"Mama, aku kuat. Aku tegar..." Itu ucapan Afriyani Susanti (30) begitu turun dari mobil tahanan di Rumah Tahanan Pondok Bambu usai diputus 15 tahun, Rabu (29/8) lalu. Ani, begitu Afriyani dipanggil oleh keluarganya, langsung menghampiri Ermita, sang tente yang sehari-hari dipanggilnya Mama.
Padahal di ruang sidang, begitu hakim mengetukkan palu Ani tampak tertunduk dan syok. Wanita bertubuh tambun ini langsung dipapah dan dilarikan lewat pintu belakang oleh petugas guna menghindari amukan keluarga korban. "Ani anaknya memang begitu. Tak mau keluarga ikut sedih," tandas Ermita, Kamis (30/8) siang.
Usai Ani diputus, hanya Ermita yang menemuinya di Pondok Bambu. Pasalnya, Yurneli (51), ibunda Ani, sangat syok dan sempat pingsan. "Bunda tak menyangka Ani akan mendapat hukuman selama itu. Tapi sekarang kondisinya sudah membaik." Bunda adalah panggilan Yurneli di keluarganya.
Tak banyak yang dilakukan Ermita ketika bertemu keponakannya hari itu. "Kami hanya ngobrol yang ringan-ringan saja. Tak membahas soal putusan itu. Apalagi waktu kami sangat terbatas," jelas Ermita. Yang pasti, Ani maupun keluarganya belum memutuskan apakah akan mengajukan banding atau tidak.
Keputusan itu akan diserahkan kepada Ani. "Mungkin hari Sabtu ini diputuskan. Soalnya kami harus membicarakan masalah ini dengan Bunda dan saudara-saudara Ani yang lain. Namun semua kami serahkan ke Ani. Biasanya tiap Sabtu kami besuk ramai-ramai," kata Ermita yang sedikit heran kenapa pihak keluarga korban seakan-sekan membenci Ani dan keluarganya. "Padahal selama ini hubungan kami baik. Kalau ketemu biasa saja, bahkan saling cipika-cipiki."
Bahkan, lanjut Ermita, pria yang saat sidang berteriak-teriak merasa tidak puas, dua hari menjelang Lebaran lalu sempat datang menemui Yurneli. "Ya, kami selalu menyambut baik. Bahkan saat pulang kami bawain minyak wangi," tandas Ermita yang mengira sikap permusuhan itu timbul karena ada pihak yang sengaja memanas-manasi.
Di akhir sidang Rabu (29/8) silam, suasana memang menjadi sedikit ricuh. Sebelum ketua majelis hakim, Antonius Widyatono mengetuk palu, Mulyadi yang semula duduk di belakang langsung menerobos ke bangku tengah. Sambil menunjuk-nunjuk hakim, ayah dari Buhari (17), salah satu korban yang meninggal akibat kecelakaan itu, berteriak lantang hukuman 15 tahun itu tidak adil. "Harusnya dihukum 20. Kalau perlu hukuman mati!" kata Yadi.
Alhasil, pria berkepala plontos ini langsung digiring polisi ke luar ruangan sidang. Namun "protes" Yadi segera disusul oleh keluarga korban lainnya. Sidang pun menjadi makin riuh. Ketukan palu Widyatono tak terdengar, tenggelam oleh kerasnya teriakan para keluarga korban. Di luar ruang sidang, kegaduhan berlanjut. Kali ini mereka mengejar mobil tahanan yang bakal ditumpangi Ani menuju Rumah Tahanan Pondok Bambu. Berkat pengawalan puluhan polisi, akhirnya mobil tahanan tersebut lolos dari hadangan para keluarga korban.
Sejak sebelum sidang putusan dijatuhkan, Yadi memang mengaku akan kecewa jika Ani dijatuhi hukuman di bawah 20 tahun. "Pokoknya minimal sesuai tuntutan jaksa. Kalau perlu hukuman mati, karena perbuatannya sudah menghilangkan banyak nyawa," jelas Yadi.
Keyakinan Yadi dirasakan karena selama persidangan Ani telah terbukti mengonsumsi narkoba sebelum menyetir. "Ini untuk pelajaran bagi semua orang. Mengonsumsi narkoba sangat membahayakan orang lain," tambah Yadi yang selama ini mengaku tak ada komitmen apa-apa dengan keluarga Ani. "Tak ada perdamaian dengan mereka."
KOMENTAR