Aku berpikir, wah, anakku mewarisi penyakitku. Ri memang tak segera dioperasi. Aku berharap obat dari dokternya bisa mengobatinya. Sayangnya, setelah diberi obat penyakit anakku tak kunjung sembuh. Tentu saja aku makin khawatir dan memutuskan untuk mengunjungi dokter lain di sebuah RS di Bekasi.
Sengaja aku datangi dokter spesialis agar lebih yakin mengetahui sakitnya. Ternyata hasil yang kuperoleh berbeda dengan diagnosis sebelumnya. Anakku dikatakan sakit tifus. Tetapi kondisi kesehatannya terus memburuk. Demam, panas tinggi sampai kejang-kejang, bahkan sempat jatuh pingsan.
Segera kubawa Ri ke RSUP Persahabatan pada 29 Desember lalu. Di ruang IGD aku tak berani masuk. Ri didampingi tetanggaku. Dari tetanggaku lah aku lalu mendengar berita yang sangat mengejutkanku. Katanya, vagina Ri sudah rusak dan sudah tidak suci lagi, karena ada yang telah menodainya.
Astagfirullah, tubuhku langsung lemas, aku pun histeris menangis. Semua tanya langsung berkecamuk dalam kepala. Kenapa hal ini terjadi pada Ri? Kenapa aku sebagai ibunya sampai tidak mengetahuinya? Kenapa Ri tak cerita padaku? Siapa yang tega melakukan hal sekeji itu?
Tapi ke mana aku mencari jawabannya karena semenjak itu anakku sudah tak berdaya dan tak bisa berkomunikasi. Ri pun harus masuk ruang ICU. Dia mulai tak sadarkan diri dan panasnya naik terus mencapai 40 derajat. Namun saat itu aku yakin sekali, dia akan sembuh dan bisa menceritakan yang sebenarnya terjadi. Selanjutnya, aku dan kakaknya Ri bergantian menungguinya di depan ruang ICU, termasuk Bapak. Tak ada kecurigaan sama sekali, baik aku dan keluarga, terhadap Bapak. Sejak itu pula aku dan Bapak praktis tidak bekerja sebagai pemulung.
Melihat kondisi Ri, kami harus terus mendampinginya selama 24 jam di RS. Untungnya, aku tak perlu memikirkan biaya perawatan Ri karena semua sudah ditanggung pihak RS. Jika tidak, entah bagaimana aku harus membayarnya.
Agar mendapat kepastian soal siapa yang sudah tega menodai Ri, aku melaporkan kasus ini ke Polres Jakarta Timur. Sambil terus berharap Ri sembuh dan bisa menceritakan semuanya kepadaku, kepada polisi.
Sayang, semua itu tak pernah terjadi. Minggu (6/1), jam 06.00 pagi aku diminta melihat kondisi terakhir Ri oleh suster. Aku pun menangis sejadi-jadinya, melihat Ri yang sudah tak berdaya dengan tubuh yang semakin kurus. Dengan tenang, Ri pun mengembuskan napas terakhirnya. Ya Allah, semoga Engkau mau menjaga anakku.
Sorenya, hari itu juga Ri langsung dimakamkan di TPU Harapan Baru. Semula, Ri akan dimakamkan di Pemalang (Jateng), tempat asalku. Namun mengingat waktu yang terbatas dan biaya yang besar, niat itu urung kulakukan.
Seperti Bapak, Ri adalah anak yang pendiam. Di saat sakit pun ia tak pernah menceritakannya kepadaku. Memang, ada beberapa perubahan dalam diri Ri yang kurasakan sejak aku kembali dari RS pasca dioperasi tumor. Makin hari, prestasi belajar Ri makin menurun.
KOMENTAR