Berita tentang keputusan MK menghapus status sekolah berlabel RSBI maupun SBI segera saja menimbulkan rasa panik. Salah satunya terasa di SMP Negeri (SMPN) 19 Jakarta yang berlabel RSBI. Usai mendengar berita itu di televisi, Selasa (8/1), sang kepala sekolah, Ir. H. Morgan Napitupulu, M.Si, langsung minta seluruh wali kelas menyampaikan kabar itu kepada para siswa.
"Wah, kami langsung enggak setuju," tutur Nadia, siswi kelas 8. "Soalnya kami takut segala fasilitas yang selama ini kami terima di sekolah akan dihapus," ujar Krisna, teman sekelasnya. Fasilitas yang dimaksud Krisna antara lain pendingin ruangan, proyektor, dan guru honorer dari Filipina yang mengajar pelajaran Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam, dan Bahasa Inggris. Guru native speaker itu memang dipakai untuk memenuhi tuntutan kriteria RSBI. Tiga mata pelajaran tadi mesti diajarkan dengan bahasa pengantar Bahasa Inggris.
Selain membuat panik para siswa, berita penghapusan Pasal 50 ayat 3 Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional itu juga membuat gelombang keresahan di jajaran Dinas Pendidikan Nasional (Diknas) dan para kepala sekolah.
Ditutup Cat
Selasa sore itu juga, Morgan mendapat panggilan rapat bersama belasan kepala sekolah dari SMP RSBI lain di kantor Diknas. Rapat yang akhirnya dimulai pada pukul 21.00 itu berakhir nyaris tengah malam. "Keputusannya, kami harus secepatnya menghilangkan semua tulisan RSBI yang ada di sekolah. Kami juga dituntut untuk segera menyosialisasikan keadaan ini ke orangtua atau wali murid, dan di waktu bersamaan tetap menjaga mutu pendidikan," kata Morgan ketika ditemui Jumat (11/1) di kantornya.
Perintah dari Diknas segera dilakukan Morgan. Rabu (9/1) pagi, seluruh tulisan 'RSBI' yang tertera di papan nama sekolah dan mobil dinas ditutup dengan cat. Langkah selanjutnya, menginformasikan keadaan ini ke para orangtua yang tak kalah panik. Jumat itu, seluruh wali murid diundang untuk mendengar sosialisasi keputusan MK.
Padahal, kata Morgan, jika tak ada masalah tersebut, tahun ini SMPN 19 bersama 15 sekolah lain di Jakarta sudah dipastikan bakal "naik kelas" dari sekolah berlabel RSBI menjadi SBI. "Ya, apa boleh buat?" ujarnya.
Dengan alasan meningkatkan mutu pendidikan, pada 2006 Pemerintah mulai merintis sekolah bertaraf internasional (SBI). Berbondong-bondong, sekolah dari berbagai level (SD, SMP, dan SMA) yang tadinya berlabel Sekolah Standar Nasional (SSN) bertransformasi jadi RSBI, cikal bakal SBI.
Bagi sekolah-sekolah ini, Pemerintah lantas menggelontorkan dana ratusan juta rupiah. Pemerintah juga menetapkan delapan standar pendidikan nasional sebagai syarat sekolah memperoleh label internasional tersebut. Dari soal standar isi, pendidik dan tenaga kependidikan, hingga standar pembiayaan.
Kedelapan standar ini berisi butir-butir yang cukup sulit dicapai. Misalnya, sekolah berlabel RSBI harus mendapatkan akreditasi A dari Badan Akreditasi Nasional Sekolah. Setiap kelas juga harus berbasis teknologi informasi dan komunikasi, yang kira-kira diartikan dengan memiliki kelengkapan komputer dan jaringan internet.
Jaringan internet ini juga harus terpasang di perpustakaan. Sekolah mesti memiliki ruang multimedia, ruang unjuk seni dan budaya, ruang olahraga, berbagai laboratorium, dan klinik kesehatan yang mumpuni. Dari segi pengajar, RSBI menuntut setiap sekolah memiliki guru lulusan S2 atau S3 dari universitas terakreditasi A. Proporsinya, 10 persen dari seluruh jumlah guru untuk sekolah setingkat SD, 20 persen untuk yang setingkat SMP, dan 30 persen bagi SMA.
Dengan berbagai fasilitas ini, RSBI diharapkan mampu mencetak siswa-siswi yang berprestasi di atas rata-rata. Jika nilai Ujian Nasional (UN) rata-rata yang harus diraih sekolah SSN hanya 5,5, maka RSBI dan SBI harus mampu meluluskan murid-muridnya dengan nilai rata-rata tinggi, yakni di angka 7,0 dan 8,0.
Protes Pungutan
Segala ketentuan tadi tentu tak dicapai dengan biaya murah. Berbagai fasilitas mesti didanai sementara. "Dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah, Red.) dari Pemerintah tak sampai Rp 200 ribu per siswa per bulan. Tentu saja tak cukup untuk investasi fasilitas," terang Morgan.
Demi menutup kekurangan biaya itu, banyak sekolah RSBI kemudian meminta donasi dari orangtua murid. Di SMPN 19, aku Morgan, jumlahnya beragam namun tak lebih dari Rp 800 ribu per bulan. Kebanyakan alokasi biaya digunakan untuk sejumlah pengeluaran strategis seperti listrik dan gaji guru honorer. "Listrik sebulan bisa Rp 20 jutaan dan gaji guru honorer bisa sampai Rp 45 jutaan," sebut Morgan.
Nah, pungutan inilah yang sejak pertengahan tahun 2011 menuai protes tentang keberadaan sekolah RSBI. Berbagai demonstrasi dilakukan oleh orangtua siswa di berbagai daerah. Mereka protes mahalnya biaya yang harus dikeluarkan untuk memasukkan putra-putrinya ke sekolah RSBI. Selain uang donasi setiap bulan, kebanyakan orangtua juga diminta menyetor uang pangkal hingga puluhan juta rupiah saat putra-putrinya diterima di sekolah RSBI.
Tak semua protes, memang. Demi pendidikan berkualitas dan bagi si buah hati, kebanyakan orangtua mengaku tak keberatan mengucurkan dana pendidikan lebih banyak. "Sejak awal saya tahu, sekolah di RSBI berarti membayar lebih untuk dapat fasilitas. Ya, saya tidak keberatan," ujar Ita, ibu salah seorang siswa kelas 8 di SMPN 19.
Alhasil, dihapusnya label RSBI disesali banyak pihak. Termasuk Nurul, orangtua siswa yang lain. "Untuk masuk ke sekolah ini sangat susah. Harus melalui berbagai tes dan ujian. Anak saya juga punya kebanggaan tersendiri karena berhasil lolos dan masuk sekolah RSBI. Kalau labelnya dihapus, kebanggaan itu juga hilang," katanya.
Ajeng / bersambung
KOMENTAR