I Wayan Cidre yang ditemui di rumah sederhananya, Desa Jehem, Kec. Tembuku, Kab. Bangli, Bali, Kamis (31/1) tak menyangka, perkawinannya dengan istri keduanya bakal menjadi perbincangan banyak orang, bahkan menyeretnya jadi tersangka pelaku pernikahan di bawah umur.
"Sama sekali tak pernah terpikir bakal punya dua istri. Tujuan saya menikahi istri baru semata-mata demi mempertanggungjawabkan perbuatan saya. Tapi kalau sekarang dianggap melanggar hukum, saya tidak mengerti. Saya cuma orang desa," tutur Cidre.
Pria yang sehari-harinya bekerja sebagai tukang batu itu berkisah, sebelum akhirnya menikahi Jun, bocah yang masih SD itu, ia yang sudah memiliki istri dan dua anak merasa bahagia sepanjang 14 tahun pernikahannya dengan I Nengah Mujiani (37).
Namun seiring berjalannya waktu, ia mengaku telah mengkhianati cintanya terhadap sang istri. Diam-diam ia menaruh hati kepada Jun, gadis cilik yang usiannya sama dengan anak sulungnya. Bermula ia bertemu Jun saat tengah mengerjakan pembangunan rumah keluarga gadis itu. "Saya senang sama Jun, anaknya baik dan cantik," aku Cidre.
Ternyata benih-benih cinta itu tak hanya muncul di hatinya saja, tapi juga bersemi di hati Jun yang tinggal satu desa dengan Cidre. Bahkan, Cidre mengakui sering mencumbu Jun secara sembunyi-sembunyi.
Hubungan gelap itu, kata Cidre, biasa mereka lakukan di rerimbunan pohon di sekitar perkampungan tempat tinggal mereka, yang senderung sepi. Tak sekadar bercumbu, kata Cidre, pasangan beda usia itu pun mulai berani melakukan hubungan badan. "Ya, sudah puluhan kali lah," aku Cidre dengan lugu.
Akibat hubungan terlarang itu, akhirnya Jun hamil. Cidre mengetahui kekasih gelapnya sudah berbadan dua sekitar pertengahan Desember 2012 lalu. Bahkan, Cidre mengaku dihubungi paman Jun agar ia mengakui perbuatannya itu. "Waktu itu saya sempat stres. Maklum, meski saya mencintai Jun tapi saya juga, kan, sudah punya istri dan anak," ujar Cidre.
Demi mempertanggungjawabkan perbuatannya, setelah mengumpulkan keberanian, Cidre mendatangi rumah Jun. Di sana, ia melihat sudah berkumpul orangtua dan kerabat Jun. Dalam pertemuan itu, Cidre diminta bertanggung jawab.
"Menurut adat kami, setiap perempuan yang hamil dan melahirkan harus ada laki-laki yang bertanggung jawab. Jika tidak, perempuan itu akan dianggap kotor," jelas Cidre.
Cidre pun bersedia mengawini Jun. Namun di sisi lain ia juga merasa was-was karena harus minta izin istri pertamanya. "Saya bersyukur, meski awalnya berat, istri saya akhirnya memberi izin."
Sesuai kesepakatan, pada 23 Januari pekan lalu ia resmi menikah dengan Jun secara adat sekaligus agama melalui sebuah upacara. Seusai menikah, Jun yang sudah menyandang status istri baru pun diboyong Cidre untuk tinggal bersebelahan dengan rumah yang ditinggali istri tuanya.
"Karena sudah punya dua istri, saya harus adil memberi nafkah lahir dan batin. Jadi, saya bagi waktunya. Misalnya malam ini saya tidur bersama Mujiani, besoknya sama Jun," paparnya sambil tersenyum malu.
Sayang, bulan madu bersama istri baru Cidre harus berakhir singkat. Tak lama setelah menikah tiba-tiba ia dipanggil polisi untuk dimintai keterangan, termasuk diwawancarai banyak wartawan. "Sebagai orang kecil, saya tidak tahu kalau menikahi perempuan di bawah umur itu dilarang," imbuh Cidre yang saat diwawancara sesekali digelendoti pundaknya oleh Jun yang mendampinginya.
Kendati kini proses hukum tengah membelitnya, Cidre merasa harus mempertahankan keberadaan dua istrinya itu. "Layaknya bapak yang lain, saya akan pertahankan perkawinan ini. Soalnya, saya mencintai keduanya," tandas Cidre.
Sementara Jun, dengan senyum yang selalu menghiasi bibirnya dan raut wajah penuh kebahagiaan layaknya pengantin baru, seolah tak menyiratkan kegundahan tatkala perkawinannya diperkarakan.
Kendati tubuhnya tampak bongsor untuk anak seusianya, ditambah perutnya yang mulai tampak membuncit, sikap kekanak-kanakannya masih terlihat jelas. Setiap kalimat yang keluar dari mulutnya selalu diikuti senyum tersipu malu, layaknya anak-anak.
Anak kelima dari enam bersaudara ini mengatakan, belakangan ini hatinya tengah berbunga-bunga. "Senang lah, bli (kakak dalam Bahasa Bali, Red.) orangnya baik dan ganteng," katanya sambil tersipu.
Dengan lugunya, Jun juga menjelaskan, apa yang dilakukannya ini sama sekali tanpa paksaan dan dilakukan atas dasar suka sama suka. Ia pun tak mempesoalkan ketika harus berbagi tempat dengan istri tua Cidre. "Tidak apa-apa, anak-anak bli juga baik. Sama saya juga memanggilnya ibu," katanya dengan wajah berseri-seri.
Jun yang masih anak-anak ini mengaku tak mengerti ketika haidnya berhenti dan perutnya perlahan mulai membuncit. Ia mengaku hanya diam saja, namun menolak berangkat ke sekolah lantaran merasa malu dengan teman-temannya. Ia pun belum memeriksakan kandungannya ke bidan desa.
Untuk membantu penghasilan sang suami, ia bahkan bekerja di sebuah tempat usaha pembuatan kerajinan. "Saya belum dapat gaji karena baru mulai kerja," imbuh Jun sambil tangannya berusaha menutupi perut buncitnya.
Gandhi Wasono M.
KOMENTAR