mereka yang merusak pabrik juga mengancam mau bunuh saya dan anak-anak," tukas Maya.
Henry Ismono, Hasuna Daylailatu
KOMENTAR