Senin (26/11) pagi aku mendapat SMS dari temanku. Isinya menanyakan kebenaran berita anak bungsuku, Aini Junistisia (4), dirawat di rumah sakit. Rupanya ia dapat SMS berantai dari mantan suamiku, Nahnu Hadisaputra, yang mohon dukungan doa karena Junis sedang dirawat di RS Fatmawati, Jakarta Selatan.
Aku yang sudah beberapa tahun cerai dari Nahnu, jelas kaget. Sejak cerai sekitar Maret 2010, kedua anakku, Tiara Amanda (8) dan Junis, memang ikut ayahnya. Sudah dua tahun belakangan ini aku juga tak diperbolehkan bertemu dan komunikasi dengan anak-anak oleh Nahnu.
Kaget, sedih, bingung, itu yang kurasakan. Apalagi, Nahnu tak mengabarkannya langsung kepadaku. Pagi itu juga, aku menanyakan kabar itu ke kakak Nahnu kemudian langsung menuju RS Fatmawati.
Wajah Penuh Luka
Di RS hatiku langsung hancur melihat kondisi Junis yang terbaring lemah tanpa daya. Ia koma! Wajahnya penuh lebam. Dahinya tampak benjol besar. Kedua matanya juga membiru. Di lehernya bahkan ada luka goresan memanjang yang sudah membiru, bekas goresan kuku. Telinganya pun luka-luka.
"Kenapa Junis?" Tanyaku kepada Nahnu yang sedang menjaga anak kami. Jawabnya, Junis jatuh dari tempat tidur saat ia sedang kerja. Saat kejadian, kata Nahnu, di rumah hanya ada dua anakku dan ibu tirinya. Ia juga cerita, sejak dibawa ke RS sehari sebelumnya, Junis sudah tak sadarkan diri.
Dalam hati, aku terus bertanya-tanya. Bila hanya jatuh dari tempat tidur, tak mungkin kondisinya separah itu. Aku langsung berprasangka buruk. Namun yang kuherankan adalah sikap Nahnu. Begitu bodohnya ia mau percaya saja omongan LN, istri barunya. Ah, ia rupanya sudah tak perhatian lagi kepada anak-anak kami.
Jelas aku tak percaya. Aku adalah ibu yang mengandung kedua anakku dan selalu punya ikatan batin yang kuat dengan mereka. Naluriku pun mengatakan, ada sesuatu yang tak beres dengan si bungsu Junis.
Aku lalu menjaga Junis di RS. Aku menunggui Junis dari pagi, sementara sorenya giliran Nahnu dan LN. Semula, tak ada kecurigaanku terhadap LN karena tampak tak merasa bersalah. Bicaranya pun santai sekali. LN sempat kutanya, "Kok bisa, sih, Junis jatuh dari tempat tidur?" Katanya, Junis sedang bercanda dengan kakaknya. Intinya, ia ingin menyalahkan anak-anak. Akan tetapi, terasa ada sesuatu yang mengganjal. LN tampak berusaha menghalangi agar Tiara, si sulung, tak mendekatiku. Tiara juga tampak takut jika dekat.
Terang saja aku makin penasaran. Untuk mendapatkan kejelasan, akhirnya kutanyakan soal sakitnya Junis ke dokter. "Dok, apa benar Junis jatuh dari tempat tidur?" Dokter menjawab, "Itu dia, Bu, kami juga kurang tahu." Ia justru tak percaya dan curiga melihat kondisi Junis. "Bagaimana Bu, apakah masalah ini mau diproses?"
Aku menjawab spontan, "Ya, diproses saja." Maksudku, soal ini dilaporkan saja ke pihak berwajib agar semuanya clear. Begitulah, Selasa itu (27/11), ditemani pihak RS, aku nekat melaporkan kejadian ini ke Polres Jakarta Selatan. Aku memang ingin semua terungkap jelas.
Aku senang sebab polisi segera menanggapi laporanku. Hari itu juga dari RS, LN dibawa ke tempat kejadian perkara (TKP) di rumah kontrakannya, Pondok Aren, Tangerang, lalu dimintai keterangan. Mantan suamiku sempat protes, "Siapa yang lapor polisi? Kamu atau pihak rumah sakit?" Dengan cuek aku jawab, "Mana kutahu?!"
Sambil menunggu hasil pemeriksaan polisi, aku menjaga Junis dengan perasaan cemas. Sepanjang menunggu, tak ada perubahan berarti dari Junis. Ia tetap diam tak sadarkan diri. Aku terus berdoa demi kesembuhannya, membaca salawat dan surat Yassin. Tetap tak ada respons.
Hingga akhirnya Kamis (29/11) sekitar jam 05.30, Junis mengembuskan napas terakhirnya. Ya Tuhan, aku amat sangat terpukul. Dalam hati aku jelas tak rela. Menjelang pemakaman, aku bertemu Nahnu dan kembali kuungkapkan keherananku kenapa ia seolah tak peduli kondisi Junis.
"Kenapa kamu enggak curiga?" teriakku pada Nahnu. Ia membela diri karena sebelumnya Junis pernah jatuh dari meja saat ikut ayahnya ke tempat kerjanya di sebuah usaha komputer. Namun aku tak ingin berdebat lebih panjang dengannya.
Sorenya sekitar jam 16.00, Junis dimakamkan di pemakaman keluarga di Pondok Pinang, Jakarta Selatan.
Cekik & Banting
Penyebab kematian Junis akhirnya terungkap lewat pernyataan anak sulungku, Tiara. Belakangan ia mau bercerita, adiknya kerap dianiaya oleh ibu tirinya. Bahkan, Tiara bertutur, ia sempat disuruh LN membantu mengikat tangan Junis. "Kakak, kok, mau?" tanyaku. Ia mengaku sangat takut kepada LN. Takut diusir jika tak menuruti kehendak LN.
Semula LN tak mau mengakui perbuatannya. Namun setelah diperiksa secara intensif oleh polisi, barulah ia mengungkapkan segalanya. Batinku sungguh teriris mendengar ia menghajar Junis dengan talenan dan mencolok matanya. Pernah pula Junisku ditampar, dibanting, dan dicekik. Astagfirullah...
Siapa yang terima dan rela anak kandungnya diperlakukan sebegitu rupa? Aku pun tidak! LN harus mempertanggungjawabkan perbuatannya! Ia mesti dihukum berat. Aku ingin ia dihukum seumur hidup. Tindakannya begitu sadis. Apalagi terhadap Junis yang masih balita. Andai Junis nakal dan membuatnya jengkel, tak semestinya ia menurunkan tangan jahat.
Alasan yang LN ungkapkan pun, menurutku, tak masuk akal. Junis dikatakan nakal dan sering berantem dengan kakaknya. Misalnya, rebutan makanan. Anak berantem, kan, wajar? Kenapa sampai tega menganiayanya? Apalagi, ia menganiaya Junis di depan mata kakaknya. Sungguh kejam!
Hingga kini aku masih sulit memahami perbuatan LN. Dulu aku justru mengkhawatirkan nasib Tiara yang lebih aktif dibanding Junis. Ternyata justru si pendiam Junis lah yang jadi korban.
Henry Ismono / bersambung
KOMENTAR