Aku yakin, kesedihan dan kekecewaan terlihat jelas di wajah kami berdua saat pihak Lembaga Eijkman mengumumkan hasil tes DNA yang kami lakukan bersama bayi Cello Aditya, Jumat (23/11) silam.
(Saat jumpa pers terkait pengumuman ini, Jaja menangis. Suaranya bergetar dan menjawab pertanyaan wartawan dengan terbata-bata. Sementara Sifa tampak lebih tegar meski tak bisa menyembunyikan kesedihannya.)
Sejak awal bertemu dengan bayi yang diduga Cello, aku yakin ia bayiku yang hilang. Itu sebabnya, meski tes DNA yang kami lakukan pertama hasilnya negatif, kami melakukannya lagi untuk meyakinkan masyarakat. Tes kedua inilah yang kuharap hasilnya positif, sehingga bisa menuntaskan rasa penasaran dan menjawab doa-doa kami, sekaligus mengakhiri penderitaan yang selama ini nyaris membelenggu hidupku. Apa daya, lagi-lagi kekecewaan yang kami dapat.
Sebaiknya kuceritakan saja peristiwa demi peristiwa yang kualami selama ini. Setelah enam bulan "kosong" sejak menikah, akhirnya aku hamil. Saat itu juga aku memilih berhenti dari pekerjaanku sebagai SPG di perusahaan retail di Kelapa Gading. Untuk mengisi kegiatan, aku membantu ibuku yang biasa kupanggil Umi, berjualan di warung di rumahnya di Kampung Mariuk, Desa Ganda Mekar, Bekasi.
Sejak hamil, aku ingin memberi nama bayiku Cello Aditya bila kelak lahir laki-laki. Menjelang kelahiran Cello, tengah malam ketubanku pecah tapi aku tak merasa mulas sama sekali. Karena air ketubanku mulai kering, Rabu (12/9) pagi aku dibawa ke RS Siti Zachroh Bekasi, atas rujukan bidan yang menanganiku. Katanya, di sana biayanya hanya Rp 8 juta. Meski Umi dan Mas Jaja setuju, entah kenapa aku tak mau.
Karena kalah suara, aku pun pasrah. Siangnya, pukul 13.30 Cello lahir. Setelah empat hari di sana, Sabtu (15/9), aku berencana pulang. Saat menunggu kedatangan Umi, aku ke kamar kecil dan menitipkan Cello kepada ibu pasien yang dirawat di sebelahku. Rupanya itulah saat terakhir aku menggendong Cello, karena sejak itu buah hatiku hilang. Ibu dari pasien itu mengatakan, seorang suster berpakaian putih datang mengambil Cello dari gendongannya. Kupikir, Cello akan menjalani pemeriksaan terakhir sebelum pulang. Nyatanya sampai satu jam lebih Cello tak kunjung dikembalikan. Setelah itu, seorang suster memberitahuku, Cello hilang!
Ucapan Ganjil
Aku sempat marah, minta agar suster tak bercanda. Segera aku minta didorong pakai kursi roda ke ruang bayi. Benar saja, Cello tak ada di boks. Aku pun menangis sejadi-jadinya. Pantas saja, kata Umi, tadi ada suster berlari-lari heboh di depan kamarku. Ketika bertanya apa yang terjadi, Umi hanya diberitahu tak ada apa-apa. Kekhawatiranku akan penculikan bayi seperti yang diberitakan di teve, yang baru saja kuutarakan kepada ibu pasien di sebelahku, ternyata jadi kenyataan. Mas Jaja pun syok saat diberitahu soal Cello setibanya di RS.
Ternyata, keamanan RS berlantai tiga itu sangat rentan. Tak ada kamera CCTV dan petugas sekuriti di sana. Yang ada hanya tukang parkir. Sore itu juga, aku bersama Umi, Mas Jaja, serta ayahku lapor ke Polresta Bekasi. Kami didampingi Direktur RS dr. Nurul dan pemilik RS Bu Siti Zachroh. Saat kembali ke RS, polisi dan wartawan sudah berkumpul di sana. Melihat kerumunan itu, seorang perempuan bertanya kepada kakakku apa yang terjadi. Usai dijelaskan, ia mengatakan, di RS itu memang sering terjadi kehilangan bayi tapi tak ada yang berani mengekspos ke media sepertiku.
