Sebagai penderita skizofrenia, aku punya fantasi yang luar biasa. Gambar-gambar dan halusinasi dalam kepalaku menari-nari liar, hingga kerap membuatku meracau sendiri. Sejak remaja pula aku selalu berusaha menuangkan gambar-gambar fantasi itu di atas kertas. Saat duduk di SMA, kerjaku hanya menggambar saja. Pergi sekolah pun hanya bawa tas kecil berisi buku dan pensil gambar. Perlengkapan lain kusimpan begitu saja di kolong meja di kelas.
Sejak SMA pula, aku bertemu dan berkenalan dengan teman-teman yang pintar mendesain. Kepada mereka, aku belajar mengoperasikan berbagai software desain di komputer. Lama-kelamaan, artwork buatanku rupanya laku dijual. Aku mencetak berbagai desain itu pada mug dan kartu pos, juga menyablonnya ke atas kaos. Beberapa desain kujual putus ke distro-distro yang tengah menjamur. Selain dapat uang dari mendesain, ternyata menggambar membuatku lebih tenang. Semacam terapi, aku rasa.
Bersamaan dengan itu, seorang teman mengenalkan aku ke psikiater Dadang Hawari. Dari dr. Dadang, baru aku tahu, ada penjelasan medis akan kondisi kejiwaanku. Barulah aku tahu nama penyakitku skizofrenia dan bipolar disorder. Dari dr. Dadang pula aku pertama kalinya minum obat anti-depresan. Rupanya pengobatan untuk penyakitku sangat mahal. Aku yang berobat dengan uang sendiri jelas tak kuat. Orangtuaku tak mau membayari.
Seorang teman lain yang juga menderita gangguan bipolar lalu mengenalkan aku ke dr. Hervita Diatri, Sp.KJ. Dokter Vita, begitu aku memanggilnya, sungguh baik. Hingga kini aku masih menjalani perawatan dengannya tanpa membayar sepeserpun. Bahkan dr. Vita juga mau mendatangi orangtuaku, menjelaskan keadaan kesehatanku.
Aku makin aktif berkarya. Tahun 2011, lima desainku dibeli perusahaan korek api Tokai untuk dipasang sebagai kulit mukanya. Korek api collector's item ini dipasarkan ke seluruh Indonesia. Aku juga menjadi freelance graphic designer untuk beberapa free magazine. Setahun belakangan, aku juga mulai melukis di atas kanvas. Rasanya, karya-karyaku makin jujur dan aku mulai terbuka dengan keadaan kejiwaanku. Bahkan, aku tengah menulis sebuah buku psycho-memoar tentang perjuanganku menghadapi penyakit yang kuderita.
Oh ya, aku juga memiliki seorang care-giver, yang membantu aku melewati hari-hari. Ia mengingatkan aku kapan dan dosis minum obat, juga memberi dorongan moral saat aku down.
Bagaimana dengan keluargaku? Jujur, saat ini keadaan sudah jauh lebih baik. Aku kini memilih tinggal terpisah dari keluarga dan indekos di Mampang (Jaksel). Paling tidak dua minggu sekali aku pulang ke Bekasi, rumah orangtuaku. Selebihnya, kuhabiskan waktu untuk bekerja dan kuliah di Universitas Al-Ahzar Indonesia, jurusan Periklanan.
Awalnya memang tak mudah memberi penjelasan tentang skizofrenia dan gangguan bipolar ke Mama dan Ayah. Aku bawakan mereka buku dan artikel dari internet tentang penyakit ini, tak peduli dibaca atau tidak. Aku bilang ke Mama, "Mama pilih memaafkan dan menerima Alfi apa adanya lalu Alfi jadi lebih baik, atau terus menghujat Alfi?" Alhamdulillah, Mama pilih menerima. Karena orangtua sudah menerimaku, aku pun otomatis bisa memaafkan diriku sendiri atas perilakuku dulu. Kami pun saling memahami. Memang, bayangan hitam dan suara-suara itu masih belum sepenuhnya pergi dari kepalaku. Aku masih sering mendadak ketakutan dan mengalami mood-swing tak kenal waktu.
Tapi, setelah bertahun-tahun, aku sudah bisa mengenali tanda-tanda jika akan relaps. Untuk saling menguatkan sesama penderita skizofrenia, aku menjadi anggota KPSI (Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia) dan PJS (Perhimpunan Jiwa Sehat). Kami rajin mensosialisasikan penyakit kejiwaan ini ke masyarakat luas agar tak terjadi diskriminasi kepada para penderitanya.
Astudestra Ajengrastri
Atlet New Balance Triyaningsih Berhasil Taklukan Kompetisi TCS New York City Marathon 2024
KOMENTAR