"Sesungguhnya saya bukan orang yang suka berperkara. Gugatan ini dengan terpaksa saya lakukan karena BRIS tak ada itikad baik untuk menyelesaikan perkara ini," ujar sang seniman ketika dihubungi Jumat (5/4).
Sementara gugatannya ke BI, Butet menyebut, bank sentral ini gagal melakukan tugasnya sebagai mediator antara BRIS dan nasabah-nasabahnya. "Mereka tidak melakukan tindakan apa-apa, hanya basa-basi saja."
Butet meradang lantaran dirinya merasa ditipu dengan skema produk gadai emas BRIS yang diikutinya Agustus 2011. Bila biasanya orang yang ingin menggadai emas sudah memiliki emas, tak begitu halnya dengan skema yang ditawarkan BRIS.
Langsung Tanda Tangan
Alkisah, lewat produk ini Butet diikat dengan akad pinjaman (qardh) dan sewa-menyewa (ijarah). Jadi, ia membeli sejumlah emas ke BRIS dan langsung dititipkan atau digadaikan dengan cara menyewa brankas milik BRIS. Penyewa brankas ini dikenai biaya titip (ujroh).
Butet membeli 4,83 kilogram dan 600 gram emas ke BRIS dengan cukup membayar uang muka 10 persen dari harga emas total. Sebanyak 90 persen lainnya ditanggung BRIS dan dibayar Butet dengan cara mencicil. Pada saat itu, emas dihargai Rp 500 ribu per gram. Mulanya kontrak Butet jatuh tempo hanya dalam tiga bulan, "Tapi BRIS meyakinkan, kontrak bisa diperpanjang hingga tiga tahun ."
Dengan program yang begitu menggiurkan, Butet tak pikir ulang untuk menandatangani surat kontrak gadai. Apalagi, lembaga keuangan yang berbasis syariah, dinilai Butet memiliki nilai-nilai yang bagus. "Saya yang beragama Kristen saja mau karena saya pikir syariah itu bagus," katanya.
Berapa total aset Butet dalam program ini, ia enggan mengumbar detailnya. "Sebenarnya saya malu diekspos seperti ini. Aset itu, kan, perkara privat," kilah pria bernama panjang Bambang Ekoloyo Butet Kartaredjasa ini.
Masalah timbul ketika Desember 2011 Butet menemukan fakta, BRIS berhenti mendebet sejumlah uang di rekeningnya. Padahal selama ini, seluruh pembayaran, baik angsuran maupun ujroh, dilakukan secara otodebet. Ketika Butet menanyakan masalah ini ke BRIS, "Butet kaget karena kontraknya tak bisa diperpanjang," tutur Djoko Prabowo Saebani, SH, kuasa hukum Butet, kepada Harian Kontan akhir tahun lalu.
Rupanya BRIS tak bisa memperpanjang kontrak Butet karena terbentur peraturan yang dikeluarkan BI perihal program gadai emas, November 2011. Kala itu, BI membatasi nilai plafon gadai maksimal sebesar Rp 250 juta. Nasabah yang memiliki nilai pinjaman di atas angka itu, diberi waktu setahun untuk menyelesaikan angsuran.
Kepada Butet, BRIS menyarankan opsi untuk menjual emasnya guna menutup utang. Setelah diitung-itung, karena harga emas saat itu sedang turun, hasil penjualan emas Butet tak cukup untuk menutup seluruh kewajibannya. "Butet tak bersedia dan bersikeras menyelesaikan kontrak hingga selesai," kata Djoko.
Tak dinyana, 18 Agustus 2012, BRIS menjual seluruh aset Butet secara sepihak. Dengan harga Rp 489 ribu per gram, dari hasil penjualan diperoleh Rp 2,5 miliar. Menurut kalkulator BRIS, jumlah itu masih menyisakan utang bagi Butet. Ia musti membayar Rp 40,9 juta untuk menutup selisih penurunan harga emas.
Inilah yang membuat Butet sangat keberatan. Sudah asetnya dijual sepihak, masih dianggap berutang pula. "Ini, kan, namanya penipuan yang menyengsarakan masyarakat kebanyakan," tandas Butet.
Belakangan, Butet menyadari, bukan cuma dia yang merugi. "Tahun 2011 itu keuntungan BRIS melalui program gadai emas mencapai trilyunan rupiah. Ini berarti ada ribuan nasabah mengalami seperti saya. Saya jelas enggak tega orang-orang kecil ini dibohongi lembaga besar."
Enam dari ribuan orang yang merasa dirugikan itu lantas berhasil terhubung dengan Butet. Nasabah yang berasal dari Semarang, Yogyakarta, dan Demak ini adalah Widodo (menggadai 2,5 kilo emas), T.L Hardianto (menggadai 4 kilo), Indah Sulistyowati (menggadai 9137 gram), Elsje Hartini (menggadai 2 kilo), Robert Sugiarto (menggadai 5 kilo), dan Selly Kusuma (menggadai 900 gram). Bersama-sama, ketujuh orang ini memperjuangkan kembalinya aset-aset mereka.
Dalam gugatan tersebut, Butet dan nasabah lain menuntut angka ganti rugi materiil dan imateriil sebesar 47,78 miliar. Butet sendiri mengaku merugi hingga Rp 1,5 miliar, sementara total kerugian enam nasabah lain sebesar 11,2 miliar.
Ditawari Jadi Duta
Bagi Butet, kini permasalahan bukan sekadar soal uang lagi. "Saya ingin mengkritisi, sesuatu yang bagus ini (titel Syariah, Red.) jangan digunakan sebagai kedok untuk menipu rakyat kecil." Ia menyebut ribuan nasabah yang merugi karena dipaksa menjual emasnya saat harga emas rendah. "Mereka enggak bisa apa-apa kecuali menyerah."
Keputusan menggugat BRIS, katanya, juga tak diambil secara gegabah. Bahkan, nyaris dua tahun waktu diluangkan para nasabah bersama BRIS untuk mencari titik temu yang tak pernah tercapai. Oktober 2012, pihak BRIS dan para nasabah dipertemukan BI untuk mediasi. Hasil mediasi kala itulah yang disebut Butet sebagai basa-basi. Masalahnya, setelah pertemuan itu, "Tidak ada tindakan apa-apa. Mereka sekadar menerima kedatangan kami, lalu sudah. Begitu saja," ujarnya.
Butet makin marah ketika masih di bulan yang sama, ia didatangi pihak BRIS yang menawarinya menjadi Duta BRIS. "Kata mereka, kalau saya mau, seluruh kerugian saya akan diganti. Bagi saya, ini semacam penyuapan," tandas Raja Monolog ini.
Butet menolak tawaran ini karena skema tersebut hanya berlaku bagi dirinya, bukan buat seluruh nasabah BRIS yang jadi korban. "Kalau saya ambil, saya seperti mengkhianati korban-korban yang lain. Saya tidak mau."
Merasa tak bisa menyelesaikan masalah ini dengan cara baik-baik, Butet dan kawan-kawan memilih jalur hukum. Menurut jadwal, Rabu (10/4), kedua belah pihak yang bertikai akan dimediasi oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Butet sendiri menyatakan masih membuka pintu damai. "Saya percaya semua masalah bisa diselesaikan bila kedua belah pihak beritikad baik. Saya percaya orang-orang di BRIS dan BI itu orang-orang baik semua."
Astudestra Ajengrastri
KOMENTAR