Setelah akhirnya kami benar-benar bercerai, aku sempat menyampaikan keinginan untuk pulang ke kampung halaman ke Sulawesi Selatan. Tapi mantan suami melarangku tanpa kupahami alasannya. Dia minta aku tinggal di Jakarta, namun tak pernah memberi nafkah padahal aku tidak bekerja. Apa yang dia inginkan sebenarnya? Apakah dia ingin aku makin tersiksa? Karena itulah aku nekat merusak rumahnya.
Total ada lima laporan yang saat ini sedang kuhadapi. Pertama, laporan tertanggal 26 Juni 2008, ketika itu kami masih terikat pernikahan. Aku menemukan ponsel yang hanya berisi satu kontak perempuan saja. Saking marahnya, ponsel itu kubanting. Selanjutnya, aku dilaporkan ke Polsek Pasar Minggu (Jaksel).
Kedua, laporan soal penggelapan sepeda motor ke Polsek Pasar Minggu. Motor itu memang aku bawa. Tapi sebenarnya itu motor milik kami berdua karena termasuk harta bersama. Namun yang membuatku heran, yang membuat laporan adalah teman mantan suami.
Ketiga, laporan penggelapan mobil ke Polda Metro Jaya. Padahal sudah jelas tertulis di putusan cerai, mobil itu diserahkan kepadaku. Anehnya, yang melaporkan penggelapan itu juga teman mantan suami. Saat ini mobil sudah disita Polda Metro Jaya. Keempat, laporan pengrusakan rumah dan kelima laporan pencurian yang keduanya dilaporkan ke Polres Bandung Tengah.
Dua laporan terakhir lah yang membawaku harus menginap di Lapas Wanita Bandung selama 17 bulan. Hidup dalam penjara sungguh tak menyenangkan. Selain harus kehilangan kebebasan, aku harus tidur dengan alas kasur tipis.
Beruntung aku menemukan teman-teman yang baik di dalam penjara. Bahkan hubunganku dengan Kepala Lapas pun terjalin baik. Kupikir-pikir, tak sakit jiwa pun aku sudah bersyukur bisa bertahan di dalam penjara. Tak pernah aku mengalami atau melihat kekerasan fisik di lapas, hanya tekanan psikis saja yang sangat terasa.
Untuk laporan atas pencurian, aku divonis satu tahun penjara. Akan tetapi belum lagi bebas dari kasus yang satu, aku kembali harus menjalani sidang untuk laporan pengrusakan dan dipidanakan lima bulan. Seharusnya aku sudah bisa bebas 14 November 2011 lalu, namun tanpa alasan yang jelas aku baru bisa menghirup udara bebas dua hari kemudian.
Setelah berada di luar penjara, baru sekali aku datang ke rumah mantan suami untuk bisa bertemu anak-anak. Perlu keberanian khusus untuk mendatangi rumahnya, sebab aku tak mau kehadiranku menjadi bumerang lagi buatku, seperti sebelum-sebelumnya.
Aku memaksa diri datang karena pada Juli 2012 anak bungsuku menelepon dan bilang ingin sekali bertemu denganku. Sambil menangis sesenggukan dia bilang, "Mama, aku pengin tinggal sama Mama..." Ketika aku membicarakan makanan kesukaannya, tangisnya makin menjadi. Selain terenyuh mendengar tangisnya, aku pun amat merindukan anak-anak.
Di rumah mantan suami, akhirnya aku bisa bertemu anak-anak. Namun pertemuan kami berjalan kaku dan tidak bebas. Anak-anak juga tampak tidak bisa lepas menumpahkan kerinduannya terhadapku karena terus didampingi mama baru mereka, istri baru mantan suami.
Pertemuan itu tak lama dan aku harus kembali ke Jakarta. Kini aku tinggal bersama seorang kerabat dekat. Sedih, sudah pasti. Oleh karena itu, saat ini aku ingin berjuang demi mendapatkan kembali hak asuh ketiga anakku. Tanpa mereka aku merasa sepi, jengkel, depresi, bahkan sampai pernah ingin bunuh diri.
Perlu waktu lama bagiku untuk bisa bangkit dari keterpurukanku. Beruntung, selain orangtua dan keluarga besar, ternyata masih banyak orang yang peduli dan memberi semangat kepadaku. Di antaranya pengacara terkenal O.C Kaligis, Kak Seto, Ketua Komnas Perlindungan Anak Ariest Merdeka Sirait, dan psikolog anak Tika Bisono.
Saat ini, di PA Jakarta Selatan juga sedang berjalan sidang Aanmaning, yaitu proses teguran terhadap mantan suami untuk menjalankan kewajibannya sesuai keputusan cerai yang dikeluarkan. Jika tak dilakukan, akan ada proses pengambilan paksa anak-anak.
Selain itu, aku juga sudah minta bantuan Komisi Nasional Perlindungan Anak dan melapor ke Divisi Propam (Profesi dan Pengamanan) Mabes Polri. Mantan suami adalah seorang aparat penegak hukum, jadi sepatutnya dia harus memberi contoh yang baik. Aku juga sedang berupaya minta bantuan ke Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Sampai kapan pun aku akan terus berjuang demi anak-anak. Aku belum merasa lengkap sebagai seorang ibu yang baik karena anak-anak tak berada dalam pelukanku. Gagal mempertahankan keutuhan keluarga saja, aku sudah menjadikan anak-anak sebagai korban.
Kendati banyak kekecewaan yang kualami selama ini, aku harus terus berjuang. Aku yakin, suatu saat nanti yang bathil akan lenyap. Aku tak pernah menyesali apa yang sudah terjadi. Pasti ada hikmah di balik semua ini. Dan aku juga yakin, Allah sudah menyiapkan sesuatu yang indah buatku kelak.
Edwin Yusman F.
KOMENTAR