Alam senyap Kampung Basse Sangtempe (Bastem), Kabupaten Luwu yang berbatasan dengan Toraja (Sulawesi Selatan), mendekap empat putra daerahnya yang kembali ke pangkuannya. Di kawasan di lereng gunung Latimojong itulah empat keluarga Mayor Yohanis Tandisosang (40) beristirahat untuk terakhir kalinya.
Sebelum dimakamkan, jasad Martina Rore (ibunda Yohanis), Onci dan anaknya, serta putri tunggal Yohanis, Bian Christyabel Tandisosang, telah menempuh perjalanan panjang. Dari Jakarta, keempatnya sempat disemayamkan di Makassar. Dua hari di sana, iring-iringan rombongan duka menuju Sumalu, Toraja. Setelah menginap di Toraja, barulah empat jenazah dibawa ke peristirahatan terakhir mereka dengan serangkaian adat Toraja.
"Sungguh saya berterima kasih kepada Tuhan karena sudah mengalami peristiwa ini. Memang menyakitkan kehilangan empat anggota keluarga terkasih sekaligus, tapi saya meyakini Tuhan sudah mengatur segala sesuatunya dengan indah," papar ibu Bian, Dyah Purwani (30).
Rencana Reuni
Semua ini, kata Diah, awalnya terasa amat berat. "Begitu tiba-tiba," ujarnya. Padahal, di hari kejadian itu, Kamis (21/6), sejatinya ia menikmati kebahagiaan bersama suami dan Bian, anak tunggal mereka. "Kami berencana ke Malang (Jatim) karena ada acara reuni keluarga besar. Suami sudah beli tiket. Rencananya, dari tempat kerja di kawasan Tanah Abang, saya langsung ke Gambir. Suami dan Bian juga langsung ke Gambir."
Ketika itu, tutur Dyah, di rumahnya kedatangan keluarga dari Makassar. "Mereka berniat jalan-jalan. Onci berencana beli mobil dan sudah diantar suami saya. Baru inden. Sementara kami ke Malang, kerabat pihak suami menunggui rumah. Rencananya Onci juga akan bertemu suami yang berlayar dan akan singgah di Jakarta."
Ketika sedang berkemas untuk meninggalkan kantor, karyawati sebuah bank ini mendengar musibah pesawat Fokker yang jatuh di kawasan Halim. "Beritanya masih simpang-siur. Belum jelas benar apa yang terjadi. Saya langsung izin pimpinan dan segera panggil taksi. Sampai dekat rumah, taksi berputar-putar karena sebagian jalan sudah ditutup petugas."
Belakangan Dyah tahu, rumahnya kejatuhan pesawat Fokker. Sesaat kemudian ia dapat kabar dari suaminya untuk segera ke Rumah Sakit Halim. Ia pun paham, orang-orang terkasihnya, termasuk Bian, gadis kecilnya, berpulang. "Malam itu keadaan Onci kritis. Ternyata dia pun tak bisa diselamatkan," kisah Dyah.
Keesokan harinya, keempat jasad keluarga Dyah diterbangkan ke Makassar untuk kemudian dibawa ke Bastem. Sejak pesawat Hercules yang membawa jasad orang-orang terkasihnya mendarat di Bandara Sultan Hasanuddin, airmata Dyah terus berlinang. Malam itu, di Perumahan Bumi Tamalanrea Permai, suasana duka terasa begitu pekat. "Rumah begitu ramai sementara kami perlu istirahat karena masih ada prosesi di hari berikutnya. Perjalanan ke kampung halaman suami perlu waktu sekitar 12 jam."
Akhirnya para sahabat Yohanis mengusahakan sebuah mess untuk istirahat. Saat-saat itulah, lanjut Dyah, ia merasakan beban yang berat. "Saat bersama, biasanya Bian selalu di tengah-tengah kami. Dia suka sekali mengelus-elus tangan saya, lalu bergantian pegang tangan papanya. Tapi sekarang dia enggak ada. Rasanya aneh sekali. Terasa begitu kosong. Saya sempat bertanya kepada Tuhan, bukan menggugat, mengapa peristiwa ini mesti terjadi dalam hidup saya?"
Di malam penuh duka itu, Dyah berdoa dengan segenap perasaannya. Ia mengaku merasakan pengalaman spiritual yang luar biasa. Dalam pergumulannya, ia seperti berdialog dengan Tuhan. Di hadapannya ia melihat empat tubuh orang tercintanya dan kemudian terdengar kidung pujian. "Semua terasa begitu nyata."
Dengan jelas Dyah pun mendengar suara dan ia mengamininya sebagai suara Tuhan, "Ibarat sebuah kerajinan kristik, kamu hanya melihatnya dari bawah. Cobalah kamu melihatnya dari atas." Dyah tahu, dari bagian bawah, benang-benang kristik memang tampak begitu buruk tapi dari atas akan terlihat sangat indah. "Tak jelas bentuknya, tapi sangat indah. Di sana tersulam benang merah."
Suara penghiburan kembali terdengar di telinganya. Dyah menemukan pemahaman, untuk membuat kristik yang indah itu, benang-benang mesti ditusukkan ke kain. "Namanya ditusuk, pasti terasa sakit. Itulah yang saya rasakan. Saya merasa sakit atas musibah yang baru saja terjadi. Karena saya melihat dari sisi bawah, tampak semua ini begitu buruk. Padahal, bila saya lihat dari sisi lain, pasti tampak indah."
Pahamlah Dyah, Tuhan sedang membuat rencana indah dalam hidupnya. "Saya sujud syukur. Semuanya jadi terasa ringan. Batin terasa disegarkan. Memang merasa kehilangan tapi saya sepenuhnya sudah berserah," ujarnya.
Henry Ismono / bersambung
Berita yang lebih lengkap dan dalam ada di Tabloid NOVA. Belinya enggak repot, kok.
Sahabat NOVA bisa pilih langganan di Grid Store, atau baca versi elektroniknya (e-magz) di Gramedia.com, MyEdisi, atau Majalah.id.
KOMENTAR