Apa saja kegiatan selama ini?
Saya mengisi waktu dengan kegiatan agama di masjid rutan dan puasa Nabi Daud. Saya juga tetap aktif menulis. Hal apa saja yang menarik, saya tulis di kertas. Kalau dijenguk sahabat, saya berikan tulisan saya untuk dia ketik di komputer agar tak hilang. Begitulah saya menyalurkan kreativitas. Ada, sih, pikiran bikin buku atau script di dalam penjara tapi insya Allah nanti saja setelah semua selesai. Untuk saya, pikiran harus terus diasah dengan banyak diskusi, baca buku, ikut perkembangan berita lewat teve atau koran.
Saat ini saya harus fokus memprioritaskan persidangan. Padahal, dulu sebelum kejadian, saya tidak seserius seperti sekarang. Memang banyak sekali perubahan yang saya rasakan dari kejadian ini.
Misalnya?
Dulu saya tidak punya banyak waktu luang. Mungkin ini hikmah dari cobaan ini, ya. Sekarang saya intens mendalami agama dan meningkatkan iman. Ketika manusia dicoba dengan ketakutan, kelaparan, atau haus, jalan satu-satunya hanya kembali kepada Allah. Siapa pun dia dan dalam keadaan apa pun. Kehidupan ini bukan pilihan tapi akan saya jalani tanpa bertanya kenapa semua terjadi. Saya yakin Allah kasih saya cobaan untuk dapat pelajaran yang baik. Insya Allah saya terima semua perjalanan ini hingga akhir hidup saya.
Hikmah lainnya, saya jadi lebih baik di sini. Dulu saya tak cukup dekat dengan keluarga meski saya peduli kepada mereka. Saya lebih banyak di luar dan kerja ke luar kota. Tapi itu masalah raga karena kalau soal hati, saya selalu dekat dengan keluarga.
Bagaimana beradaptasi di Rutan Pondok Bambu?
(Afri sejenak terdiam) Adaptasi perpindahan dari tahanan di Polda ke Rutan Pondok Bambu cukup.. (Kalimat Afri terputus, suaranya bergetar menahan air mata). Kalau di Polda orangnya sedikit sedangkan di rutan hampir seribu orang. Pertama tiba, saya merasa asing di tengah keramaian. Bingung dan kikuk. Merasa tak punya ruang untuk diri sendiri. Meski senang mengobrol, saya orang yang suka suasana tenang.
Turning point saya adalah ketika merasa semuanya tak mungkin ditarik mundur ke belakang. Saya harus hadapi ini. Hampir dua minggu saya beradaptasi. Layaknya di lingkungan baru, saya amati situasinya lalu berusaha seramah mungkin dengan semua orang. Pada dasarnya saya ingin berteman. Latar belakang kasus saya juga sempat membuat mereka banyak bertanya, ya, saya jawab seperlunya saja.
Ya, penjara ternyata tidak seseram di film-film. Semua tergantung pembawaan kita. Saya sering berkegiatan di masjid, mendekatkan diri kepada Allah, dan bertemu teman-teman hebat yang berpikir bahwa penjara adalah hal terbaik yang pernah mereka jalani. (Afri tak mampu menahan tangis). Bersama mereka saya sering mengaji, salat bersama, serta diskusi soal agama. Saya dapat sesuatu yang meaningfull di sini karena bertemu mereka semua.
Dari kegiatan rutin ini kami menjadi sekumpulan yang kami namai Az-zumar. Itu salah satu surat di Al-Qur'an yang maknanya rombongan-rombongan. Jadi, semua saling menyemangati untuk menjalani kehidupan di sini. Juga mendukung mimpi setelah bebas nanti, bukan sekadar jadi mantan narapidana tapi jadi orang yang lebih baik bagi pribadi dan orang lain.
Siapa yang membuat Anda kuat menjalani semua ini?
Saya dan keluarga saling menguatkan. Terutama dengan Bunda (Afri terdiam menahan air mata). Bunda sungguh luar biasa. Begitu pula dengan kakak, adik-adik, tante, saudara, dan sahabat-sahabat saya. Mereka selalu ada buat saya dan mereka pula yang menjadi alasan saya harus kuat, tidak boleh cengeng, dan putus asa.
Bunda bisa tiap hari menjenguk ke rutan asal tidak di hari sidang. Para sahabat tiap weekend menjenguk. Dengan segala keterbatasan mereka soal waktu, saya sungguh senang mereka bisa datang (pandangan Afri menerawang jauh). Kalau Bunda mau datang, saya telepon dari wartel di rutan, tanya jam berapa mau datang. Lalu Bunda tawarkan mau dibawakan masakan apa. Bunda, kan, pintar masak. Saya suka semua hasil masakannya. Yang penting ada pedasnya (seulas senyum muncul di bibir Afri).
Saya juga hobi masak, ingin sekali bisa masak di rutan tapi tak bisa lagi. Paling banter masakin sarden di kantin. Oh ya, ada satu benda yang membuat saya kuat, yaitu sekumpulan surat dari keluarga dan para sahabat yang disusun dalam buku. Karena selama di Polda saya benar-benar sendirian dan tak boleh dijenguk, buku itu diberikan ke saya saat rekonstruksi. Sekarang, karena bisa ketemu, biasanya teman-teman membawakan buku bacaan. Salah satu yang "menampar" adalah bukunya Dewi Lestari, sangat provokatif untuk berpikir secara kreatif, melihat sebuah problem dalam hidup.
Pernah merasa dibayangi para korban?
Orang selalu tanya itu. Alhamdulillah, sampai hari ini saya tidak pernah "didatangi" dalam kondisi kemarahan. Begitu juga diganggu atau sejenisnya. Tak pernah sama sekali. Tapi pernah saya bermimpi, saya berjalan di satu tempat bersama sembilan orang yang sosoknya seperti para korban. Saya tak pernah melihat wajah mereka, memang. Saya hanya tahu jumlah dan karakter mereka. Kami jalan bergandengan tangan. Itu mimpi saat saya di Polda Metro Jaya. Setelah itu, tak pernah mimpi lagi (Kali ini suara Afriyani bergetar).
Tapi ini semua tidak mengurangi rasa saya mengingat mereka. Mau sampai kapan pun, mereka pasti selalu saya ingat dan saya sematkan dalam doa. Dalam tiap sujud salat, saya selalu minta maaf kepada Allah, mohon Allah membukakan pintu pengampunan dari keluarga para korban untuk saya. Itu yang saya lakukan dari awal kejadian hingga sekarang. Tanpa berhenti.
Ade Ryani / bersambung
KOMENTAR