Tak bisa kugambarkan bagaimana rasanya hidup jauh dari anak-anak, Adinda Rizky Amalia (16), Rizqika Aliyya Maharani (14), dan si bungsu M. Rifky Akmal Ramadhan (12). Mereka adalah cahaya hidupku sekaligus penyemangat perjuanganku.
Sudah berbagai cara kucoba merengkuh mereka kembali ke pelukanku tapi dengan beragam cara pula mantan suami, AKBP Enjang, mencoba untuk menjauhkan mereka dariku.
Padahal, ketika aku dan suami bercerai, sesuai isi akta cerai dari Pengadilan Agama (PA) Jakarta Selatan tertanggal 4 November 2008, aku lah pemegang hak asuh anak. Sejak bercerai, aku dan anak-anak sempat tinggal di Jakarta dan mantan suami di Bandung (Jabar).
Namun aku dan anak-anak harus terpisah sejak 2010 ketika mantan suami melaporkanku atas kasus pengrusakan dan pencurian. Sebenarnya, kedua hal itu tak akan terjadi jika mantan suami mau memberikan nafkah sesuai dengan keputusan cerai yang dikeluarkan PA Jakarta Selatan.
Ditangkap Paksa
Sebagai ibu rumah tangga tanpa pekerjaan, ketika itu aku sama sekali tak punya uang. Lalu sekitar Mei 2010 aku dan anak-anak mendatangi rumah mantan suami di Bandung. Sesampainya di sana, aku tak bisa bertemu ayahnya anak-anak. Kami menunggunya dengan menginap di mobil yang kuparkir di depan rumahnya.
Dua hari menginap di dalam mobil, mantan suami yang jelas-jelas ada di dalam rumah tak kunjung membukakan pintu. Kesal, aku nekat melempar kaca rumahnya dengan batu. Selanjutnya, mantan suami melaporkan tindakanku dan anak pertama kami ke polisi atas dasar pengrusakan rumah, ke Polres Bandung Tengah.
Kemudian, pada 6 Juni 2010 kami mendatangi rumah mantan suami lagi. Kami bisa masuk ke dalam rumah. Aku bermaksud ingin mengambil akta kelahiran anak-anak, sementara si sulung mengambil kartu ATM dari dompet ayahnya. Sebenarnya, itu uang anak-anak juga karena rekening tabungannya dibuat ketika kami masih terikat pernikahan.
Dia yang mengetahui tindakan itu, kembali melaporkan aku dan si sulung ke polisi atas tuduhan pencurian. Pada 18 Juni 2010 aku dan anak-anak terpaksa kembali ke rumah mantan suami untuk mengambil baju anak-anak yang tertinggal.
Namun ternyata dia menjebak kami. Aku dan anak-anak ditangkap dan diseret paksa untuk ikut ke Polres Bandung Tengah oleh tiga anggota polisi. Bahkan di hari itu juga, tepat pukul 24.00, aku langsung dibawa ke Lapas Wanita Bandung.
Ketiga anakku tak mau lepas dariku. Mereka kompak menggedor pintu gerbang lapas sambil menangis dan berteriak-teriak memanggil-manggil aku. Duh, peristiwa itu rasanya sudah seperti adegan dalam sinetron drama!
Tindakan kekerasan memang sudah sering kualami sejak usia perkawinan kami baru berjalan empat bulan. Padahal, dulu ketika kami masih berpacaran, mantan suami sangat baik dan bertanggungjawab. Kedua sifat itu pula yang membuat aku jatuh cinta padanya.
Setahun pacaran, 9 Maret 1996 kami pun menikah. Namun tak disangka empat bulan setelah itu perangainya mulai berubah. Tapi aku tetap bertahan dan memaafkan dia, demi rasa cintaku kepadanya. Apalagi sudah ada anak-anak.
Tak ada yang mengetahui apa yang kualami. Termasuk orangtuaku. Kekerasan demi kekerasan aku terima dalam diam. Yang paling parah, aku pernah dijambaknya, bahkan kepalaku dibenamkan ke dalam lubang closet. Akibat jambakannya itu, kepalaku sampai sedikit botak.
Lagi-lagi, rasa sakit yang kurasakan seolah sembuh dengan sendirinya seiring luka di kepala yang ikut mengering. Aku yang memiliki hobi menyanyi akhirnya lebih memilih menyalurkan hobiku. Apalagi para senior anggota polisi di tempatnya bertugas, termasuk pimpinan Polri, sangat mendukung hobiku.
Bahkan pada tahun 2007, oleh mereka aku akan dibuatkan album. Ada delapan musisi hebat yang akan membantu pembuatan albumku ini. Antara lain Yovie Widianto, Pay, Dewiq, Tohpati, Badai 'Kerispatih', Irwan Simanjuntak, Baron, sampai Melly Goeslaw.
Sayang, sebelum album itu dikeluarkan, muncul masalah besar dalam rumah tanggaku. Pada 18 April 2008, akhirnya aku mengetahui bahwa dia memiliki wanita lain. Hubungan kami pun memanas.
Cekcok dan ribut semakin sering terjadi di dalam rumah. Selama tinggal satu atap dengannya, aku makin kerap dipukuli, dicaci, dihina. Bahkan dia tega memukuli aku di depan anak-anak. Dengan enteng pula dia bilang sudah tak cinta lagi.
Aku tak kuat lagi dan memutuskan menggugat cerai pada Juli 2008. Dampaknya, aku mengalami beragam intimidasi. Namun demi anak-anak, pada Agustus 2008 aku mencabut kembali gugatan ceraiku. Kupikir ia mau menerimaku lagi tapi yang terjadi justru sebaliknya, pada 16 Agustus 2008 dia melayangkan gugatan cerai.
Edwin Yusman F. / bersambung
KOMENTAR