Lebaran 2007 lalu, keluarga besar kami terkejut saat Sri, tetangga desa yang baru pulang dari Arab Saudi, bersilaturahmi ke rumah kami di Desa Mrunten Wetan, Ungaran, Semarang (Jateng). Kata Sri, sudah sejak 2006 kakak ipar saya, Satinah (39), dipenjara oleh Pemerintah Arab Saudi. Mbak Satinah dituduh mencuri ponsel dan membunuh majikannya, Al Ghorib, seorang perempuan paruh baya.
Kami bingung bagaimana mengecek kebenaran berita itu. Pantas saja sejak pertengahan 2006, Mbak Satinah tak pernah berkabar lagi. Padahal, baru selang beberapa bulan dia mengadu nasib ke Arab. Dia juga menitipkan anak perempuannya, Nur, yang saat itu kelas 4 SD, ke saya.
Mbak Satinah adalah bungsu dari enam bersaudara. Orangtuanya, Kuni dan Juradi, sudah almarhum. Keluarga mereka tergolong tak mampu. Tak punya tanah pertanian ataupun kebun, meski kami tinggal di kawasan perbukitan yang subur.
Setelah mendengar Mbak Satinah dipenjara, kami pontang-panting mencari bantuan, tapi tak berhasil. Akhirnya pada 2009 kami mendatangi PT Jamin, perusahaan yang memberangkatkan Mbak Satinah ke Arab. Tapi mereka malah menyalahkan kami. Mereka bilang, kenapa baru lapor tahun 2009.Kami tegaskan, ini kewajiban PT Jamin untuk memantau tenaga kerja yang mereka berangkatkan ke negeri orang. Setelah ramai muncul berita soal nasib TKW di Arab Saudi yang dijatuhi hukum pancung, pada 2011 barulah PT Jamin datang ke rumah dan berjanji akan membantu mengurus nasib Mbak Satinah.
Tahun 2009, ketika berita TKW Ruyati dijatuhi hukum pancung ramai diberitakan, kami juga dikejutkan kabar bahwa Mbak Satinah akan segera menyusul dihukum qisas alias pancung. Kami pontang-panting lagi dan minta pertolongan kepala desa untuk mengecek kebenaran berita itu. Setelah melihat tayangan di teve dan membuka internet, ternyata benar. Keluarga kami pun segera ke Jakarta minta pertolongan Migrant Care.
Berangkat Agar Diampuni
Awal November lalu, berita pemancungan TKW ramai lagi. Kabarnya, Mbak Satinah akan dipancung tanggal 14 Desember. Kelegaan baru muncul ketika Pak Nur dari Migrant Care mengatakan, tanggal 14 Desember merupakan sidang terakhir bagi Mbak Satinah atau batas pembayaran diyat. Bukan pelaksanaan hukuman pancung. Kami merasa masih ada kesempatan untuk minta pengampunan ke keluarga korban.
Penjelasan itu juga saya terima dari Pak Masyur dari pihak Kedutaan RI yang datang ke rumah kami dua pekan lalu. Sementara PT Jamin sampai kini makin tak ketahuan di mana rimbanya. Para pengurusnya pun sudah tak bisa dihubungi lagi.
Nah, karena hukuman qisas belum dilaksanakan, Nur, anak semata wayang Mbak Satinah, dan kakak kandungnya Paeri, yang tak lain suami saya, direncanakan akan diajak Pak Nur dan petugas dari kedutaan untuk menghadiri sidang di sana. Kami berangkat dari Jakarta tanggal 12 Desember. Kehadiran anak dan kakak Mbak Satinah diharapkan mampu membuat keluarga majikannya bisa melihat sendiri kondisi keluarga Mbak Satinah yang amat tak mampu secara ekonomi. Dan agar Mbak Satinah bisa diberi ampunan.
Keluarga Al Ghorib, kata Pak Masyur, mau memaafkan Mbak Satinah asal mau membayar uang diyat (denda yang diwajibkan kepada pembunuh yang dikenai hukuman qisas, dengan membayarkan sejumlah barang atau uang sebagai pengganti hukum qisas karena sudah dimaafkan oleh anggota keluarga korban. Diyat yang dikenakan kepada Satinah bernilai 100 ekor unta, dengan berbagai kriteria, Red.). Bila diuangkan sebesar Rp 25 milyar. Mana mungkin kami mampu membayar diyat sebesar itu?
