Kisah tragis lain terjadi di Desa Gedangan, Kec. Diwek, Kab. Jombang (Jatim). Aisyah Febriana (7 bulan), nyaris meregang nyawa di tangan ibu kandungnya sendiri. Namun berbeda dari Kaysa, nyawa Aisyah masih terselamatkan.
Alkisah, Budi Wijaya (30) merasa curiga ketika mendengar tangisan Aisyah begitu kencang dari dalam kamarnya. Bayi montok dan lucu anak kakak iparnya itu tak biasanya menangis sekeras itu. Pagi itu, rumah memang dalam keadaan sepi. Arifin (31), ayah Aisyah, sedang bekerja berjualan sayur di pasar. Aisyah hanya ditemani oleh sang ibu, Nur Inaniana atau Ana, dan neneknya, Nur Sa'adah. Budi sendiri tinggal di sebelah rumah keluarga tersebut.
Kecurigaan Budi bertambah ketika ia tak berhasil membuka pintu depan kediaman Arifin. "Pintunya terkunci dari dalam. Saya lantas lari ke belakang untuk memanggil Ibu Sa'adah supaya masuk ke kamar melalui pintu dari dalam," cerita Budi. Begitu Sa'adah berhasil masuk kamar, Budi mendengar teriakan tertahan. "Setelah saya berhasil masuk, saya lihat pergelangan tangan kiri Aisyah menganga. Tak jauh dari situ, ada gunting dan kain berlumuran darah, sementara Ana berdiri memandangi Aisyah dengan tatapan mata kosong."
Melihat kondisi Aisyah, Budi bergegas melarikan bayi tersebut ke RSUD Jombang, sekaligus melaporkan kejadian tersebut ke polisi. "Tapi karena urat nadi di pergelangan tangannya putus, oleh dokter Aisyah dirujuk ke RSUD Dr. Soepomo Surabaya," ujar Budi. Di RS itulah, Aisyah kini dirawat. Urat nadi yang tadinya terputus untungnya berhasil tersambung kembali.
Tindakan Ana memotong urat nadi putri kandungnya sendiri ini, meski "dipahami" namun tetap saja mengagetkan keluarganya. Keluarga mahfum, sebab Ana memang sudah sepuluh tahun belakangan ini mengalami gangguan kejiwaan. "Tapi selama ini tak pernah sampai melukai anak atau orang lain. Paling kalau sedang kumat dia diam dan menyendiri," cerita Abdul Majid (42), salah seorang kerabat Ana.
Pada tahun 1999 lalu, Ana juga sempat menjadi penghuni Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Menur, Surabaya, karena tiba-tiba menjadi pendiam dan penyendiri. Tapi karena saat itu Sa'adah tak tega melihat Ana terus berada di RSJ, keluarga mengambil Ana kembali dan memutuskan merawatnya di rumah. "Sejak itu, Ana menjalani pengobatan jalan. Sekali-sekali saja dibawa ke dokter," lanjut Majid.
Majid mengaku tak tahu persis apa yang memicu gangguan kejiwaan Ana. Namun yang pasti, "Tahun 1999 itu Ana seharusnya menikah dengan seseorang. Tapi seminggu sebelum pernikahan itu terjadi, entah mengapa malah batal."
Setelah sempat mengalami goncangan batin tersebut, dua tahun lalu Ana dipersunting oleh Arifin, warga desa setempat. "Sebelum menikah, Arifin juga sudah tahu keadaan Ana dia tidak mempermasalahkan," kata Majid yang menambahkan, Arifin masih sangat syok karena kejadian ini.
Akan halnya dengan Ana, sehari setelah kejadian langsung dibawa ke RSJ Menur untuk diperiksa kondisi kejiwaannya. Padahal jika sedang sehat, kata Majid, Ana adalah pribadi yang hangat dan sayang pada Aisyah. "Kalau sedang sehat, saya juga kerap mengajak dia bercanda," imbuh Majid.
Hidup dengan salah seorang anggota keluarga yang memiliki riwayat gangguan kejiwaan tentu tidak mudah. Menurut Ratih Andjayani Ibrahim, psikolog yang juga pendiri Personal Growth, ada beberapa faktor yang bisa membuat seseorang mengalami gangguan kejiwaan. "Di antaranya ada faktor genetik, faktor pola asuh yang merusak, dan juga faktor lingkungan dimana seseorang hidup di sekitar orang-orang yang mengalami gangguan jiwa," ujarnya.
Selain beberapa faktor tersebut, mengonsumsi obat-obatan terlarang atau narkoba juga dapat memengaruhi kejiwaan seseorang. "Istilah awamnya, 'otaknya bergeser'. Maksudnya, susunan kimiawi di dalam otak sudah tidak benar dikarenakan pengaruh obat terlarang yang sedang maupun pernah dikonsumsi orang tersebut," jelasnya.
Jika otak seseorang sudah terganggu, maka perilaku gangguan jiwa akan tampil pada orang tersebut. "Dia merasa mendengar bisikan-bisikan gaib, melihat Tuhan, dikejar-kejar jin atau makhluk halus, atau merasa dirinya adalah nabi (utusan Tuhan, Red.)."
Apabila seseorang mengalami gangguan jiwa atau sudah pernah mengalami sebelumnya, maka orang tersebut harus mendapatkan pengobatan dan perawatan secara berkelanjutan seumur hidupnya. "Pengobatan dan perawatannya tidak boleh terputus-putus karena nanti bisa kambuh lagi penyakitnya," ujarnya. Jika penderita gangguan jiwa tidak dirawat dengan benar, meskipun pernah dinyatakan sehat, gangguan jiwa dapat kembali dialami oleh orang yang bersangkutan. "Suara bising seperti tangisan pun dapat memicu orang tersebut untuk berbuat nekat," katanya.
Agar penderita gangguan jiwa dapat sembuh dan memperkecil kemungkinan penyakit tersebut kambuh, Ratih mengimbau agar semua anggota keluarga berperan aktif memperhatikan dan merawat penderita. "Dan kalau ada keluarga yang mengalami gangguan jiwa, penderita harus segera diperiksa oleh orang yang ahli, dalam hal ini dokter spesialis kesehatan jiwa atau psikiater. Jangan malah dibiarkan atau dibawa ke dukun," pungkasnya.
Henry Ismono, Gandhi Wasono, Renty Hutahaean
KOMENTAR