Sungguh aku tak pernah sekalipun membayangkan peristiwa ini akan aku alami dalam hidupku. Pengakuan suamiku di depan polisi pekan lalu itu sungguh sangat mengejutkan aku dan seluruh keluarga kami. Betapa tidak, dengan lugunya Bapak mengakui di hadapan petugas yang memeriksanya bahwa dia lah yang telah menggagahi putrinya sendiri, putri bungsu kami, Ri (10). Hingga Ri harus menderita sakit luar biasa, kejang-kejang, bahkan sampai masuk ICU akibat perilaku biadab Bapak.
Aku memang belum sempat bertanya langsung kepada Bapak, kenapa begitu tega melakukan itu terhadap putri bungsu kami? Kenapa memilih anaknya sendiri? Namun beberapa hari sebelum Bapak akhirnya mengaku, anakku yang ketiga (dari enam bersaudara), mengaku sempat bermimpi bertemu Ri dalam tidurnya.
Di dalam bunga tidurnya anakku bertanya kepada Ri, siapa sebenarnya yang melakukan tindakan bejat itu. Ri menjawab, "Bapak yang berbuat." Begitu mimpi itu disampaikan anakku kepada kami di rumah kontrakan, Bapak langsung terdiam. Ia pun langsung beranjak ke belakang rumah.
Tak lama setelah itu, polisi datang untuk menangkap Bapak. Di hadapan polisi, tanpa perlawanan sedikit pun Bapak langsung mengakuinya. "Saya khilaf, karena istri lama dirawat di rumah sakit," begitu kata Bapak saat itu. Duh, hancur hatiku saat mendegar penuturan Bapak.
Selanjutnya, secara lancar pula Bapak mengatakan bagaimana peristiwa itu terjadi. Bapak bilang, di suatu siang Ri sedang bermain di belakang rumah, lalu Bapak memanggilnya untuk segera ke dalam rumah. Perbuatan biadab itu dilakukannya di dalam rumah kontrakan kami.
Pada Oktober 2012 lalu, selama seminggu aku memang berada di rumah sakit, karena harus menjalani operasi tumor di ketiak dan dirawat selama seminggu. Rupanya, selama aku tak ada itulah Bapak dengan tega melakukannya terhadap Ri sebanyak dua kali. Ya Allah, sedih sekali rasanya setiap aku mengingat perbuatan Bapak.
Jatuh Pingsan
Jujur saja, tak ada firasat apa pun yang aku rasakan selama ini. Hanya saja, sepulang aku dari RS aku lihat Ri kerap marah-marah setiap Bapak menyalakan teve. "Jangan setel teve! Saya lagi pusing, matiin aja!" begitu kata Ri. Mendengar kata-kata ketus terlontar dari mulut Ri, mata Bapak melotot, sambil menyalakan teve kembali. Ri pun marah-marah lagi.
Sebelum mengalami demam tinggi dan kejang-kejang, Ri juga tampak enggan meminta uang jajan ke Bapak. Sepertinya ia takut. Jadi, Ri minta uang kepadaku. Hubunganku dengan si bungsu Ri memang sangat dekat. Tidur pun aku selalu berdekatan dengannya, sebab di rumah kontrakan kami tak ada kamar. Jadi, ya, kami tidur bareng-bareng di ruang depan yang sekaligus ruang tamu, ruang makan, dan kamar ini.
Soal hubunganku dengan Bapak, aku akui, sejak menderita tumor aku memang kerap menolak setiap diajak berhubungan intim oleh Bapak. Bukan apa-apa, badanku sudah capek sekali karena seharian harus mencari nafkah jadi pemulung. Belum lagi, harus beres-beres rumah dan mengurus anak-anak.
Hingga akhirnya, semua terjadi begitu cepat. Rasanya baru kemarin Ri mengeluhkan sakit, namun kini ia sudah tiada. Sekitar 2-3 bulan lalu ia sempat mengeluh sakit di bagian ketiaknya. Aku pun membawanya ke Puskesmas. Menurut dokter, anakku terkena penyakit getah bening.
