Senin (6/5) itu hari pertama Bayu mengikuti ujian nasional (UN) untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia. Ia bertekad lulus dan sudah menyiapkan diri sebaik mungkin. Meski wajahnya terlihat pucat dengan tubuh terkulai lemah, semangat hidupnya tetap tinggi.
Memang, murid kelas 6 SDN 102103 Desa Paya Bagas ini terpaksa mengerjakan soal ujian di rumahnya. Selang infus tetap melekat di lengannya. Ia pun didampingi guru dan kepala sekolahnya.
"Kalau ke sekolah Bayu digendong ayahnya. Di kelas ia hanya bisa duduk di ruangan selama jam pelajaran. Tapi daya tangkapnya tetap bagus," papar Sugiarni, sang bunda.
Harus Dibuang
Sugiarni jelas amat prihatin akan kondisi putra pertamanya ini. Nyaris delapan tahun Bayu tak lagi bisa berjalan. Ia juga kesulitan buang air kecil dan besar. Saat berjalan, tulang kaki sebelah kirinya menonjol keluar. Perempuan yang sedang hamil tujuh bulan ini berkisah, ketika Bayu masih bayi, "Ada benjolan di punggungnya. Waktu umur 4 tahun, benjolannya membesar, seukuran kelereng."
Meski Bayu tak merasa kesakitan, ayahnya ingin memeriksakan ke rumah sakit. "Khawatir benjolan itu menjalar ke bagian tubuh yang lain." Kebetulan di depan rumah mertua Sugiarni ada klinik dokter yang ditangani dr. Fer. "Dia pernah ke rumah mertua saya dan tahu kondisi Bayu. Katanya, benjolan harus diangkat."
Pasangan ini makin yakin karena sang dokter berujar, "Bayi baru lahir saja sudah bisa dioperasi, kenapa Bayu yang sudah 4 tahun tak bisa?"
Padahal, beberapa dokter yang pernah dimintai saran, mengatakan sebaiknya tunggu hingga Bayu berusia 7 tahun. Sebab, "Siapa tahu benjolan berangsur membaik dan hilang tanpa perlu dibuang atau dilakukan tindakan medis."
Kepalang ingin sang putra sembuh, tindakan operasi pun sepakat dilakukan pada 12 September 2004 dengan biaya Rp 1,8 juta. Namun, yang mengherankan Sugiarni dan Edi, ternyata tindakan operasi bukan dilakukan oleh dr. Fer. "Kami sempat bingung dan menanyakan. Alasannya, ia hanya dokter biasa sehingga ditunjuklah Ag, dokter bedah dari RSUD H. Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi." Saat itu, Ag datang bersama temannya, seorang perempuan, Ai.
Tanpa melakukan pemeriksaan sebelumnya, Ag dan Ai melakukan operasi sementara dr. Fer hanya menyaksikan bersama orangtua Bayu. Operasi berlangsung selama setengah jam, "Tapi setelah itu, dari bekas benjolan yang telah dibuang tak henti-hentinya mengeluarkan darah. Bayu pun menjerit keras kesakitan. Suami saya sempat melihat dr. Fer gugup dan panik."
Untuk menghentikan perdarahan, ketiga orang itu lalu membawa Bayu ke RS Mutia Husada. Lima hari dirawat di RS itu, darah memang berhenti mengalir. "Tapi sebulan setelahnya, badan Bayu jadi lemas dan kaku. Kedua kakinya lumpuh, tak bisa digerakkan. Kami sudah berusaha melakukan berbagai pengobatan namun hasilnya nihil."
Kena Saraf
Sugiarni masih ingat betul, ketika membawa Bayu ke beberapa rumah sakit di Medan, mereka ditolak. "Di RSU Latersia, RS St. Elizabeth, bahkan RS Colombia Asia, semua menolak. Baru kami paham alasannya setelah dr. Tuti, dokter dari RS H. Adam Malik Medan menjelaskan, saraf-saraf Bayu di bagian pinggang ke bawah mengalami kerusakan sehingga terjadi penyempitan ginjal."
Total delapan tahun Sugiarni dan Edi berusaha terus mengobati Bayu. Selain pinjam uang sana-sini, seluruh harta benda mereka pun ludes dijual untuk biaya pengobatan. Padahal, sebagai kuli bangunan, penghasilan Edi kerap tak menentu.
Sebenarnya, pasca operasi delapan tahun lalu, "Kami sempat komplain kepada Ag dan tahun 2006 ia bersedia bertanggung jawab serta memberi santunan. Dia juga bilang mau bantu Bayu seumur hidup."
Santunan pertama, kata Sugiarni, bernilai Rp 10 Juta. "Lalu dia kasih lagi Rp 15 juta. Tapi setelah itu Ag menghilang tanpa kabar."
Bingung melihat penderitaan Bayu yang berlanjut, keluarga sepakat melaporkan kasus malapraktik ini ke Mapolres Tebing Tinggi Jumat (3/5). "Kami melaporkan dr. Fer, Ag, dan Ai. Kami ingin mereka bertanggung jawab atas kondisi Bayu."
Yang membuat orangtua Bayu makin sedih, belakangan diketahui Ag ternyata bukan dokter melainkan hanya perawat yang bekerja di RSUD H. Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi. "Sementara Ai, ternyata dia perawat dr. Fer. Tega-teganya mereka menipu kami," geram Sugiarni.
Ketika NOVA menyambangi RSUD H. Kumpulan Pane, Ag yang berstatus sebagai perawat ternyata sudah tak lagi bekerja di situ. "Kabarnya Ag dan Ai menyusul dr. Fer ke Rantau Prapat. Klinik yang dulu di depan rumah kami hanya buka selama setahun. Setelah Bayu mengalami malapraktik, praktiknya ditutup," tutur Sugiarni.
Apa pun yang terjadi, tegas Sugiarni, ia akan menuntut keadilan demi buah hatinya. Bayu kini hanya bisa duduk dan berbaring. Bahkan setahun terakhir ini ia harus terus diinfus. Kaki Bayu juga kerap mengeluarkan nanah yang berbau. Untuk membersihkannya pun harus menggunakan air infus.
Namun, dalam kondisi seperti itu, lanjut Sugiarni, Bayu tak pernah mengeluh. "Dia tak mau menyusahkan orangtuanya. Kami yakin, pasti ada malaikat yang menolong Bayu karena semangatnya untuk sembuh amat tinggi yang tak membuatnya terlihat sakit," papar Sugiarni tabah.
Ditemui di ruang kerjanya, Rabu (8/5) , Kasubbag Umum dan Humas RSUD H. Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi Halimatus Syakdiah mengaku, pihak rumah sakit akan segera memanggil perawat Ag. Namun sebelumnya, "Kami membentuk tim untuk melakukan kroscek, bagaimana cerita yang sebenarnya. Lagipula Ag melakukan tindakan operasi di luar RS ini."
Sudah tiga kali, jelasnya, Ag dipanggil. "Tapi dia belum menghadap pimpinan kami."
Jika nanti Ag terbukti bersalah, dia akan dikenai aturan PP 53 tentang disiplin pegawai negeri sipil. "Namun untuk memecatnya tak bisa begitu saja, harus melalui prosedur."
Sementara dr. Fer sebagai pemilik klinik, ujar Halimatus, "Masalahnya kami serahkan ke Ikatan Dokter Indonesia."
Debbi Safinaz
KOMENTAR