Kenapa saya begitu getol mempelajari hipnoterapi, grafologi, dan akupunktur? Jawabannya karena saya sudah merasakan hasilnya. Memang banyak orangtua yang mengucapkan banyak terima kasih karena anaknya berhasil setelah saya terapi. Saya tentu senang dan makin semangat mempelajari ilmu itu. Tetapi tentu akan berbeda jika saya merasakan keberhasilan untuk anak sendiri.
Sejak anak-anaks aya berusia SD, saya memang sudah menerapi mereka, Rara Sekar Larasati (21) dan Isyana Sarasvati (19). Saya bisa mengikuti perkembangan mereka dan tahu di mana letak kelebihannya. Rara kuat di bahasa, sementara adiknya kuat di musik. Tapi keduanya bisa main musik dan punya jiwa kompetisi yang luar biasa.
Itu sebabnya sejak kecil Rara kami ikutkan kompetisi debat Bahasa Inggris. Ia beberapa kali dapat beasiswa dari luar negeri, dan pernah belajar di Amerika. Pulang dari sana tak lama kemudian dapat beasiswa dari Turki. Setelah itu, beasiswa dari Spanyol. Anehnya, begitu pulang dari negera-negara tadi dia fasih berbahasa Turki maupun Spanyol. Kemampuan bahasanya memang luar biasa. Cepat sekali dia mempelajari sebuah bahasa.
Sementara si bungsu kuat di bidang musik. Sejak SMP sudah juara elektone se-Indonesia bahkan pernah tampil di Java Jazz. Saat mengikuti kejuaraan se-Asia Pasifik, ia juga juara dan masuk tiga besar tingkat dunia di Jepang. Ketika kelas 2 SMA, ia diminta sekolah oleh Universitas Nava, Singapura. Jadi ia tak sempat melanjutkan SMA kelas 3, malah langsung diterima kuliah di jurusan performing arts.
Ia juga pernah mewakili universitasnya ikut kejuaran musik, bahkan setelah menang ia mewakili Singapura di kejuaraan se-Asia-Pasifik. Ia bisa main piano, elektone, saxophone, biola, dan vokal. Seperti kakaknya, ia belajar musik begitu cepat.
Ibarat Lewat Tol
Kedua anak saya juga sangat mandiri. Sejak SMA sudah tinggal sendiri di luar negeri. Ya, kebanyakan orangtua, kan, pasti was-was anak perempuannya tinggal sendirian di luar negeri. Tapi karena kami yakin ia mampu mandiri, kami jadi tenang-tenang saja meski jauh dari orangtua.
Ketika saya mengambil program doktor, saya bersama istri, Luana Marpanda (50), dan dua anak kami memang sempat selama 5 tahun tinggal di Belgia. Kebetulan beasiswa itu sudah termasuk biaya untuk keluarga. Ketika itu anak-anak masih kecil. Hanya itu saja pengalaman mereka tinggal di luar negeri.
Hebatnya, pengharaan dan piala yang mereka peroleh banyak sekali. Wah, sudah tak terhitung lagi jumlahnya. Sebagai orangtua, saya merasakan beban lebih ringan, karena sejak SMP mereka sudah bisa mencari biaya sekolah sendiri lewat beasiswa. Sekarang ini si sulung sudah bekerja di Bali. Di sebuah NGO yang mengurusi masyarakat miskin. Ia sangat menikmati pekerjaannya karena dekat dengan orang-orang tak mampu. Sementara teman-teman kerjanya bule semua.
Karena memang suka dunia politik, selulus kuliah ia pernah kerja di Kontras, Jakarta. Saya jadi membandingkan sewaktu saya sekolah dulu. Kok, kayaknya ngeden sekali ya. Untuk berprestasi, harus kerja luar biasa, sedangkan dua anak saya, kok, enak dan lancar banget jalannya. Ya, saya memang beda, tapi saya jadi tahu di mana letak kelebihan anak-anak saya. Ibarat laju kendaraan, langsung lewat tol.
Sekarang ini, saya di Bandung rasanya seperti pacaran lagi dengan istri. Jika tiba masa liburan, saya pangil anak-anak untuk berkumpul di Bandung. Jika tak, ya, kami yang mengunjungi mereka.
Keberhasilan kami mengarahkan dua anak menjadi remaja-remaja sukses, membuat saya tertantang mengembangkan program untuk anak-anak SMA yang ingin masuk universitas. Program ini sebenarnya berasal dari pengalaman semasa saya mengajar di Unpar. Saya sempat bertanya ke mahasiswa saya, jika diberi kesempatan apakah akan memilih jurusan yang sekarang mereka pilih? Ternyata banyak yang menjawab tidak.
Jawaban itu membuat saya prihatin. Ternyata banyak mahasiswa yang salah pilih jurusan. Itu sebabnya hasil akhirnya tak maksimal karena memang tak sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki. Saya lalu membuat program cara mengenalkan jurusan ke anak-anak dan merancang program agar anak fokus sesuai bidangnya. Modul pelatihannya pun lengkap.
