Beberapa hari belakangan, Andi Gunawan (20) dan sejumlah rekannya di Desa Blambangan, Lampung Utara, merasa amat lega. Kini mereka lepas dari penderitaan selama berbulan-bulan. "Niat awal kerja di pabrik untuk bantu keluarga, tapi malah jadi bencana. Kami diperlakukan seperti binatang. Syukurlah, sekarang sudah kembali ke rumah," tutur Andi saat ditemui, Kamis (9/5) di kampung halamannya.
Kisah pedih bermula ketika Januari silam seorang pria bernama Taufik datang ke rumah Andi. Ia menawarkan pekerjaan di pabrik pengolahan logam di Tangerang. "Katanya kerjanya enak. Digaji Rp700 ribu per bulan. Rumah dikontrakkan dan makan ditanggung. Kerjanya mulai jam 07.00-16.00 dan hari Minggu libur," kata pemuda tak tamat SD ini.
Dua teman sekampung Andi bernama Iwan dan Rijal juga dijanjikan hal yang sama. Bertiga, mereka pun berangkat ke Tangerang bersama Taufik. "Sebenarnya saya sudah kerja di pabrik tapioka dekat rumah tapi gajinya cuma Rp 70 ribu per minggu. Saya tak bisa menabung padahal maunya bantu orangtua dan biaya sekolah adik-adik."
Hari-hari Pahit
Sayang, impian indah Andi langsung buyar. Belum apa-apa, anak ke-2 dari 5 bersaudara ini sudah dapat perlakuan tak nyaman. "Pak Yuki (pemilik pabrik) langsung menyita tas berisi pakaian, dompet, dan HP." Andi juga sempat ditanya rekan kerja lainnya yang ada di pabrik, "Kamu, kok, mau kerja di sini? Salah sedikit di sini langsung digebuk," tutur Andi menirukan ucapan teman-temannya yang sudah tak betah.
Nyali Andi langsung ciut. Ia menemui Yuki dan bilang ingin pulang. "Saya malah diancam. Katanya, tidak usah macam-macam. Awas, saya pecahin kepala kamu!," katanya menirukan ucapan Yuki. Jelas Andi ketakutan. "Mau enggak mau, saya harus mau kerja."
Andi pun mulai bekerja membuat wajan dari limbah logam. Sedangkan dua kawan sekampungnya bertugas membuat balok logam, "Pekerjaannya berat banget. Sehari ada target bikin 200 wajan. Kalau enggak selesai, harus kerja sampai malam. Saya kerja dari jam 06.00 sampai 22.00. Pagi dikasih makan, lalu istirahat makan siang jam 12.00."
Menunya, kisah Andi, nasi dengan sayur dan tempe yang kadang sudah busuk. "Makanan lainnya hanya nasi sama garam. Malam sudah enggak dikasih makan lagi, padahal kami masih lapar karena kerjanya berat. Terpaksa kami menahan lapar."
Saat Andi ingin mandi, tak ada handuk yang disediakan. Sabun pun hanya diberi sabun cuci. "Kami tidur berimpitan. Ruangannya 4x6 meter tapi harus diisi 34 pekerja. Itu pun alasnya tikar basah, kena rembesan air comberan. "Pokoknya, sengsara sekali." Sudah begitu, kamar yang pengap juga dikunci dari luar dan tak bisa berganti pakaian karena tas yang disita tak dikembalikan. Baju yang hanya sehelai, katanya, "Saya cuci dan diangin-anginkan. Besoknya, meski masih basah dipakai sampai kering lagi. Begitu seterusnya," papar Andi.
Rasa tak nyaman, kata Andi bertambah dengan kehadiran pengawal bersenjata api. "Kami kerja di bawah ancaman. Yang pakai seragam polisi bilang, 'Jangan coba-coba kabur. Kalau macam-macam, ditembak!' Karena takut, meski diperlakukan enggak manusiawi, kami enggak berani protes.
KOMENTAR