Kepergian Mbak Satinah ke Arab Saudi pada 2006 itu merupakan kepergiannya yang kedua kali. Pertama, dia jadi TKW tahun 2004, mengikuti keluarga tentara. Gaji yang ia terima diberikan ke Nasruri, suaminya, dengan harapan bisa untuk membiayai hidup suami dan anaknya. Ternyata selama ditinggal kerja di Arab, suaminya malah membawa Nur pulang ke Tegal, kota kelahirannya. Nasruri lalu ke Jakarta dan kawin lagi. Anaknya dititipkan ke budenya Nasruri di Tegal. Praktis, Nur tak terawat dengan baik.
Tahun 2006 Mbak Satinah pulang. Tahu anaknya tak dirawat dan suaminya kawin lagi, ia ke Tegal mengambil anaknya. Menyedihkan, tubuh Nur lusuh, rambutnya kusut, dan pertumbuhan giginya buruk. Dengan sisa uang yang dimilikinya Mba Satinah merawat Nur dengan penuh cinta. Berhubung tak punya apa-apa, rumah juga masih menumpang di rumah kami atau saudara lain, akhirnya Mbak Satinah yang sudah terbiasa merantau, kerja lagi ke Arab dan berharap bisa kembali kerja dengan keluarga tentara dulu itu. Dia memang tipe perempuan pekerja keras. Sebelum jadi TKW, dia biasa merantau ke Jakarta, kerja di pabrik konveksi atau jualan.
Sayangnya, kata Mbak Satinah, majikannya yang tentara sudah dipindah tugas ke Irak. Dia lalu disarankan pulang atau kembali ke KBRI. Mbak Satinah memilih ke KBRI. Di situ pula dia bertemu wanita paruh baya bernama Al Ghorib yang kemudian menjadi majikan barunya.
Dibawa ke Polisi
Namun baru beberapa bulan kerja, katanya, dia sudah sering dianiaya. Tak tahan, Mbak Satinah mengaku kerap melawan dan terjadilah perkelahian sengit. Saat berkelahi, tengkuk majikannya dia pukul dengan gilingan pembuat roti sampai pingsan. Panik, Mbak Satinah bermaksud melapor ke KBRI dengan menumpang taksi. Sambil terburu-buru, dia mengambil ponsel sang majikan.
Rupanya si sopir taksi yang melihat kepanikan Mbak Satinah malah membawanya ke kantor polisi. Saat polisi menelepon ke rumah majikan, Al Ghorib sudah dibawa ke rumah sakit. Selanjutnya, Mbak Satinah diproses hukum dan dijebloskan ke penjara.
Selama menjalani proses hukum, kira-kira Ramadan 2006, kami hilang kontak dengan dia. Kabar Mbak Satinah sudah mendekam dipenjara baru kami terima setahun kemudian. Setelah kami berupaya ke Jakarta untuk mencarikan pengampunan, barulah bisa komunikasi lagi dengannya. Menurut penuturan Mbak Satinah, selama di penjara dia punya kegiatan menjahit dan dapat upah. Uangnya ditabung. Saya berharap Mbak Satinah tak jadi dihukum pancung agar ia bisa berkumpul kembali dengan putrinya, Nur
Dan setiba di Riyadh, Nur dan suami saya menemui Mbak Satinah di penjara selama tiga jam. Mereka didampingi seorang pejabat Kedubes RI, Neni. "Doakan saja aku sehat. Kalau takdirku meninggal di Tanah Air, semua urusan di sini pasti akan lancar. Tapi aku tidak bersalah," begitu kata Mbak Satinah.
Nur dan suami saya juga diajak umrah oleh Bu Neni. Suami saya juga cerita, Mbak Satinah sudah dimaafkan pihak keluarga bekas majikannya. Uang diyat juga sedang dihitung. Kami sudah dapat sumbangan dari Indonesia dan warga Indonesia yang berada di Arab.
Semoga saja Mbak Satinah bisa pulang dengan selamat...
Rini Sulistyati
KOMENTAR