Modul ini diikuti oleh anak-anak SMA. Tiap bulan mereka saya kulihai di ruang tengah. Biasanya saya mengumpulkan sampai 15 anak. Saya juga mensyaratkan orangtuanya ikut. Bahkan adiknya juga boleh ikut jika mau. Jadi untuk program ini, bayar satu dapat banyak. Ha ha ha...
Kenapa saya harus melibatkan orangtua? Sebab keberhasilan anak harus didukung oleh pengawasan orangtua. Sementara jika orangtuanya yang ikut, anak akan merasa dibicarakan di belakang. Di akhir kuliah saya berikan tes dan hasilnya yang berupa angka-angka statistik itu mereka baca sendiri. PAda akhirnya ia bisa mengetahui ke mana bakat dan minatnya, sesuai dengan kepribadian. Bahkan dengan modal kuliah 1,5 jam itu ia bisa menganalisa kepribadian orangtuanya. Hebat kan? Mereka sudah jadi psikolog instan.
Program ini sudah kami lakukan selama bertahun-tahun. Tanpa ada promosi dan plang nama di rumah pun, peminatnya selalu membludak. Promosinya juga hanya dari mulut ke mulut. Bahkan banyak anak-anak tokoh intelek yang ikut program ini. Sepertinya model-model begini yang memang sedang dibutuhkan masyarakat, ya.
Sukses 1.000 Jam
Saat memeriksa hasil ujian mahasiswa, saya juga sering gelisah. Tiap ujian saya, kan, selalu memberikan esaai dengan jawaban yang ditulis tangan. Lembar-lembar jawaban itu, kan, bagi saya sudah bisa menjadi modal mengetahui masalah yang dihadapi para mahasiswa. Stres saya melihat masalah yang mereka hadapi. Kebanyakan, sih, mereka tidak fokus.
Sebenarnya saya bisa cuek. Toh itu bukan ursan saya. Tapi saya tak tega. Makanya saya ajak dosen bikin modul bagi mahasiswa. Judul modulnya Quantum Solution. Selama tiga hari mereka dimasukkan ke dalam sebuah camp. Tapi program ini tak boleh lebih dari 50 orang pesertanya.
Mereka kami ajarkan membaca cepat, belajar cepat sambil "dibereskan". Mereka juga harus bisa membuat catatan yang benar. Hasilnya luar biasa, setelah 3 hari mengikuti program ini, contohnya seorang mahasiswa yang nyaris drop out (DO), setelah keluar dari program ini langsung ngebut menyelesaikan skripsinya dan lulus.
Setelah tahu program itu sukses, semua fakultas minta dibuatkan modulnya. Wah, jadi pusing saya. Ha ha ha.. Akhirnya saya mengajak teman-teman dosen jadi terapis. Untung banyak yang mau. Jadi saya cukup mengajari para dosen, sehingga nantinya mereka sendiri lah yang akan melakukan terapi ke mahasiswanya.
Saya memang lebih suka membagi ilmu kepada yang mau agar ilmu ini lebih bisa dinikmati banyak orang. Akhirnya saya menemukan jawaban dari pertanyaan saya di awal tulisan ini. Sebenarnya apa , sih, profesi saya? Seorang dosen, peneliti, konsultan, hipnoterapis, grafolog, atau akupunkturist? Bukan semua. Saya seorang guru!
Ketika saya menjadi konsultan pun, saya juga seorang guru. Saya mengajar para bupati, anggota LSM, dosen, serta mahasiswa yang mengajukan proposal. Begitu juga saat menjadi peneliti, saya mengajari mereka yang membiayai penelitian saya. Begitu pun saat saya jadi hipnoterapis dan grafolog. Saya lebih banyak membagi ilmu dari pada jadi terapis.
Dalam ilmu psikologi ada hukum, sukses tidak suses itu ditentukan oleh 1.000 jam. Itu hukum. Tak ada orang sukses secara instan. Untuk menjadi sukses orang harus melewati 1.000 jam. Misalnya The Beatles, tak ujug-ujug sukses. Mereka harus bolak-balik London dan Humberg, Jerman untuk main di kafe dan tak ada hubungannya dengan lagu-lagu Beatles. Bill Gates, harus nyolong-nyolong main komputer di gudang universitas.
Setelah saya merenung, passion saya memang sebagai guru. Kekuatan saya memang mengajar. Mungkin kekuatan itu diturunkan dari Ayah yang dosen ITB. Akhirnya memang saya sadar, mengajar itu dunia yang mengasyikan. Orang berlomba-lomba mencari, sementara saya memberikan. Katanya investasi surga itu dengan memberi. Alhamdulillah saya diberi lahannya. Meski terus memberi, saya tetap tak miskin. Saya tidak salah profesi.
Sukrisna
KOMENTAR