Sepulang dari Polresta, dr. Nurul yang ikut mendampingi meminta kami pulang saja ke rumah karena di RS banyak wartawan. Aku menolak. Aku tak mau pulang kecuali Cello ikut pulang. Tanpa menghiraukan rasa sakitku akibat operasi sesar, suster mendorong kursi kursi rodaku dengan kasar. Malam itu, kami berempat menginap di RS. Tapi paginya, Umi mengajak pulang agar bisa mencari Cello.
Menjelang pulang, kami dipanggil ke ruang Bu Siti. Selain minta maaf atas kejadian itu, ia bilang seandainya bukan rezeki kami, mungkin Cello sudah berada di tangan orang yang mampu. Kami kecewa sekali mendengar pernyatannya. Lebih kecewa lagi saat ia berujar, kalau sudah rezeki kami, tiga bulan lagi aku bisa hamil lagi. Sebetulnya suamiku saat itu marah sekali mendengar ucapannya, tapi ia tahan. Bukannya memberikan dukungan atau simpati, ucapan Bu Siti malah menyakitkan kami.
Tak hanya itu, ia juga mengancam akan menuntut suamiku bila bicara yang tidak-tidak ke media. Saat itu, kami diam saja. Sampai di rumah, kami makin kesal memikirkan ucapan itu. Tadinya, tak ada niat untuk memberitahu media dan meminta bantuan Pak Arist (Arist Merdeka Sirait, ketua Komisi Perlindungan Anak, Red.). Ucapan Bu Siti yang terkesan ganjil itulah yang membuat suamiku menelepon temannya yang bekerja sebagai wartawan. Kami kecewa karena seolah Bu Siti tahu keberadaan Cello.
Beruntung, Pak Arist sangat responsif membantu. Kehilangan Cello jelas amat menyakitkan. Sejak pulang dari Polresta, yang kulakukan hanya menangis dan bengong. Aku juga tak bisa tidur. Setiap hampir terlelap, seolah terdengar suara tangisan keras Cello di telingaku. Aku kerap terbangun kaget sambil bertanya kepada Umi di mana bayiku, lalu menangis.
Layaknya orang gila, aku tak bisa mengontrol perilakuku sendiri. Membenturkan kepala ke batu sering kulakukan tanpa sadar dan tak terasa sakitnya. Bila ada yang menjenguk, aku pun bisa tiba-tiba tertawa riang. Begitu tamu pulang, aku teringat Cello lagi dan kembali menangis. Tiap kali pandanganku tertumbuk pada mainan, kereta dorong, baju, dan perlengkapan bayi di rumah petak kami yang sudah kusiapkan sejak sebelum Cello lahir, aku menangis. Aku pun tak mau makan dan minum.
Aku selalu membayangkan siapa yang memberi susu Cello, apakah ia kedinginan atau tidak. Sambil tidur, aku pun selalu memegangi botol susu yang pernah digunakan Cello. Itu kulakukan sambil menggendong selimut Cello, seolah-olah ia dalam pelukanku. (Jaja menimpali, ia nyaris tak sanggup melihat kondisi Sifa kala itu.)
Selama 12 hari, hanya begitulah keseharianku. Suatu hari, guru spiritual kakakku menelepon untuk menguatkan mentalku. Dari hasil terawangannya, Cello sehat dan baik-baik saja, katanya. Yang membuat semangatku bangkit, ia berujar Cello akan kembali. Keyakinanku akan pulangnya Cello membuatku bisa menjalani hari-hariku seperti dulu lagi.
Selasa (25/9) malam, dua minggu setelah Cello hilang, aku bermimpi ia dikembalikan kepadaku lewat orang lain. Esoknya, saat Mas Jaja pergi menempelkan foto Cello dan berita kehilangannya di angkot-angkot, pukul 09.00 polisi mengabari ada bayi ditemukan. Aku dan Mas Jaja diminta melakukan tes DNA untuk dicocokkan dengan DNA bayi itu. Sejak Cello hilang, baru pada hari itulah pihak RS Siti Zahroh ada yang datang ke rumah, mengajak kami ke Polresta Bekasi. Sebelumnya, tak pernah ada yang datang, seolah tak ada apa-apa. Suster memang datang, tapi hanya untuk mengganti perbanku.
