Saya merasa sangat bersyukur banyak sekali yang memberi dukungan positif terhadap saya dan keluarga. Untuk tahu bahwa anak saya jadi korban sodomi lalu melaporkannya ke polisi, jelas perlu kekuatan. Juga kesabaran demi memperjuangkan keadilan bagi anak saya. Apa yang telah dilakukan E dan S terhadap F sungguh amat keji. Tak habis pikir, tega nian mereka padahal kami saling kenal bahkan bertetangga.
Rumah S persis di sebelah rumah saya, sementara E agak jauh. Dibandingkan E, saya memang lebih mengenal S. Pasalnya, ketika membangun rumah, saya sempat minta bantuan S. Bahkan air dan listrik pun sempat saya ambil dari rumah S. Sejak pindah ke kawasan Ciracas 3,5 bulan lalu, lingkungan tempat tinggal ini saya anggap nyaman dan ramah. Apalagi dekat dengan pasar tempat saya jualan baju.
Usaha berjualan baju saya lakukan tiap hari, sejak pukul 04.00 WIB sampai 07.30 WIB. Kegiatan ini tak mengganggu aktivitas saya sebagai ibu. Sepulang berjualan, saya masih bisa mengurus anak-anak, F (5) dan A (2), sementara suami bekerja sebagai guru Sekolah Dasar. F lahir 27 Januari 2008, bertepatan dengan meninggalnya Pak Harto (Soeharto, mantan presiden RI ke-2, Red.). Butuh waktu 33 jam sampai akhirnya F lahir ke dunia.
Ketika berusia 3 tahun, F sempat terkena demam tinggi. Kondisinya sangat mengkhawatirkan tapi untungnya sembuh. Namun siapa sangka, tak lama dari hari ulang tahunnya yang ke-5 ternyata muncul cobaan lain. E dan S telah menodai F. Ini tentu cobaan terberat bagi saya dan keluarga.
"Dicium Om"
Semuanya mulai terungkap ketika Rabu (13/2) lalu saya hendak memandikan F. Dia sempat menolak mandi, tapi saya bilang harus mandi agar tak bau ketek. Akhirnya F mau mandi dan berkata, "Iya, Umi, biar nanti dicium Om Wangi, ya?" Saya tersentak dan langsung curiga, kok, "dicium Om"?
Saat dimandikan, F memang mengaku sakit ketika saya ceboki. Oleh karena ada suami, F langsung kami telungkupkan dan diperiksa. Ternyata ada luka di bagian anusnya. Memang tak terlalu parah, hanya seperti lecet dan berwarna kemerahan. Saat itu, F sempat menceritakan apa yang ia alami dan siapa saja pelakunya. F memberitahu saya ciri-ciri pelaku yang ternyata mirip dengan E dan S. F juga menyebut E sebagai Om Melotot dan S sebagai Om Tinggi.
Tak menunggu lama, saya langsung lapor Pak RT dan sempat bertemu E dan S. Tapi saya tak langsung bertanya apa yang mereka lakukan terhadap F. Hanya memancing informasi dari mereka. Dari cerita E dan S juga tetangga lain, saya dapat info, F sering main di rumah E. Bahkan E mengaku, F suka datang ke rumahnya untuk memandikan burung peliharaan E. Bahkan E berkata, kadang memberi makanan dan minuman untuk F di rumahnya.
Herannya, ketika saya melaporkan ini ke Pak RT, ia justru terkesan tak mendukung kami. Pak RT bilang, "Kalau ingin melaporkan soal ini ke polisi, silakan. Tapi bagaimana kalau di-kick balik, dituduh melakukan pencemaran nama baik? Saya angkat tangan."
Saya tegaskan ke Pak RT, saya siap, tidak takut, sekalipun dia (E, Red.) anggota polisi. Masak anak saya sudah berani cerita, saya sebagai ibunya tak berani ambil tindakan dan berjuang membela anak? Saya ingin E dan S mempertanggungjawabkan perbuatannya!
Kamis (21/2) saya datangi Polres Jakarta Timur untuk melaporkan kejadian ini, sekaligus minta surat untuk melakukan visum. Lalu saya bawa F ke RS Polri, Keramat Jati. Betapa kagetnya saya ketika melihat hasil visum yang menyatakan tak ditemukan tanda luka pada bagian anus F. Jumat (22/2) saya kembali datangi Polres Jakarta Timur untuk menindaklanjuti laporan. Untuk membantu pelaporan ini, saya sempat cari beberapa tetangga yang siap bersaksi. Kebetulan ada yang mengaku melihat F sering main di rumah E.
Ternyata tak mudah mendapatkan orang yang bersedia bersaksi di Polres Jakarta Timur. Seorang saksi menolak karena masih berkerabat E, Pak RT mengaku sibuk, dan seorang saksi lain enggan bersaksi lantaran ada yang melarang. Yang melarang mengaku sebagai polisi bernama Sol, bertugas di RS Polri.
