Setelah sukses membangun bisnis suvenir khas Indonesia dengan nama Nalini, kini Peni bersama dua temannya mulai berbisnis merangkai bunga. Perbedaan pendapat tentu pernah dialami Peni dan rekan bisnisnya. Lalu bagaimana Peni menyikapinya? Apa saja kiat bisnis ala Peni?
Tahun 2008 aku mulai melirik bisnis florist. Gara-garanya, saat terlalu fokus menangani EO. Tapi kemudian aku memang tertarik mencari sisi lain bekerja bagi wanita, pekerjaan yang manis-manis dan bisa dikerjakan sambil duduk santai. Lalu saya pikir, kenapa tak coba merangkai bunga, yang sangat dekat dengan wanita. Akhirnya, aku ambil kursus merangkai bunga hingga 2010.
Setahun kemudian, aku diminta bergabung dengan Ikatan Perangkai Bunga Indonesia dan masuk komunitas perangkai bunga. Orang yang tahu hobiku dan butuh bunga cepat, pasti akan meneleponku. Soalnya kalau ke toko bunga lain banyak aturannya, misalnya harus bayar di muka. Sementara denganku, tak masalah. Baru di tahun ini pula aku mulai ber-partner dengan dua temanku Raras dan Sissy, mendirikan usaha florist, Deflowery. Sama seperti bisnis suvenir, Deflowey juga tak punya kantor. Rumah temanku dijadikan basecamp, dan aku ke sana jika ada pesanan baru.
Tak jauh beda pula dengan usaha suvenir, bunga bukan merupakan kebutuhan primer manusia. Apalagi di Indonesia, industrinya belum 'matang' seperti di negara Eropa atau Amerika. Sehingga tantangannya lebih berat. Bunga merupakan hasil alam, sehingga risiko nya cukup tinggi. Harga fluktuatif, tergantung momen kalender.
Pada saat Valentine misalnya, bunga mawar merah akan sangat melambung tinggi harganya karena permintaan tinggi. Kendati para petani dan pemasok sudah bersiap menghadapi event ini, seringkali terjadi kejadian yang 'ada-ada saja'. Valentine tahun ini, misalnya, kami bekerja sama dengan satu resto untuk menghadiahi para tamu yang membeli paket romantic dinner, rangkaian single rose.
Ketika H-1 aku akan mengambil bunga ke pemasok, ternyata kebun bibit impor mereka gagal panen. Pemasok lain tak sanggup memberi karena kami membutuhkan hampir 200 batang mawar merah. Satu-satunya cara, aku terpaksa membeli rose impor dari Cina dengan harga dua kali lipat. Untung, klien bisa mengerti sehingga terjadi kesepakatan yang tak saling merugikan.
Bertukar Bahan Baku
Itulah suka duka menjalani bisnis EO, suvenir, dan florist yang kutekuni hingga kini. Aku juga senang sebab makin ke sini makin menjamur orang berwirausaha. Bukti paling nyata, setiap ada lomba wirausaha, pesertanya ribuan dari seluruh Indonesia. Artinya, pemerintah sudah lebih memerhatikan para wirausahawan ini.
Bahkan di universitas pun sudah ada mata kuliah khusus enterprenuer. Menurut teori, negara sudah bisa dikatakan maju jika jumlah wirasusahawannya mencapai dua persen. Begitu juga dengan bank yang berlomba memberi dana pinjaman untuk UKM. Kompetisi bisnis pun semakin booming, bahkan BUMN mengeluarkan kredit usaha.
Tentu saja yang paling penting adalah bagaimana agar bisa tetap mempertahankan bisnis. Aku sangat bersyukur, Nalini berhasil menekan reject barang. Caranya, bersepakat dengan perajin untuk tidak menerima barang yang tak lulus quality control. Namun kendala pasti selalu ada, tapi aku harus memiliki trik agar bisnis tetap berputar. Berhubung posisi Nalini ada di tengah, kendala di lapangan terutama terdapat pada soal keterbatasan kontiunitas. Masalahnya, kadang harus memproduksi barang yang sudah ada.
Misalnya, suvenir piring. Saat ingin membuat piring putih, harus memesan ratusan ribu lusin, padahal dalam setahun hanya laku 2 ribu piring saja. Saat piring sudah habis terjual dan bahan baku tak ada lagi, aku harus segera mencari alternatif lain, misalnya membuat magnet kulkas. Atau bergantian, saat magnet habis stok, harus cari lagi material lain. Sekarang kami sedang mencoba beralih ke bahan akrilik yang prosesnya lebih mudah, tak melalui proses pembakaran.
KOMENTAR