Sehari setelah peristiwa penembakan yang mengerikan itu, kediaman Lenny dan Harjo di Kompleks Permata Hijau 2, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, tampak sepi. Pagar besi tinggi di halaman rumah bercat putih itu tertutup rapat. Begitu pun dengan Toko Sinar Jaya, toko kelontong milik Lenny dan Harjo yang terletak di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Biasanya, toko ini ramai oleh pembeli. Namun Rabu (23/10) lalu, tak ada tanda-tanda kehidupan dari dua tempat tersebut.
Hari itu, seluruh penghuni rumah dan karyawan toko sudah berkumpul di Ruang K-L, Rumah Duka Atma Jaya, Pluit, Jakarta Utara, sejak pagi. Setelah proses otopsi di Rumah Sakit (RS) Fatmawati selesai, jenazah Lenny memang segera disemayamkan di rumah duka tersebut.
Di salah satu pojok ruangan yang masih tampak lengang itu, tampak keluarga Lenny bertangis-tangisan. "Kalau meninggalnya karena sakit, mungkin kami rela. Tapi ini, kan, dibunuh," seru seorang wanita paruh baya histeris. Suaranya menggema hingga ke seluruh ruangan.
Ditembak di Keramaian
Harjo, suami sekaligus saksi kunci peristiwa penembakan Lenny, juga masih terlihat syok. Meski begitu, ia tampak sibuk. Seharian itu, ia mesti bolak-balik dari ruang K-L yang terletak di lantai 2 ke ruang administrasi yang berada di lantai 1 Rumah Duka Atma Jaya. Ia juga yang memesan peti untuk upacara penghormatan terakhir bagi sang istri yang sudah dinikahinya selama 19 tahun tersebut.
Di sela-sela kesibukan itu, Harjo bersedia menerima beberapa awak pers yang sudah sejak pagi menunggu. Kepada para wartawan, Harjo mengaku tak mengerti apa yang membuat pelaku tak dikenal tersebut menembak Lenny. Malam nahas itu, "Kami sedang ngobrol biasa saja di dalam mobil," tutur Harjo menerawang. Seperti malam-malam biasanya, Selasa (23/10) pukul 19.30 itu, keduanya hendak pulang ke rumah setelah seharian berada di toko.
Ketika mobil yang mereka kendarai sampai di Jalan Raya Cidodol, "Tiba-tiba ada dua motor memepet mobil kami. Satu motor melaju dari sebelah kanan, satu lagi dari kiri," ujar Harjo yang awalnya mengira para pengendara motor tersebut tengah bertikai. Tak tahunya, "Motor yang dari kanan itu langsung berhenti di depan mobil. Pemboncengnya turun, langsung cabut senjata dan mulai menembak."
Terang saja Lenny dan Harjo panik. Apalagi, sekilas Harjo melihat pengendara motor di sebelah kiri juga membawa sebuah golok. "Sepertinya untuk memecahkan kaca mobil."
Entah kepada siapa dua tembakan pertama tadi ditujukan. Yang jelas, peluru tak mengenai Harjo maupun Lenny. Dalam keadaan panik dan ketakutan, Lenny menyuruh Harjo memacu mobil mereka. Namun karena keadaan lalu lintas cukup padat, Harjo mengaku tak bisa segera ngebut. Tak sampai beberapa detik setelah itu, peluru ketiga dimuntahkan. Kali ini timah panas menghujam tubuh Lenny. "Saya dengar istri saya bilang, 'Aduh, kena.' Saat saya menengok ke arahnya, darah sudah keluar," lanjut Harjo yang segera memutar kemudi ke arah RS terdekat, yakni RS Medika, Permata Hijau.
Sepanjang jalan menuju ke RS Medika, hati Harjo berdebar keras. Apalagi saat sesekali menengok keadaan sang istri, "Darahnya sudah semakin banyak yang keluar. Dia (Lenny) juga sudah tidak bersuara lagi." Harjo bahkan tak sempat berpikir untuk mengingat plat nomor kedua sepeda motor yang belakangan diperkirakan sudah menanti mobilnya lewat. "Kejadiannya begitu cepat. Keadaannya juga gelap jadi saya tak bisa melihat dengan jelas," kata Harjo terbata-bata.
Tiba di RS Medika, nyawa Lenny tak tertolong lagi. Jenazah lantas dikirim ke RS Fatmawati di Jakarta Selatan untuk keperluan otopsi. "Dari hasil otopsi, saya baru tahu bahwa satu peluru mengenai punggung Lenny, tembus hingga ke leher," kata Harjo lirih.
Hingga kini, Harjo masih tak habis pikir apa yang mendorong para pengendara motor tersebut menembaki mobilnya. Yang jelas, "Rasanya mereka tidak berniat merampok karena dari awal tidak meminta barang apa-apa," tukas Harjo sembari menambahkan tak ada barang berharga di dalam mobil boks Mitsubishi mereka.
Jika motif para pelaku adalah dendam pribadi, Harjo pun sudah sampai lelah mengais-ngais ingatan, apakah ia dan istrinya pernah membuat orang lain sakit hati. "Rasanya, kok, tidak ada berselisih dengan orang lain," ujarnya masygul.
Terlebih Lenny, menurut Harjo, adalah pribadi yang tak punya musuh. "Dia orangnya tidak suka ribut-ribut. Kalaupun motifnya adalah persaingan bisnis, sepertinya tidak juga. Di Kebayoran Lama, hanya ada beberapa toko sejenis dan sama-sama sudah lama di situ," tukas Harjo. Toko Sinar Jaya sendiri, ungkapnya, sudah berdiri sejak sekitar 20 tahun yang lalu.
Setiap hari, pasangan ini datang ke toko untuk bekerja. Toko kelontong Harjo menjual berbagai peralatan rumah tangga, dari dispenser, kipas angin, hingga barang pecah belah seperti piring dan sendok. "Ya, setiap hari Lenny menemani saya menjaga toko. Dia wanita yang biasa-biasa saja. Beberapa hari terakhir juga tidak ada yang aneh. Biasa saja," katanya lirih.
Dari toko Sinar Jaya ini pula, Harjo dan Lenny menghidupi tiga orang anak lelaki mereka, Andrew Budiarta (18), Willy Budiarta (17), dan Edward Budiarta (12). Si sulung saat ini sedang menempuh studi lanjutan di sebuah universitas di San Fransisco, AS. Sementara kedua adiknya adalah siswa sekolah menengah Bina Nusantara, Jakarta. Andrew, sebut Harjo, baru dua bulan lalu berangkat ke AS. "Saya menyampaikan kabar duka ini melalui telepon. Ya, dia hanya bisa menangis," kata Harjo.
Kepergian Lenny memang seakan tanpa pesan. Tak ada firasat, lebih lagi pesan-pesan terakhir yang dititipkan kepada ketiga putra mereka. "Semua terjadi terlalu cepat," bisik Harjo dengan airmata tergenang.
Astudestra Ajengrastri / bersambung
KOMENTAR