Aku sudah mengenal Ar sejak masih bersekolah di SMA Sumbangsih, Jakarta. Kebetulan dia kakak kelasku. Selanjutnya, ketika aku kuliah di STIE International Business Management Indonesia (IBMI) Jakarta, Ar kuliah di Universitas Pancasila.
Kami bertemu lagi dalam sebuah acara reuni SMA pada 2001. Sejak itu kami mulai dekat dan berpacaran. Enam bulan pacaran, sikap Ar memang sudah aku rasakan agak aneh. Dia sering mengancamku saat meminta uang.
Tak hanya minta uang, Ar juga memaksaku melakukan hubungan badan sementara kami belum menikah. Aku sempat menolak permintaan itu dan ingin putus darinya. Sebagai orang beragama, aku enggan memenuhi permintaanya dan hanya ingin melakukan hubungan intim setelah menikah.
Tapi dia terus memaksa bahkan mengancam akan menghabisi nyawaku. Karena takut dan dia juga berkata akan bertanggungjawab, akhirnya aku pasrah memberikan kehormatanku kepadanya di sebuah hotel. Akibat perbuatan itu, aku pun hamil.
Semula aku tak mau mengakui ke orangtuaku, hingga kemudian kakak perempuanku bertanya mengapa aku tak kunjung datang bulan. Karena terus didesak, akhirnya kuceritakan semuanya kepada kakakku. Kakakku pula yang mendesakku agar berterus terang kepada orangtua soal kehamilanku. Orangtua mana yang tidak syok mendengarnya. Terlebih Papaku seorang haji. Ya, aku sudah mencoreng nama baik keluarga karena hamil sebelumm menikah.
Bawa Pacar
Papaku lalu memanggil Ar untuk mencari jalan keluar bersama. Ar ketika itu menyampaikan keinginannya untuk bertanggung jawab. Setelah disepakati, kami pun menikah ketika aku sudah melahirkan dan anak kami, Ax, berusia 1 tahun. Soalnya, di tahun 2002, salah seorang kakak Ar menikah dan menurut adat kami tak baik bila kami pun menikah di tahun yang sama.
April 2003 aku menikah dengan Ar. Kami lalu tinggal di rumah orangtuaku. Sejak menikah, perilakunya bukan membaik tapi justru makin kasar. Ar mulai berani memukulku sampai biru-biru, terutama bila aku melakukan sesuatu hal yang dianggapnya tidak berkenan.
Sempat pula di tahun itu aku melaporkan perbuatannya ke Polres Jakarta Selatan dan melakukan visum. Ar pun dipanggil polisi tapi tak ditahan dan kami diminta berdamai saja. Kami kemudian memutuskan berdamai karena Ar berjanji tak akan lagi mengulangi perbuatannya. Memang, Ar tak selalu berbuat jahat kepadaku, makanya aku percaya dia bisa berubah.
Ya, sejak dilaporkan ke polisi, Ar memang sempat berubah dan sikapnya menjadi lebih baik. Meskipun kadang masih saja ada tindakannya yang kasar. Sampai kemudian Papaku meninggal dunia di tahun 2006. Perilaku Ar yang baik perlahan menghilang. Sikap kasarnya justru semakin menjadi-jadi. Bahkan Mamaku pernah dipukul dan disiksanya. Padahal, ketika itu Mamaku dalam keadaan sakit, pasca terkena serangan stroke. Bayangkan saja, Ar pernah berani menyabet Mamaku dengan kabel komputer beberapa kali sampai berdarah-darah.
Namun sayangnya aku dan kakakku tak ada yang berani melapor ke kerabat dekat ataupun polisi. Alasannya, kami takut pada ancaman yang dilontarkan Ar. Kakakku juga sebetulnya tak tahan melihat perilaku Ar, sampai akhirnya ia memilih hidup di kamar indekos.
Pada tahun 2011, akibat penyakitnya, Mamaku meninggal dunia. Anehnya, ketika itu sikap Ari kembali menjadi baik. Tetapi tak lama. Bahkan Ar kembali berani main perempuan. Aku tahu, dia bahkan sampai mendaftar ke sebuah biro jodoh untuk mendapatkan pasangan. Entah sudah berapa kali dia berganti-ganti pacar. Yang membuat hatiku makin hancur, dengan beraninya dia mengajak pacar-pacarnya itu ke dalam rumah, sampai dua kali!
Oh ya, Ar bekerja di sebuah perusahaan sebagai manajer keuangan dan gajinya lumayan besar. Tapi asal tahu saja, dia hanya memberiku uang bulanan sebesar Rp 600 ribu untuk uang dapur, pengeluaran rumah tangga, sampai biaya sekolah anak-anak. Mana cukup uang segitu untuk menutupi biaya bulanan kami? Oleh karena aku tak punya uang lebih untuk menutupi biaya sekolah si sulung, Ax (12), aku memutuskan untuk mengadu dan minta bantuan ibu mertua. Syukurlah, ibu mertuaku mau memberikan uang untuk sekolah anak-anak. Tentu saja hal ini tak aku ceritakan kepada Ar. Karena aku tahu, dia akan marah dan menghajarku habis-habisan.
Tanggal 16 September 2012, Ar memutuskan pindah kerja. Namun tak lama kemudian ia diberhentikan dari perusahaan barunya. Aku tak tahu apa masalahnya. Yang jelas, sejak itu tindakan kasarnya semakin menjadi-jadi. Kesalahan kecil saja bisa membuat dia kalap.
Dulu, sebetulnya aku sempat bekerja. Tetapi setiap aku pulang kerja agak malam karena ada rapat di kantor, Ar selalu marah. Tak tanggung-tanggung, dia tega menendang tulang rusukku dan menyuruhku berhenti kerja. Demi kelangsungan rumah tangga kami, aku pun mengalah dan memutuskan berhenti kerja. Selanjutnya, setelah Ar tak punya pekerjaan, dia menjual mobil kami. Sebenarnya itu mobil pribadiku, namun dia memaksaku untuk mengganti nama kepemilikan mobil di BPKB dan STTNK dengan namanya.
Mobil itu dijualnya seharga Rp 100 juta. Uangnya sempat dipakai untuk membayar biaya sekolah Ax dan berekreasi ke Anyer. Sisa uangnya, aku tak pernah tahu untuk apa. Tak hanya mobil yang dia jual, uang tabunganku pun ludes diambilnya.Sampai kemudian aku dan kakakku berencana ingin menjual rumah peninggalan orangtua di kawasan Sawangan, Depok (Jabar) yang kami tinggali ini. Ar yang mendengar rencana itu langsung mengajukan permintaan bagian uang dari hasil penjualan rumah kami.
Anehnya, Ar merasa jika rumah itu sudah dijual, aku akan meninggalkan dirinya. Karena itulah dengan segala cara Ar bisa menguasai surat-surat rumah kami. Sayangnya, lagi-lagi aku dan kakakku tak bisa berbuat apa-apa untuk menghadapi Ar. Aku dan kakakku takut perangai kasar Ar akan mencelakai kami.
Edwin Yusman F / bersambung
Atlet New Balance Triyaningsih Berhasil Taklukan Kompetisi TCS New York City Marathon 2024
KOMENTAR