Selain pemberdayaan ekonomi, saya juga melakukan pengembangan budaya tradisional warga Desa Joho. Di antaranya, menghidupkan kembali kesenian tradisional lesung yang dimainkan para ibu. Selain itu, saya juga mengangkat kesenian cadas bambu laras yang merupakan permainan musik kreasi pemuda Desa Joho. Yang membanggakan, kesenian lesung kini menjadi suguhan khas desa kami tiap kali menyambut tamu atau ada event penting lainnya. Kesenian ini juga menjadi langganan tetap para pengikut Gus Dur (Gus Durian) di Kediri jika mereka ada acara.
Kenangan buruk tanah longsor di tahun 1981 juga selalu mengingatkan saya untuk tetap menjaga kelestarian lingkungan. Sejak 2003 lalu, saya mengajak warga menanam pohon agar longsor tak kembali. Awalnya, saya memang merasa kewalahan karena warga enggan mengikuti jejak saya. Lambat laun, setelah mengerti pentingnya penghijauan, warga justru menanam pohon dengan senang hati. Malah, kini kami sudah kehabisan lahan kosong untuk ditanami, ha ha ha.
Berkat kegigihan menjaga lingkungan ini, saya mendapatkan penghargaan Terbaik Kategori Pembina Lingkungan lomba Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Timur. Piala yang diserahkan oleh Gubernur Jawa Timur pada 18 Juli 2011 ini masih terpajang di ruang kerja saya hingga sekarang.
Keberhasilan demi keberhasilan ini membuat orang menganggap saya layak memimpin warga Joho. Mereka, terutama ibu-ibu, kemudian mendesak saya mencalonkan diri menjadi kepala desa saat pemilihan tahun 2007 lalu. Ada tujuh kandidat yang mencalonkan diri, dua di antaranya perempuan. Tak disangka, saya menang mutlak.
Di balik kemenangan itu, banyak pula orang yang mempertanyakan motivasi saya mencalonkan diri jadi kepala desa. Ada yang mengira saya ingin mendapat penghasilan lebih dari tanah bengkok seluas 3 hektar. Wah, tentu saya menampik keras anggapan itu. Tanah bengkok hanyalah tanah kering yang tidak produktif. Keinginan saya jadi kepala desa hanya satu, ketika saya mati nanti saya ingin dikenang karena kebaikan yang telah saya perbuat.
Setelah menjadi Kepala Desa Joho, bukan berarti semua jadi lancar. Cobaan terberat yang pernah saya alami adalah menghadapi perangkat desa yang menjadi bawahan saya. Selama dua tahun, saya diabaikan oleh para pamong desa. Semua instruksi saya tak dijalankan. Akhirnya, saya mencoba melakukan pendekatan personal dengan mengajak satu per satu mereka mengobrol sambil makan. Ternyata pendekatan semacam ini ampuha.
Selama masa kepimimpinan saya, saya juga mendorong para pamong desa membentuk Paguyuban Pamong Sekecamatan Semen Kediri. Dengan adanya paguyuban ini, para pamong bisa mendapatkan tunjangan dari Pemkab Kediri. Semua senang.
Rest Area Khas Joho
Tahun 2012 ini, program saya adalah membangun rest area Joho. Inginnya, semua produk buatan ibu-ibu Desa Joho bisa dijual di rest area ini. Tujuannya, agar masyarakat Joho tidak menjadi miskin di desanya sendiri.
Rencananya, rest area ini menjadi tempat persinggahan sebelum mennuju obyek wisata di Joho. Asal tahu saja, di Joho banyak yang bisa dijadikan tempat wisata, seperti Gua Lalat, Mata Air Podang, atau Pusat Perlebahan Joho. Rencananya juga, rest area ini akan dinamai Kampung Lebah View, merujuk pada peternakan lebah yang memang jadi unggulan di Joho.
Selain menjual bersagam makanan kering alias kripik, Kampung Lebah View juga akan menjual makanan khas Joho, seperti nasi tiwul dan nasi jagung. Sementara, minuman khas berbahan madu juga saya harap jadi ciri khas. Dar imana uang pembangunan rest area ini? Saya memang masih menggantungkan dana dari Pemkab Kediri, meski dana awalnya adalah hasil patungan para pamong desa. Semoga inisiatif Desa Joho ini segera terwujud.
Amir Tejo
KOMENTAR