(Mata Afriyani berkaca-kaca) Tiap saya cerita kepada orang lain bahwa saya sangat amat merasa bersalah, mereka tak pernah bisa mengerti seperti apa rasanya. Seandainya saya bisa copot hati ini dan saya berikan, mereka pasti tahu apa yang saya rasakan (Afriyani mulai terisak).
Saya tak bisa jelaskan. Yang jelas, saya itu salah banget! Salah... Saya tidak mau memutar waktu karena apa yang terjadi kepada kita sudah jauh hari dituliskan Yang Maha Kuasa. Mungkin tanpa kejadian ini saya tidak akan pernah kembali ke jalan Allah. Saya hanya berusaha terus berdoa supaya tenang menjalani dengan baik semua hal ke depannya.
Adakah hal-hal yang dirindukan?
Ternyata saya tak rindu apa pun. Ketika saya rindu keluarga, Bunda dengan senang hati datang dan mendukung. Ketika rindu sahabat, mereka juga selalu ada. Ketika rindu berdiskusi, ternyata saya dapat teman diskusi yang hebat di dalam rutan. Jadi, hanya raga saya saja yang terpenjara, tapi pikiran dan jiwa saya tidak. Tidak ada yang membuat saya merasa kehilangan.
Rindu ada, tapi dibanding dulu dengan kegiatan saya yang menyita waktu, semua yang saya jalani sekarang jauh lebih baik. Contohnya, dulu saya ketemu Bunda paling dua jam dalam sehari. Dulu saya cuma cium tangan saat pamit sama Bunda, sekarang selalu peluk. Dulu, tiap saya pulang, Bunda sudah tidur. Saya bangun, Bunda sudah berkegiatan di luar rumah. Juga jarang ketemu kakak dan adik-adik. Dengan kejadian ini saya lebih intens bertemu mereka. Soal kerjaan dan karier, ya, sudahlah. Itu semua kuasa Allah. Dulu apa yang saya punya saya sia-siakan. Sekarang saya tak mau kehilangan lagi waktu bersama Bunda, bersama keluarga.
Bagaimana kesiapan Anda tiap menghadapi persidangan?
Ada kunjungan dari keluarga dan pengacara untuk persiapan tapi tidak terlalu detail bicara soal kasus. Saya pribadi akhirnya menerima rutinitas harus menjalani persidangan. Jujur, tiap datang sidang saya sangat takut (mata Afri kembali berkaca-kaca). Rasa ketakutan ini akhirnya membuat saya kembali lagi memohon dan pasrah pada Allah.
Takut apa?
Segala tekanan dan makian di persidangan, jujur bikin saya syok dan takut. Saya hanya bisa yakini tidak ada yang lebih besar dari kekuatan Allah. Jadi, rasa takut itu yang membuat saya terus berdoa mencari kekuatan.
Saya juga ingin sekali bisa bicara langsung dengan keluarga korban, memohon maaf kepada semuanya. Untunglah akhirnya ada kesempatan itu. Ketika salah satu dari mereka bersaksi di sidang, saya langsung sampaikan permohonan maaf. Sebelum itu memang tak pernah bisa karena polisi selalu bilang demi alasan keamanan. Tapi saya mengerti reaksi keluarga korban. Kalau jadi mereka, mungkin saya juga emosi. Saya selalu bilang sama Bunda, kakak, dan adik agar terus sabar. Ketika ada amarah, jangan terpancing.
Jika nanti ada kesempatan bertemu keluarga korban lagi, apa yang ingin disampaikan?
KOMENTAR