Akhirnya, bersama polisi kami ke RS Anisa, tempat bayi yang ditemukan itu dititipkan. Pertama melihatnya, Mas Jaja sempat mengatakan itu bukan bayi kami. Kondisi fisiknya jauh dibandingkan Cello sebelum hilang. Bayi itu kondisinya memprihatinkan, beratnya pun hanya 2,6 kg. Sebelum hilang, berat Cello 3,4 kg. Lucunya, saat kami datang ia memandang kami sambil tertawa. Tak lama, ia menangis.
Terempas Dua Kali
Selanjutnya, Mas Jaja mengenali bahwa bayi itu Cello karena suara tangisannya sama dengan tangisan Cello sewaktu ia azani dulu. Sementara aku ingat, bentuk kepala Cello tak terlalu bulat, mirip kepala almarhum ayah Mas Jaja. Bayi ini pun bentuk kepalanya sama dengan Cello.
Setelah diambil sampel untuk tes DNA, kami pun pulang. Selama tiga minggu kami menunggu hasilnya dengan tak sabar. Kami ingin segera membawa pulang Cello. Rupanya belum waktunya kami berbahagia. Hasil tes DNA dinyatakan negatif. Bayi itu bukan Cello. Polisi menawari kami untuk mengadopsinya. Kami bersedia mengasuhnya tanpa syarat karena kami yakin ini Cello. Polisi setuju, lalu Cello kami bawa pulang. Rumah mungil kami kembali hidup dengan keberadaan Cello.
Suara tangisnya, tatap matanya, minum susunya yang banyak, dan gayanya yang minta digendong seolah ia sudah berusia lebih besar, sungguh menggemaskan. Apalagi, kini ia sudah makin gemuk. Jika rewel, cukup kugendong saja dan tangisnya langsung berhenti. Kami benar-benar terhibur olehnya. Semua perlengkapan bayi di rumah pun akhirnya terpakai juga. Dinding rumah kami hias dengan huruf dan angka warna-warni.
Namun untuk memastikan, kami lalu minta second opinion tes DNA. Bukannya kami tak percaya kepada polisi, tapi kami ingin mencari pendapat lain. Dibantu Lembaga Eijkman, kami bertiga kembali menjalani tes DNA ulang (Senin, 19/11). Empat hari kemudian, hasilnya diumumkan di depan wartawan di lembaga itu.
Lagi-lagi, perasaan kami terempas. Setelah empat minggu Cello bersama kami, hasil tes DNA kembali negatif. Sebab, 8 dari 20 marka STR yang digunakan dalam tes DNA milik Mas Jaja tak cocok dengan milik si bayi. Ketidakcocokanku malah 9 marka. Padahal, 3 marka saja tak cocok, berarti kami tak punya hubungan biologis dengannya. Kami syok.
Tetap Menuntut
Namun sebelum hasil ini keluar kami sudah bertekad, andai ternyata bayi ini bukan Cello, kami akan tetap mengasuh dan membesarkannya seperti anak kami sendiri. Kami menganggapnya pengganti Cello. Karena itu, Cello Aditya tetap kami gunakan sebagai nama bayi ini. Kami sudah sangat menyayanginya seperti anak sendiri.
Kendati demikian, bukan berarti kasus ini selesai secara hukum. Kami tetap mendatangi Polresta Bekasi, meminta pencarian Cello dilanjutkan. Kami juga akan mengurus proses adopsi di pengadilan agar sah secara hukum. Tak lupa, kami akan menuntut RS Siti Zahroh untuk bertanggung jawab secara hukum atas kelalaiannya sehingga Cello hilang. Kami menuntut agar Cello dikembalikan.
Sementara itu, biarlah kami berbahagia dengan pengganti Cello...
Hasuna Daylailatu / bersambung
KOMENTAR