"Yang mana di antara kalian yang bernama Malala?" teriak seorang pria Taliban setelah menghentikan sebuah bus sekolah penuh berisi para remaja putri. "Katakan atau saya tembak kalian semua!"
Selasa (9/10) siang itu, Malala dan teman-temannya dalam perjalanan pulang dari sekolah yang terletak di Peshawar menuju Swat Valley (kota kediaman mereka di Pakistan, Red.) ketika di tengah perjalanan, tepatnya di sebuah kota bernama Mingola, sekelompok pria bersepeda menghentikan bus yang mereka tumpangi. "Seorang pria yang mengenakan topeng mengarahkan moncong senjatanya ke kami, sementara pria lain terus berteriak, 'Di mana Malala?'," cerita Shazia Ramzan kepada Owais Tohid, jurnalis Pakistan yang menulis untuk BBC Urdu, seperti dilansir dari www.csmonitor.com.
Setelah mengenali wajah Malala, sang pria bersenjata menembakkan pelurunya ke arah kepala gadis itu, menembuskan timah panas ke bagian leher yang kemudian bersarang di pundak Malala. Dua teman Malala lain ikut terluka, Shazia satu di antaranya. Nyawa ketiga gadis tadi selamat, namun Malala terkapar dalam keadaan kritis.
Sopir bus segera melarikan Malala ke sebuah rumah sakit di Peshawar, dan ia harus segera menjalani operasi sepanjang tiga jam untuk mengeluarkan peluru tadi. Sayang setelah upaya penyelamatan itu, raga Malala tak responsif selama tiga hari.
Peristiwa ini membuat dunia tersentak. Lewat sehari setelah kejadian itu, tawaran untuk merawat Malala hingga pulih datang dari berbagai negara. Pada tanggal 15 Oktober, Malala diterbangkan ke Queen Elizabeth Hospital di Birmingham, Inggris, untuk menjalani proses penyembuhan. Setelah sengaja dibuat koma agar para dokter bisa merawat bagian otak Malala secara intensif, ia berangsur-angsur membaik. Bagaikan keajaiban, peluru tak mengenai sedikit pun otak blogger cilik yang mendunia ini. Senin (8/11) lalu, foto Malala sedang duduk sambil membaca buku beredar di berbagai media, salah satunya adalah kantor berita CNN.
Namun perjalanan Malala untuk pulih seperti sedia kala masih jauh. Jika sudah cukup kuat, Malala masih harus menjalani serangkaian operasi untuk membetulkan tengkorak dan tulang rahangnya yang pecah akibat terjangan peluru. Dari balik ruang perawatannya, Malala hanya punya satu permintaan khusus. Ia ingin dibawakan buku-buku sekolahnya agar tetap bisa belajar selama berada di RS. Pendidikan rupanya selalu jadi yang utama bagi Malala.
Nama Malala Yousafzai mulai dikenal dunia setelah ia menulis jurnal harian di blog milik BBC Urdu. Saat itu Malala masih berusia 11 tahun, namun tulisan putri Ziauddin, seorang pemilik sekolah khusus perempuan di Swat Valley ini sangat lugas dan tegas, terutama jika menyangkut pendidikan. Sebagai anak perempuan, ia merasa Taliban merampas haknya untuk mendapatkan pendidikan. Taliban yang menduduki Swat Valley sejak tahun 2008 memang melarang penggunaan televisi, musik, dan pendidikan bagi anak perempuan. Ultimatum lalu dijatuhkan oleh pihak Taliban, seluruh sekolah khusus perempuan harus ditutup pada tanggal 15 Januari 2009.
Dalam blog yang di-posting mulai tanggal 3 hingga 15 Januari 2009 ini, tergambar jelas kegundahan hati Malala menghadapi hitung mundur penutupan sekolahnya. Di sekolahnya sendiri, semakin sedikit siswi yang datang untuk belajar. Kebanyakan tak muncul ke sekolah karena dilarang oleh keluarga yang takut terhadap ancaman Taliban.
