Nama saya cukup singkat, hanya Sulastri. Tanpa embel-embel nama lainnya. Nama yang singkat ini sebenarnya sudah menjadi hal yang umum bagi orang desa seperti saya yang dilahirkan dari keluarga yang sederhana.
Saya lahir pada 25 Juni 1978 di Pangkalanbun, Kalimantan Tengah. Saya dilahirkan di sana karena sejak tahun 1977 kedua orangtua sudah merantau di Pangkalanbun. Alasan mereka ikut program transmigrasi meninggalkan desa kelahiran sebenarnya cukup klasik, karena di Desa Joho yang terletak di lereng Gunung Wilis dianggap tidak menjajikan secara ekonomi.
Di Pangkalanbun, saya hanya menumpang lahir. Saat usia saya 8 bulan, saya dibawa Ibu kembali ke Desa Joho. Asal tahu saja, tak lama setelah saya lahir, orangtua saya berpisah. Ayah menetap di Pangkalabun, sementara Ibu pulang kampung.
Jadilah, sejak usaia 8 bulan hingga lulus SD, saya meentap di Desa Joho bersama Ibu. Ada satu kenangan tak terlupakan. Sekitar tahun 1981, Desa Joho mengalami longsor. Saya masih ingat betul, ketika itu usia saya baru 3 tahun, Ibu berlari menyelamatkan diri sambil membawa saya dalam gendongannya. Akibat longsor itu, sebanyak 49 orang meninggal dunia.
Setelah kejadian itu, sebenarnya Pemerintah Kabupaten Kediri merekomendasikan agar Dusun Dasun di Desa Joho itu dikosongkan saja. Khawatir longsor datang kembali. Namun rekomendasi Pemkab itu tak dihiraukan warga. Mereka ngotot bertahan tinggal di Dasun karena menganggap itu tanah kelahiran mereka. Beberapa warga yang tanahnya rawan longsor memang pindah, tapi hanya ke area yang aman dari longsor dekat sana saja.
Hidup di desa dengan hanya mengandalkan hasil pertanian memang susah ketika itu. Hal itu juga yang dialami Ibu. Sekembalinya kami ke Joho, kondisi perekonomian Ibu memburuk. Sebaliknya, Ayah yang memilih untuk bertahan di Pangkalanbun justru semakin sukses. Namun setelah berpisah dengan Ibu, Ayah memilih untuk menikah lagi. Pernikahan keduanya tidak dikaruniai anak.
Kondisi Ibu dan Ayah yang tak punya anak membuat Ibu berpikir akan lebih baik jika saya kembali ke Pangkalanbun dan tinggal bersama Ayah. Saat itu, saya yang masih kelas 5 SD kembali merantau. Namun setelah menamatkan sekolah di SMP 3 Arus Selatan, Pangkalanbun, saya memilih kembali ke Joho. Saya melanjutkan sekolah di SMA Muhammadiyah 2, Kediri.
Saya bersyukur karena orangtua memilih memasukkan saya ke sekolah terbaik. Mereka sadar, pendidikan sangat penting bagi anaknya. Bagi orang di desa saya, anak perempuan bisa sekolah sampai SMA itu sudah luar biasa. Banyak teman sebaya saya yang hanya puas lulus SD lalu menikah.
Lulus SMA, saya memutuskan bekerja. Saya kembali ke Pangkalanbun, tempat di mana banyak industri pengolahan kayu yang butuh tenaga kerja. Saya lalu bekerja sebagai staf di bagian administrasi salah satu industri pengolahan kayu. Di sana, saya berkenalan dengan Mulyono, pria asal Malang yang saat itu bekerja sebagai sekuriti di sebuah bank.
Kami menikah pada 1999. Setelah menikah, kami pulang ke Joho. Selain rindu pada tanah kelahiran, saya juga harus merawat Ibu yang semakin sepuh. Kehidupan kami di Pangkalanbun kami tinggalkan. Di Joho, suami berwiraswasta bahan bangunan. Usaha ini masih ditekuni suami hingga kini.
KOMENTAR