Lain lagi cerita Junaidi (22). Setelah Andi berhasil kabur, pemilik pabrik menebar ancaman. "Siapa pun yang coba-coba kabur, akan ditembak. Pak Yuki minta saya telepon keluarga. Saya dipaksa bohong, bilang Andi pulang karena mencuri," kisah Junaidi yang pernah dihajar mandor lantaran kerjanya dianggap lamban. "Saya diajak ke ruangan lalu kaki saya dihantam pakai balok."
Berbeda dengan Andi, pekerjaan Junaidi dimulai dari jam 17.00 sore sampai 08.00 pagi. Ia bertugas di bagian pembakaran untuk membuat balok logam. Lokasinya sekitar tiga jam jika naik mobil. Di sana terdapat delapan pekerja. "Wah, kerja malam sangat berat tapi kami enggak berani protes."
Tanggal 22 April, Junaidi melarikan diri. "Begitu selesai kerja, saya lihat mandor lengah, langsung saya lari sampai Kalideres. Saya sudah kayak pengemis, minta uang ke penumpang di bus. Ada yang baik hati kasih uang Rp 15 ribu, cukup untuk ongkos ke Merak," kisahnya.
Atas kebaikan seseorang, akhirnya Junaidi bisa sampai rumah. Ia lalu melaporkan nasibnya kepada pamong desa. Berkat bantuan Pak Lurah Sobri yang segera lapor polisi, Kontras, dan Komnas HAM, akhirnya pabrik digerebek polisi, Sabtu, (4/5). "Saya dan kawan-kawan kapok kerja di (pulau) seberang. Saya ingin kerja di sini saja. Buat apa kerja kalau hanya untuk disiksa," tutur Junaidi.
Akhirnya polisi berhasil membongkar kasus buruh yang diperlakukan semena-mena ini. Kini Yuki terancam hukuman 20 tahun penjara dan empat kaki tangannya sudah ditahan serta ditetapkan sebagai tersangka. Rumah dan pabrik pun sempat dikepung massa. "Saat digerebek polisi, saya sedang di rumah. Mau telepon suami yang sedang ke luar kota, tak diperbolehkan," kata Maya (40), istri Yuki Irawan, ketika ditemui Rabu (8/5) .
Ibu dari Siska (19), Shinta (14), Cindy (9), dan Steven (5) ini juga berkisah, dalam keadaan takut dan kalut, Maya yang sempat mondar-mandir dibentak dan disuruh duduk, "Kalau tidak, katanya saya mau diborgol. Memangnya saya maling? Mereka juga masuk begitu saja ke rumah kami tanpa menunjukkan surat perintah," tuturnya.
Tak hanya itu, Maya dan dua anaknya yang masih di bawah umur juga digelandang ke kantor polisi untuk diperiksa. Saat itulah kamera teve menyorot wajah anak-anaknya. "Padahal mereka tidak terlibat dan baru dipulangkan malamnya setelah proses BAP selesai."
Ditanyai soal penganiayaan buruh di pabrik yang sudah 13 tahun beroperasi, Maya mengaku, meski rumahnya bersebelahan, "Tidak setiap hari saya ke pabrik. Saya ke sana hanya saat suami ke luar kota. Itu pun hanya untuk cek ke mandor soal produksi hari itu, mencapai target atau tidak. Paling hanya 15 menit."
Setelahnya, "Saya pulang urus anak-anak, masak untuk para pegawai, dan urus barang yang keluar-masuk gudang," kilah Maya yang menjabat direktur operasional pabrik.
Ia juga menolak pihaknya dianggap menelantarkan dan menganiaya para buruh yang berjumlah 34 orang itu. "Itu jumlah yang tinggal di mess. Kalau warga sekitar, mereka tidak menginap. Kami juga memperbolehkan mereka berkomunikasi, kok."
Ponsel para buruh, tambah Maya, memang dikumpulkan di meja kerja lewat mandor karena pernah ada kejadian ponsel hilang. "Tapi kalau mau telepon, ponsel diberikan. Dompet, uang, dan baju juga enggak disita."
Bagaimana dengan buruh yang tidur berimpitan di ruang sempit? Padahal, di pabrik seluas 500 meter persegi itu ada enam mess yang ukurannya cukup luas. "Mereka, kan, waktu tidurnya tidak berbarengan karena ada shift siang dan malam. Kerja juga tidak ada yang lembur, pukul 06.00-18.00. Bohong kalau ada yang bilang sampai pukul 22.00. Itu berarti shift malam," tandas Maya.
Soal gaji yang tidak diberikan kepada para buruh, Maya berdalih, saat calon buruh datang pertama kali ke pabrik sudah dijelaskan pekerjaannya kotor, panas, capek. Gajinya Rp 600 ribu per bulan, tapi baru diberikan setelah enam bulan kerja. "Saya tanya, mau enggak? Kalau ya, lihat dulu pekerjaannya. Kalau enggak mau, silakan. Dari dulu kesepakatannya begitu. Tiap mereka mau kirim uang ke kampung, kami juga langsung kirimkan lewat pos."
Ia juga membantah hanya memberikan sabun cuci untuk mandi para buruh. "Pekerjaan mereka, kan, kotor. Kalau mandi pakai sabun biasa, enggak bisa hilang. Makanya saya kasih dua sabun, sabun colek dulu, setelah itu mandi lagi dengan sabun biasa."
Selain itu, lanjutnya, odol, sikat gigi, rokok, kopi, juga disediakan. "Kalau mereka sampai ada yang tiga bulan enggak mandi, ya, merekanya saja yang jorok. Kamar mandi ada, kok, meski hanya satu," tukasnya.
Sementara itu, menurut Tety Macyawaty, SH, MH, kuasa hukum Yuki yang juga mendampingi Maya, Senin (6/5) pihaknya melapor ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) karena anak-anak Maya turut dilibatkan dalam pemeriksaan. Tekanan publik terhadap mereka juga dirasa semakin berat sejak rumah dan pabrik dirusak warga.
"Kalau katanya tersangka melanggar HAM, maka polisi, Kontras, dan Komnas HAM yang menggerebek juga melanggar HAM, dong! Istri dan anak-anaknya, kan, bukan tersangka," tandas Tety.
Bagaimana pun, tuturnya, keluarga tersangka berhak atas hak-haknya. Apalagi pasca kejadian, keempat anak Maya enggan sekolah lantaran malu diledek teman-temannya, "Kami terlunta-lunta hidup di jalan, pindah-pindah tempat tinggal. Mereka yang merusak pabrik juga mengancam mau bunuh saya dan anak-anak," tukas Maya.
Henry Ismono, Hasuna Daylailatu
KOMENTAR