Untuk menjamin keamanan Malala, ia menggunakan nama pena 'Gul Makai' dalam blog-nya. Nama yang dalam bahasa Indonesia berarti 'Bunga Jagung' itu diambil dari cerita rakyat masyarakat Pashtun. Untuk mengisi diary online ini, seperti yang diberitakan oleh harian The New Yorker, Malala harus menulis di atas kertas. Kertas itu kemudian diserahkannya kepada reporter BBC Urdu yang kemudian menyalin dan mengirimkan tulisan itu ke kantornya melalui surel.
Mirza Waheed, mantan editor BBC Urdu mengungkapkan, "Kami selalu memberitakan keadaan politik dan kekerasan di Swat secara detail. Tapi kami tak pernah tahu seperti apa kehidupan masyarakat di sana, di bawah rezim Taliban."
Maka Mirza kemudian menanyakan kepada Ziauddin apakah ada salah satu muridnya yang bersedia menulis blog untuk BBC Urdu. Mulanya seorang gadis bernama Aisha bersedia, namun batal karena orangtuanya takut terhadap reaksi Taliban. Malala yang kala itu berusia empat tahun lebih muda dari Aisha diberi mandat untuk menggantikan tempatnya.
Tulisan-tulisan Malala membuka mata dunia. Segera, namanya menjadi pembahasan di berbagai media. Sehari sebelum hari penutupan paksa sekolahnya, Malala menuliskan di dalam blog bahwa ia sempat membaca koran lokal yang menulis berita tentang blog-nya. "Seseorang bercerita kepada Ayah tentang blog ini dan dia bilang betapa bagusnya tulisan Gul Makai. Ayah, yang harus merahasiakan identitasku, hanya bisa tersenyum tanpa dapat mengatakan bahwa putrinya lah yang menulis semua itu."
Ketajaman pikiran Malala di usia yang masih teramat muda ini bisa jadi merupakan hasil didikan keras Ziauddin, seorang aktivis pendidikan di Swat Valley. Adam B. Ellick, jurnalis yang mendokumentasikan kehidupan keluarga ini di tahun 2009 menyebut, "Dulu Malala adalah gadis yang sedikit pemalu dan penurut. Namun kini ia berkembang menjadi remaja yang pemberani," tulisnya dalam kolom berjudul My 'Small Video Star' Fights for Her Life untuk www.nytimes.com.
Untuk film dokumenter berjudul Class Dissmissed ini, Adam mengikuti Malala dan ayahnya selama enam bulan. "Setelah itu, keluarga Ziauddin menjadi keluarga bagi saya," tulis Adam yang juga menyebutkan, Malala adalah anak yang sangat spesial di mata sang ayah. "Sering kali dia membiarkan Malala duduk bersama kami hingga larut malam untuk membicarakan falsafah kehidupan dan politik."
Inilah yang membuat Malala jauh lebih dewasa ketimbang remaja lain seusianya. "Jangan tertipu oleh suaranya yang lembut, karena dia bisa jadi sangat keras kepala dan teguh pendirian," lanjut Adam.
Malala, sebut Adam lagi, adalah gadis yang haus akan ilmu dan pengetahuan. Karena itulah ketika Taliban merampas haknya untuk mendapatkan pendidikan, hatinya hancur berkeping-keping. Dalam Class Dissmissed, Malala menangis terisak-isak setelah mengungkapkan cita-citanya menjadi seorang dokter. Sebuah cita-cita yang tak akan pernah terwujud bila akses pendidikan baginya ditutup.
Namun di akhir film itu, Malala mengaku mengganti cita-citanya. Ia tak lagi ingin menjadi seorang dokter, ia ingin menjadi politisi agar bisa mengubah Swat Valley dan Pakistan yang ia cintai ke kondisi seperti semula. Sebelum diduduki Taliban dan menjadi medan perang antara Taliban dan militer Pakistan, Swat Valley adalah daerah pegunungan yang damai dan indah. Konon, dulu Swat Valley disebut seperti surga karena keindahannya.
"Ya, aku berubah pikiran. Sekarang aku melihat politik sebagai sesuatu yang sangat penting. Orang harus bisa memperjuangkan hak mereka dan politik adalah salah satu cara untuk melakukannya. Aku akan menjadi politisi dan membuat Pakistan menjadi negara yang lebih baik," ujar gadis cilik yang belakangan telah mencuri hati seluruh dunia ini.
(bersambung)
Ajeng / Dari Berbagai Sumber
KOMENTAR