Aku berpikir, wah, anakku mewarisi penyakitku. Ri memang tak segera dioperasi. Aku berharap obat dari dokternya bisa mengobatinya. Sayangnya, setelah diberi obat penyakit anakku tak kunjung sembuh. Tentu saja aku makin khawatir dan memutuskan untuk mengunjungi dokter lain di sebuah RS di Bekasi.
Sengaja aku datangi dokter spesialis agar lebih yakin mengetahui sakitnya. Ternyata hasil yang kuperoleh berbeda dengan diagnosis sebelumnya. Anakku dikatakan sakit tifus. Tetapi kondisi kesehatannya terus memburuk. Demam, panas tinggi sampai kejang-kejang, bahkan sempat jatuh pingsan.
Segera kubawa Ri ke RSUP Persahabatan pada 29 Desember lalu. Di ruang IGD aku tak berani masuk. Ri didampingi tetanggaku. Dari tetanggaku lah aku lalu mendengar berita yang sangat mengejutkanku. Katanya, vagina Ri sudah rusak dan sudah tidak suci lagi, karena ada yang telah menodainya.
Astagfirullah, tubuhku langsung lemas, aku pun histeris menangis. Semua tanya langsung berkecamuk dalam kepala. Kenapa hal ini terjadi pada Ri? Kenapa aku sebagai ibunya sampai tidak mengetahuinya? Kenapa Ri tak cerita padaku? Siapa yang tega melakukan hal sekeji itu?
Tapi ke mana aku mencari jawabannya karena semenjak itu anakku sudah tak berdaya dan tak bisa berkomunikasi. Ri pun harus masuk ruang ICU. Dia mulai tak sadarkan diri dan panasnya naik terus mencapai 40 derajat. Namun saat itu aku yakin sekali, dia akan sembuh dan bisa menceritakan yang sebenarnya terjadi. Selanjutnya, aku dan kakaknya Ri bergantian menungguinya di depan ruang ICU, termasuk Bapak. Tak ada kecurigaan sama sekali, baik aku dan keluarga, terhadap Bapak. Sejak itu pula aku dan Bapak praktis tidak bekerja sebagai pemulung.
Melihat kondisi Ri, kami harus terus mendampinginya selama 24 jam di RS. Untungnya, aku tak perlu memikirkan biaya perawatan Ri karena semua sudah ditanggung pihak RS. Jika tidak, entah bagaimana aku harus membayarnya.
Agar mendapat kepastian soal siapa yang sudah tega menodai Ri, aku melaporkan kasus ini ke Polres Jakarta Timur. Sambil terus berharap Ri sembuh dan bisa menceritakan semuanya kepadaku, kepada polisi.
Sayang, semua itu tak pernah terjadi. Minggu (6/1), jam 06.00 pagi aku diminta melihat kondisi terakhir Ri oleh suster. Aku pun menangis sejadi-jadinya, melihat Ri yang sudah tak berdaya dengan tubuh yang semakin kurus. Dengan tenang, Ri pun mengembuskan napas terakhirnya. Ya Allah, semoga Engkau mau menjaga anakku.
Sorenya, hari itu juga Ri langsung dimakamkan di TPU Harapan Baru. Semula, Ri akan dimakamkan di Pemalang (Jateng), tempat asalku. Namun mengingat waktu yang terbatas dan biaya yang besar, niat itu urung kulakukan.
Seperti Bapak, Ri adalah anak yang pendiam. Di saat sakit pun ia tak pernah menceritakannya kepadaku. Memang, ada beberapa perubahan dalam diri Ri yang kurasakan sejak aku kembali dari RS pasca dioperasi tumor. Makin hari, prestasi belajar Ri makin menurun.
Bahkan dia tak sempat ikut ulangan umum karena keburu masuk ICU. Pernah kutanyakan kepadanya, kenapa nilai-nilai sekolahnya jadi turun. Katanya, di sekolah hawanya bikin mengantuk dan malas. Padahal, sebelumnya nilai-nilainya termasuk lumayan.