Di hari yang sama, saya minta surat pengantar visum untuk mendapat second opinion di RS Cipto Mangunkusumo (RSCM). Hasil visum di RSCM ternyata berbeda dengan hasil visum RS Polri. Pihak RSCM menyatakan, anus F memiliki luka akibat benda tumpul. Antara sedih dan bahagia mendengarnya karena akhirnya saya merasa akan segera mendapat keadilan.
Dimaki Tetangga
Usai melakukan visum kedua, saya kembali ke Polres Jakarta Timur. Dari hasil pemeriksaan, pihak Polres memutuskan menangkap E dan S. Jumat (22/2) sore, ketika saya pulang bersama polisi, ternyata E dan S serta keluarganya sudah menunggu saya. Mereka berkerumun di depan rumah sambil memaki-maki saya. Beragam kata-kata kotor keluar dari mulut mereka. Bahkan E berkata, "Kalau saja nembak halal, saya tembak kamu!"
Mendengar caci maki mereka, anehnya saya tak takut. Saya justru makin ingin melawan. Saya bilang, "Yang harusnya marah itu saya, bukan Anda!" Saya berani karena merasa benar. Jadi, buat apa takut? Tanpa mereka ketahui, di belakang saya sudah ada beberapa polisi yang langsung menangkap E dan S. Usai penangkapan, saya dan keluarga masih tinggal di rumah. Tapi kami merasa tak nyaman, karena tetangga sekitar masih punya ikatan kekerabatan dengan E dan S. Akhirnya kami pindah ke rumah kerabat agar lebih tenang. Sempat beberapa kali saya pulang ke rumah mengambil baju, namun mendapat tatapan sinis dari tetangga. Jangankan menegur, melihat saya pun tidak.
Yang saya harapkan cuma satu, mendapatkan keadilan. Beruntung saya sudah dapat jaminan dari kepolisian untuk mengusutnya sampai tuntas. Saya terkadang masih suka menangis tiap melihat F dan memikirkan bagaimana nasibnya kelak. Sebagai ibu, saya merasa gagal. Saat ini saya dan suami belum bisa kembali bekerja, masih fokus menjaga anak-anak. Semoga kami bisa membantu F mengatasi traumanya. Sampai kini F masih suka mengigau saat tidur.
Meski usianya masih 5 tahun, F terhitung sangat pintar. Ketika dilakukan pra-rekonstruksi, F bisa menceritakan yang dialaminya. Bahkan F bisa menunjukan foto Om Melotot dan Om Tinggi. Dari situ, pihak kepolisian yakin pada cerita F.
Saran saya untuk para orangtua, bersikaplah lebih waspada terhadap lingkungan dan orang lain. Bangun komunikasi yang baik agar anak bisa bercerita dengan nyaman apa yang mereka alami. Jika ada yang mengalami hal seperti ini, jangan anggap sebagai aib. Jangan menunggu waktu lama untuk berani melapor polisi.
Data Komnas PA menyatakan, sejak Januari hingga Februari 2013 telah terjadi 2-3 kejahatan seksual per hari di Jabodetabek. Total, jumlah laporan kekerasan terhadap anak di Jabodetabek mencapai 120 kasus, 83 kasus di antaranya kejahatan seksual.
Menanggapi kasus yang menimpa F, Ketua Komnas PA Arist Merdeka Sirait mengatakan, apa yang dilakukan E dan S tak bisa dinyatakan sebagai penyimpangan seksual. "Itu perlakuan di luar akal sehat manusia yang beradab. Mereka berdua sadar betul, melakukan itu terhadap seorang balita."
Kejahatan seksual, lanjut Arist, sudah menembus batas. "Sudah tak rasional. Itu bentuk manusia saat ini. Pelakunya bisa seorang polisi, guru sekolah, guru spiritual, ayah kandung, ayah tiri, sampai ke penjaga sekolah, dan pedagang keliling. Tak berlebihan jika dari data yang ada bisa dikatakan, negara ini ada dalam keadaan darurat kejahatan seksual. Anak sudah tak lagi dianggap manusia, tapi dianggap sebagai obyek seks dan perdagangan manusia," bebernya.
Kembali ke soal data kekerasan terhadap anak, dari seluruh wilayah Jabodetabek, Jakarta Timur menjadi lokasi dengan tingkat kejahatan seksual tertinggi. "Salah satu penyebabnya, wilayah Jakarta Timur adalah wilayah dengan jumlah penduduk terbanyak."
Untuk itu, Arist sedang berjuang melakukan beberapa hal demi mengurangi tingkat kekerasan terhadap anak. "Pertama, mengamandemen UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak agar sanksi bagi para pelaku kejahatan seksual minimal 20 tahun penjara dan maksimal hukuman mati. Juga akan ada sanksi sosial dengan menyebar wajah pelaku kejahatan seksual ke publik. Kedua, kami akan bangun sistem perlindungan anak di tingkat RT dan RW. Masyarakat perlu terlibat demi mencegah terjadinya kejahatan terhadap anak," tegasnya.
Edwin Yusman F.
KOMENTAR