"Kami sangat mengharapkan dukungan masyarakat untuk 'menggedor' pintu keadilan dari majelis hakim yang terhormat. Selama ini kami telah berupaya mengadukan hal ini namun mereka seperti tidak mengindahkan," ungkap Sri Nurherwati, Ketua Subkomisi Pengembangan Pemulihan Komnas Perempuan.
Menurut Sri, semua sikap yang diperlihatkan oleh institusi peradilan ini merupakan gambaran dimana aparat penegak hukum sendiri belum memahami benar filosofi dan jiwa dari UU PKDRT sendiri. "Kesannya, mereka masih menyamakan penanganan kasus KDRT dengan pidana biasa. Dimana UU ini tidak digunakan untuk melindungi wanita dan anak-anak korban KDRT tetapi justru melakukan kriminalisasi terhadap korban," keluh Sri.
Hari ini (2/7) Komnas Perempuan sengaja mengumpulkan awak media di kantor Komnas Perempuan di jalan Latuharhari, Jakarta, dan menyatakan sikap tegas terhadap aparat penegak hukum.
Komnas Perempuan juga menggandeng Komnas Perlindungan Anak Indonesia mengingat korban dari salah interpretasi dan implementasi UU PKDRT juga menyangkut nasib anak-anak.
Komnas Perempuan mendesak agar setidaknya salah satu kasus kriminalisasi korban KDRT, Tuti Mujiarti, diberikan haknya sebagai korban KDRT secara penuh."Kami telah mengajukan kembali permohonan saksi korban untuk mendapat perlindungan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) pada 9 Mei 2012 lalu.
Majelis hakim kembali mengeluarkan penetapan untuk ibu Tuti berhak dilindungi dan mendapat perlindungan rumah aman, pendampingan hukum, dan pendampingan psikologi terhadap korban tanggal 13 Juni 2012 kendati Tuti tetap dalam status penahanan rumah dengan pelaku yang juga suami," ungkap Sri panjang lebar.
Laili
KOMENTAR