Begitu juga tiap kali ke kamar mandi, entah untuk buang air kecil atau mandi, celana dalamnya selalu dicucinya sendiri. Usai mencuci, barulah dia memintaku menjemurkannya. Itu sudah terjadi sebulan belakangan ini. Duh, aku jadi menyesal, kenapa saat itu tak kutanyakan soal perubahannya itu.
Tak hanya itu, tubuhnya pun tampak makin kurus 2-3 bulan ini. Semula, ia tampak gemuk dan sehat. Ri juga mengaku kepalanya sering pusing, lemas, dan hanya mau tiduran terus. Setiap aku minta tolong untuk dibelikan sesuatu ke warung, dia tampak enggan dan selalu minta kakaknya yang memembelikan.
Ke sekolah pun, jika tak ada temannya, Ri selalu minta aku untuk mengantarnya. Kebetulan jarak sekolahnya memang dekat dari rumah. Jadi, cukup berjalan kaki saja. Jika aku sedang tak bisa mengantar, dia menangis, entah kenapa. Tak biasanya ia seperti itu, seperti ada yang ditakutkan. Sayang, aku lupa menanyakannya.
Masih terbayang dalam ingatanku, wajah Ri yang cantik, rambutnya yang lebat sebahu, kulitnya yang putih seperti kakaknya. Ri juga amat peduli pada sekolahnya. Setiap aku beri uang bekal sekolah Rp 5.000, dia pasti akan minta tambah. "Mak, kurang uangnya, buat sumbangan ke sekolah." Ternyata, anakku mau menyisakan uangnya untuk menyumbang pembangunan sekolahnya.
Kini, harapanku agar polisi menemukan pelakunya sudah terlaksana. Aku sempat bilang, pelakunya harus ditangkap dan dihukum seberat mungkin. Tapi setelah tahu Bapak lah pelakunya, aku tak tahu lagi. Terserah Bapak mau diputus hakim berapa lama. Aku serahkan semua ke pihak yang berwenang saja.
Selama Bapak ditahan Polres Jakarta Timur, aku memang belum menjenguknya. Setiap ingat perbuatan Bapak, aku jadi benci sama Bapak. Aku tidak dendam, tapi aku kesal dengan perilakunya. Berpisah dengan Bapak? Aku belum tahu. Yang jelas, aku dan kakak-kakak Ri sangat menyesalkan tindakan Bapak. Keluarga pun melarang aku bicara terlalu banyak karena persoalan ini membuat keluarga kami pusing. Aku memilih pasrah saja.
Sedih, capek, dan lelah itulah yang kurasakan saat ini. Rasanya ingin sekali istirahat tapi tamu tak henti datang ke rumah. Apalagi setelah Bapak ditahan, polisi bolak-balik datang ke rumah untuk meminta keterangan.
Sebelumnya, tak sedikit pejabat yang datang ke rumah kontrakan kami, di kawasan Rawa Bebek, Cakung. Bapak Gubernur Jokowi, Ibu Menteri Linda Gumelar, perwakilan Depsos, semua mengucapkan belasungkawa atas meninggalnya Ri. Tak hanya tamu yang terus berdatangan, sumbangan pun silih berganti datang. Aku yakin sumbangan yang terus mengalir tanpa henti ini berkat kebaikan anakku semasa hidupnya. Mungkin inilah balasan simpati untuk anakku.
Duh, Ri, padahal tak lama lagi anakku itu akan berulang tahun yang ke-11 April mendatang. Aku jadi ingat kertas bertuliskan tangan Ri yang ditemukan kakaknya. Ri ingin merayakan ulang tahunnya dan berencana mengundang teman-temannya ke rumah. Tapi rencana itu kini tinggal kenangan. Selamat jalan Ri, semoga engkau damai di sisi-Nya...
Noverita K. Waldan / bersambung
KOMENTAR